Demonstrasi Mahasiswa Jelang Lengsernya Soekarno
A
A
A
MAHASISWA merupakan salah satu kekuatan politik yang sangat penting bagi Mayor Jenderal Soeharto, dalam mendirikan Orde Baru. Terutama, dalam memberikan tekanan-tekanan politik terhadap Presiden Soekarno, di periode 1965-1966.
Secara resmi, perjuangan Soeharto mendirikan Orde Baru, dimulai sejak ditanda tanganinya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar oleh Soekarno. Namun, jauh sebelum Supersemar lahir, mahasiswa sudah menjadi alat politik bagi tentara.
Seperti diungkapkan Soeharto, dalam buku otobiografinya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, seperti dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Menurutnya, Supersemar 1966 lahir di saat negara sedang dalam keadaan gawat, di mana integritas Presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam bahaya. Sehingga, perlu diambil tindakan pemulihan keamanan.
"Surat Perintah 11 Maret itu bukan merupakan alat untuk mengadakan coup (kudeta) secara terselubung. 'Supersemar' itu merupakan awal dari perjuangan Orde Baru," kata Soeharto, di halaman 174.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kudeta "terang-terangan" Soeharto itu, baca: Supersemar dan Jatuhnya Soekarno.
Cerita Pagi kali ini, akan coba mengulas peranan mahasiswa, terutama Angkatan 66, sebagai salah satu kekuatan politik Orde Baru. Kendati, akhirnya mereka dikecewakan oleh kepemimpinan Soeharto, dan kembali melakukan perlawanan terhadapnya.
Peran mahasiswa sebagai salah satu alat politik tentara dalam menekan Presiden Soekarno, pertama terjadi pada 17 Oktober 1952. Gerakan saat itu, dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris (AH) Nasution.
Salah satu Panglima AD saat itu, Kemal Idris mengatakan, dirinyalah yang mengkoordinir gerakan-gerakan massa rakyat untuk melakukan demo besar-besaran terhadap Presiden Soekarno. Dia juga yang mengarahkan meriam ke Istana Negara.
"Angkatan Darat banyak berperan dalam peristiwa itu. Misalnya, mengkoordinir demonstrasi," cerita Kemal Idris, dalam bukunya yang berjudul Memoar Senarai Kiprah Sejarah III, halaman lima.
Keterangan lebih lanjut tentang terjadinya peristiwa itu, silakan baca: Kemal Idris dan Kudeta ala Jenderal Najib.
Gerakan AD saat itu nyatanya menemui kegagalan total. Hal ini disebabkan, terpecahnya kekuatan AD. Tidak semua pemimpin AD mendukung gerakan Nasution itu. Terlebih, saat itu dukungan massa rakyat terhadap Soekarno masih sangat tinggi.
Zulkifli Lubis, salah seorang Komandan Intelijen Pertama Indonesia menyatakan, Gerakan 17 Oktober 1952 tidak bisa diterima, karena pembubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Waktu gerakan terjadi, orang-orang saya sempat masuk di antara mereka. Kasarnya, waktu itu massa dibawa untuk menakut-nakuti Bung Karno," katanya, dalam buku Memoar Senarai Kiprah Sejarah II, halaman 61.
Ditambahkan dia, saat itu Bung Karno sudah tahu kondisi yang terjadi di lapangan. Sehingga dia tidak takut menghadapi massa rakyat yang melakukan demo. Sebelum Bung Karno menemui massa, massa berteriak "Bubarkan DPR, hantam DPR".
Namun, setelah Bung Karno keluar, orang-orang Zulkifli Lubis yang telah berpencar berteriak, "Hidup Soekarno!" Massa yang awalnya ingin menyerang Bung Karno pun terprovokasi dan ikut menyerukan "Hidup Soekarno".
"Orang-orang saya yang berada di beberapa sudut, lalu teriak, 'Hidup Bung Karno'. Maka, massa yang masih muda-muda itu ikut teriak, 'Hidup Bung Karno'. Jadi, berubah sama sekali. Itu saya yang buat," sambungnya.
Aksi mahasiswa kedua dan terbesar di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, terjadi setelah meletusnya Kudeta Militer yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 menurut istilah Soeharto, atau Gerakan 1 Oktober 1965 menurut Soekarno.
Berbeda dengan Peristiwa 17 Oktober 1952, saat terjadinya Gerakan 30 September 1965, situasi politik Indonesia sedang panas-panasnya. Waktu itu adalah puncak Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dengan Uni Soviet dan Cina.
Saat terjadi Perang Dingin, Presiden Soekarno coba berada di tengah-tengah. Dia berusaha mengimbangi kekuatan AD dengan menarik dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, porsi terbesar dukungan itu dia berikan kepada PKI.
