Pemda DIY Hanya Sanggup Lindungi 35.000 Ha
A
A
A
YOGYAKARTA - Pemda DIY ternyata hanya mampu melindungi 35.000 hektare (ha) lahan produktif agar tidak berubah menjadi bangunan.
Tak heran, secara kasatmata banyak terjadi alih fungsi lahan produktif menjadi bangunan perhotelan, apartemen, dan mal. Peralihan ini yang tengah disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga ada gratifikasi saat izin diberikan. Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko mengakui alih fungsi lahan di DIY sudah masif dan memprihatinkan.
Sayangnya, Pemda DIY hanya sanggup melindungi sekitar 35.000 ha lahan produktif. “Itu tersebar di empat kabupaten, kecuali kota (Yogyakarta),” ungkap Sasongko, kemarin. Perlindungan terhadap 35.000 ha itu sudah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No 10/2012 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. “Itu lahan abadi pertanian produktif,” ujarnya.
Rincian dari 35.000 ha tersebut tersebar di empat kabupaten masing-masing di Sleman 12,377 ha, Bantul 13.000 ha, Gunungkidul 5.000 ha, dan sisanya di Kulonprogo. “Di luar itu, kami tidak memiliki kewenangan melindungi lahan produktif. Di luar itu kewenangan ada di kabupaten,” ujarnya. Sasongko menyebutkan, sampai saat ini alih fungsi lahan masih terus terjadi di DIY sntara lain di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul rata-rata seluas 200 ha per tahun.
“Idealnya memang harus dihentikan,” katanya. Seperti diketahui, alih fungsi lahan di DIY menjadi hotel, apar temen, perumahan, dan bentuk lain, mendapat perhatian serius dari KPK. Bahkan, KPK sudah menerjunkan Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) untuk menelusuri dan klarifikasi dugaan gratifikasi di DIY. Group Head Direktorat Litbang KPK Luthfi Ganna Sukardi mengatakan, KPK sudah terjun mencermati sistem dan peraturan yang mengatur izin alih fungsi lahan. Selama dua hari terakhir, tim sudah mendatangi Pemkab dan Pemda DIY untuk mengetahui detail perizinan.
“Kami sedang memverifikasi di lapangan terkait dengan alih fungsi lahan,” katanya. Penelusuran KORAN SINDO YOGYA, pertumbuhan properti di Sleman mulai dari perumahan sederhana hingga mewah, termasuk hotel dan apartemen, dalam tiga tahun terakhir cukup pesat. Terutama di daerah penyangga perkotaan, seperti Depok, Mlati, Gamping, Ngaglik, dan Kalasan. Meski demikian, Pemkab Sleman menolak ada praktik alih fungsi lahan ilegal.
Bupati Sleman Sri Purnomo beralasan maraknya pembangunan di wilayahnya lebih karena letaknya strategis. Selain itu, pihaknya juga sangat terbuka untuk investasi. “Di Sleman masalah perizinan harus sesuai rencana detail tata ruang (RDTL). Jadi di Sleman tidak bisa mengubah peruntukan fungsi lahan tanpa prosedural,” kata Sri Purnomo menanggapi soal dugaan gratifikasi alih fungsi lahan KPK, kemarin.
Khusus properti, terutama perumahan, kata dia, akan lebih difokuskan pada pengembangan permukiman secara vertikal dan bukan horizontal. Alasannya guna menekan penyusutan lahan. “Dengan vertikal untuk ruang terbuka hijau (RTH) dan fasilitas umum (fasum) lainnya tetap bisa terpenuhi,” ungkapnya. Pengembangan perumahan vertikal ini juga untuk memenuhi kebutuhan warga terhadap permukiman. Dengan begitu, konsep pengembang nanti ditujukan untuk kalangan menengah kebawah, bukan menengah ke atas.
Dia menambahkan, bentuknya semacam rumah susun (rusun) dan bukan apartemen. “Masalah ini juga mendapat dukungan dari Perum Perumnas, yakni saat memaparkan konsep tersebut kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X,” katanya. Selain akan menata, masalah ini juga akan disosialisasikan sehingga warga bisa memahami dengan rencana pembangunan Sleman itu. Alih fungsi lahan di Kota Yog yakarta juga cukup mengkhawatirkan.
Apalagi lahan pertanian di daerah ini minim dibanding dengan daerah lain di DIY. Merujuk data statistik, pada 2012 lalu, luas areal persawahan tercatat 76 ha. Luas itu menyusut menjadi 71 ha pada 2013. Kini Kepala Dinas Perindagkoptan Kota Yog yakarta Suyana mengungkapkan, luas lahan persawahan yang tersisa hanya 64 ha.
Alih fungsi lahan terus terjadi akibat kebutuhan permukiman dan dunia usaha. Pemkot sendiri sadar alih fungsi lahan kian mengkhawatirkan. Apalagi insentif pajak bu mi dan bangunan atau PBB belum sanggup menekan laju alih fungsi lahan ini. “Jika diperlukan, pemerintah akan mewacanakan membuat aturan terkait pembatasan alih fungsi lahan pertanian agar tidak berubah fungsinya,” kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Imam Priyono.
Ridwan anshori/ priyo setyawan/ sodik
Tak heran, secara kasatmata banyak terjadi alih fungsi lahan produktif menjadi bangunan perhotelan, apartemen, dan mal. Peralihan ini yang tengah disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga ada gratifikasi saat izin diberikan. Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko mengakui alih fungsi lahan di DIY sudah masif dan memprihatinkan.
Sayangnya, Pemda DIY hanya sanggup melindungi sekitar 35.000 ha lahan produktif. “Itu tersebar di empat kabupaten, kecuali kota (Yogyakarta),” ungkap Sasongko, kemarin. Perlindungan terhadap 35.000 ha itu sudah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No 10/2012 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. “Itu lahan abadi pertanian produktif,” ujarnya.
Rincian dari 35.000 ha tersebut tersebar di empat kabupaten masing-masing di Sleman 12,377 ha, Bantul 13.000 ha, Gunungkidul 5.000 ha, dan sisanya di Kulonprogo. “Di luar itu, kami tidak memiliki kewenangan melindungi lahan produktif. Di luar itu kewenangan ada di kabupaten,” ujarnya. Sasongko menyebutkan, sampai saat ini alih fungsi lahan masih terus terjadi di DIY sntara lain di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul rata-rata seluas 200