Saat meletusnya Kudeta Militer itu, perhatian langsung ditujukan kepada pihak PKI. Mahasiswa yang sejak lama menjadi sekutu tentara, segera bereaksi melakukan aksi demonstrasi mengutuk peristiwa berdarah itu.
Salah seorang mahasiswa yang terlibat aksi pengganyangan tersebut adalah Bakri AG Tialean. Dalam bukunya yang berjudul Bung Karno antara Mitos dan Realita (Dana Revolusi), Jakarta 2002, dia mengupas sekilas peristiwa huru hara itu.
Diceritakan, sebelum terjadinya Kudeta Tentara 1965, gerakan mahasiswa telah mengalami perpecahan. Sejak 1964, organisasi mahasiswa bentukan PKI telah melakukan serangan-serangan terhadap aktivis Islam tempatnya bergabung.
Beberapa organisasi gerakan mahasiswa yang tumbuh saat itu, di antaranya adalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) yang dibentuk Partai Katholik.
Organisasi gerakan mahasiswa lainnya adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan PKI.
Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Presiden Soekarno juga membentuk Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Partai NU, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi.
Saat terjadinya Kudeta Tentara 1965, CGMI dan GMNI lah yang disudutkan oleh gerakan mahasiswa lainnya. Terutama oleh HMI, Gemsos, dan organisasi gerakan mahasiswa lainnya yang berbasiskan agama.
Aksi mahasiswa pasca peristiwa itu yang pertama terjadi pada 18 Oktober 1965, di bawah naungan Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Selain dua organisasi itu, organisasi gabungan lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), juga melakukan aksi yang sama.
Tuntutan awal demo tersebut ada tiga, pertama bubarkan CGMI, singkirkan mahasiswa yang membantu Kudeta Tentara 1965, dan tindak mahasiswa yang plin plan. Demo pertama mahasiswa itu dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Sejak aksi yang pertama itu, aksi-aksi mahasiswa terus menggelinding. Pada 11 Maret 1966, gelombang aksi mahasiswa membuncah. Pagi-pagi sekali, saat sidang kabinet akan dihelat, ribuan mahasiswa telah berada di depan Istana Negara.
Jumlah mereka semakin berlipat ganda saat sidang dimulai. Para mahasiswa yang diduga ditunggangi AD ini, bahkan meringsek masuk Istana Negara. Pasukan Kawal Presiden Cakrabirawa pun terdesak.
Bahkan, mereka sempat meletuskan tembakan peringatan ke udara. Tidak hanya mahasiswa, Soeharto juga menerjunkan sejumlah pasukan gelap sejumlah Tiga Kompi RPKAD dari Kostrad pimpinan Kemal Idris ke lapangan.
Setelah mendapat Supersemar, langkah pertama yang diambil Soeharto adalah membubarkan PKI, dan menjadikannya partai terlarang. Pembubaran PKI ini membawa bencana kemanusiaan yang sangat besar. Anggota, dan pendukung PKI dibunuh.
Presiden Soekarno dalam pidatonya, pada 18 Desember 1966, menggambarkan peristiwa tragis itu sebagai berikut:
Jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan orang-orang PKI atau para simpatisan PKI disembelih, dibunuh kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon dihancurkan.
Selama berbulan-bulan, peristiwa pembunuhan terhadap para anggota, pendukung dan orang yang pernah berhubungan dengan PKI dilakukan diberbagai daerah. Di Jakarta, dan semua daerah, semua Sekretariat PKI dihancurkan dan dibakar massa.
Di tengah terjadinya pembantaian massal itu lah, Orde Baru mendapatkan kemenangannya. Pada 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Presiden Soekarno. Dia menjabat selama 32 tahun.
Sejarawan Amerika Theodore Friend pernah menyatakan, "Alih-alih mengisi perut (orang Indonesia), Soekarno mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka,". Sedangkan Soeharto, "Mengolah perut penuh, namun semangat kosong,".
Demikian ulasan Cerita Pagi kali ini diakhiri dengan mengutip kata-kata Theodore Friend, semoga memberikan manfaat.
Sumber tulisan:
1. A Kemal Idris, Memoar Senarai Kiprah Sejarah, Buku Ketiga, Grafiti, Cetakan Pertama, Juli 1993.
2. Zulkifli Lubis, Memoar Senarai Kiprah Sejarah, Buku Kedua, Grafiti, Cetakan Pertama, Juli 1993.
3. Bakri AG Tianlean, Bung Karno antara Mitos dan Realita (Dana Revolusi), Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, Jakarta 2002
4. Dr H Soebandrio, Yang Saya Alami Peristiwa G30S, Sebelum, Saat Meletus, dan Sesudahnya, PT Bumi Intitama Sejahtera, Mei 2006.
5. Gerakan Mahasiswa di Indonesia, Wikipedia
6. Sejarah Indonesia (1965-1966), Wikipedia
7. Peristiwa 17 Oktober 1952, Wikipedia
Secara resmi, perjuangan Soeharto mendirikan Orde Baru, dimulai sejak ditanda tanganinya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar oleh Soekarno. Namun, jauh sebelum Supersemar lahir, mahasiswa sudah menjadi alat politik bagi tentara.
Seperti diungkapkan Soeharto, dalam buku otobiografinya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, seperti dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Menurutnya, Supersemar 1966 lahir di saat negara sedang dalam keadaan gawat, di mana integritas Presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam bahaya. Sehingga, perlu diambil tindakan pemulihan keamanan.
"Surat Perintah 11 Maret itu bukan merupakan alat untuk mengadakan coup (kudeta) secara terselubung. 'Supersemar' itu merupakan awal dari perjuangan Orde Baru," kata Soeharto, di halaman 174.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kudeta "terang-terangan" Soeharto itu, baca: Supersemar dan Jatuhnya Soekarno.
Cerita Pagi kali ini, akan coba mengulas peranan mahasiswa, terutama Angkatan 66, sebagai salah satu kekuatan politik Orde Baru. Kendati, akhirnya mereka dikecewakan oleh kepemimpinan Soeharto, dan kembali melakukan perlawanan terhadapnya.
Peran mahasiswa sebagai salah satu alat politik tentara dalam menekan Presiden Soekarno, pertama terjadi pada 17 Oktober 1952. Gerakan saat itu, dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris (AH) Nasution.
Salah satu Panglima AD saat itu, Kemal Idris mengatakan, dirinyalah yang mengkoordinir gerakan-gerakan massa rakyat untuk melakukan demo besar-besaran terhadap Presiden Soekarno. Dia juga yang mengarahkan meriam ke Istana Negara.
"Angkatan Darat banyak berperan dalam peristiwa itu. Misalnya, mengkoordinir demonstrasi," cerita Kemal Idris, dalam bukunya yang berjudul Memoar Senarai Kiprah Sejarah III, halaman lima.
Keterangan lebih lanjut tentang terjadinya peristiwa itu, silakan baca: Kemal Idris dan Kudeta ala Jenderal Najib.
Gerakan AD saat itu nyatanya menemui kegagalan total. Hal ini disebabkan, terpecahnya kekuatan AD. Tidak semua pemimpin AD mendukung gerakan Nasution itu. Terlebih, saat itu dukungan massa rakyat terhadap Soekarno masih sangat tinggi.
Zulkifli Lubis, salah seorang Komandan Intelijen Pertama Indonesia menyatakan, Gerakan 17 Oktober 1952 tidak bisa diterima, karena pembubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Waktu gerakan terjadi, orang-orang saya sempat masuk di antara mereka. Kasarnya, waktu itu massa dibawa untuk menakut-nakuti Bung Karno," katanya, dalam buku Memoar Senarai Kiprah Sejarah II, halaman 61.
Ditambahkan dia, saat itu Bung Karno sudah tahu kondisi yang terjadi di lapangan. Sehingga dia tidak takut menghadapi massa rakyat yang melakukan demo. Sebelum Bung Karno menemui massa, massa berteriak "Bubarkan DPR, hantam DPR".
Namun, setelah Bung Karno keluar, orang-orang Zulkifli Lubis yang telah berpencar berteriak, "Hidup Soekarno!" Massa yang awalnya ingin menyerang Bung Karno pun terprovokasi dan ikut menyerukan "Hidup Soekarno".
"Orang-orang saya yang berada di beberapa sudut, lalu teriak, 'Hidup Bung Karno'. Maka, massa yang masih muda-muda itu ikut teriak, 'Hidup Bung Karno'. Jadi, berubah sama sekali. Itu saya yang buat," sambungnya.
Aksi mahasiswa kedua dan terbesar di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, terjadi setelah meletusnya Kudeta Militer yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 menurut istilah Soeharto, atau Gerakan 1 Oktober 1965 menurut Soekarno.
Berbeda dengan Peristiwa 17 Oktober 1952, saat terjadinya Gerakan 30 September 1965, situasi politik Indonesia sedang panas-panasnya. Waktu itu adalah puncak Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dengan Uni Soviet dan Cina.
Saat terjadi Perang Dingin, Presiden Soekarno coba berada di tengah-tengah. Dia berusaha mengimbangi kekuatan AD dengan menarik dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, porsi terbesar dukungan itu dia berikan kepada PKI.
Saat meletusnya Kudeta Militer itu, perhatian langsung ditujukan kepada pihak PKI. Mahasiswa yang sejak lama menjadi sekutu tentara, segera bereaksi melakukan aksi demonstrasi mengutuk peristiwa berdarah itu.
Salah seorang mahasiswa yang terlibat aksi pengganyangan tersebut adalah Bakri AG Tialean. Dalam bukunya yang berjudul Bung Karno antara Mitos dan Realita (Dana Revolusi), Jakarta 2002, dia mengupas sekilas peristiwa huru hara itu.
Diceritakan, sebelum terjadinya Kudeta Tentara 1965, gerakan mahasiswa telah mengalami perpecahan. Sejak 1964, organisasi mahasiswa bentukan PKI telah melakukan serangan-serangan terhadap aktivis Islam tempatnya bergabung.
Beberapa organisasi gerakan mahasiswa yang tumbuh saat itu, di antaranya adalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) yang dibentuk Partai Katholik.
Organisasi gerakan mahasiswa lainnya adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan PKI.
Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Presiden Soekarno juga membentuk Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Partai NU, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi.
Saat terjadinya Kudeta Tentara 1965, CGMI dan GMNI lah yang disudutkan oleh gerakan mahasiswa lainnya. Terutama oleh HMI, Gemsos, dan organisasi gerakan mahasiswa lainnya yang berbasiskan agama.
Aksi mahasiswa pasca peristiwa itu yang pertama terjadi pada 18 Oktober 1965, di bawah naungan Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Selain dua organisasi itu, organisasi gabungan lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), juga melakukan aksi yang sama.
Tuntutan awal demo tersebut ada tiga, pertama bubarkan CGMI, singkirkan mahasiswa yang membantu Kudeta Tentara 1965, dan tindak mahasiswa yang plin plan. Demo pertama mahasiswa itu dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Sejak aksi yang pertama itu, aksi-aksi mahasiswa terus menggelinding. Pada 11 Maret 1966, gelombang aksi mahasiswa membuncah. Pagi-pagi sekali, saat sidang kabinet akan dihelat, ribuan mahasiswa telah berada di depan Istana Negara.
Jumlah mereka semakin berlipat ganda saat sidang dimulai. Para mahasiswa yang diduga ditunggangi AD ini, bahkan meringsek masuk Istana Negara. Pasukan Kawal Presiden Cakrabirawa pun terdesak.
Bahkan, mereka sempat meletuskan tembakan peringatan ke udara. Tidak hanya mahasiswa, Soeharto juga menerjunkan sejumlah pasukan gelap sejumlah Tiga Kompi RPKAD dari Kostrad pimpinan Kemal Idris ke lapangan.
Setelah mendapat Supersemar, langkah pertama yang diambil Soeharto adalah membubarkan PKI, dan menjadikannya partai terlarang. Pembubaran PKI ini membawa bencana kemanusiaan yang sangat besar. Anggota, dan pendukung PKI dibunuh.
Presiden Soekarno dalam pidatonya, pada 18 Desember 1966, menggambarkan peristiwa tragis itu sebagai berikut:
Jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan orang-orang PKI atau para simpatisan PKI disembelih, dibunuh kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon dihancurkan.
Selama berbulan-bulan, peristiwa pembunuhan terhadap para anggota, pendukung dan orang yang pernah berhubungan dengan PKI dilakukan diberbagai daerah. Di Jakarta, dan semua daerah, semua Sekretariat PKI dihancurkan dan dibakar massa.
Di tengah terjadinya pembantaian massal itu lah, Orde Baru mendapatkan kemenangannya. Pada 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Presiden Soekarno. Dia menjabat selama 32 tahun.
Sejarawan Amerika Theodore Friend pernah menyatakan, "Alih-alih mengisi perut (orang Indonesia), Soekarno mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka,". Sedangkan Soeharto, "Mengolah perut penuh, namun semangat kosong,".
Demikian ulasan Cerita Pagi kali ini diakhiri dengan mengutip kata-kata Theodore Friend, semoga memberikan manfaat.
Sumber tulisan:
1. A Kemal Idris, Memoar Senarai Kiprah Sejarah, Buku Ketiga, Grafiti, Cetakan Pertama, Juli 1993.
2. Zulkifli Lubis, Memoar Senarai Kiprah Sejarah, Buku Kedua, Grafiti, Cetakan Pertama, Juli 1993.
3. Bakri AG Tianlean, Bung Karno antara Mitos dan Realita (Dana Revolusi), Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, Jakarta 2002
4. Dr H Soebandrio, Yang Saya Alami Peristiwa G30S, Sebelum, Saat Meletus, dan Sesudahnya, PT Bumi Intitama Sejahtera, Mei 2006.
5. Gerakan Mahasiswa di Indonesia, Wikipedia
6. Sejarah Indonesia (1965-1966), Wikipedia
7. Peristiwa 17 Oktober 1952, Wikipedia
(san)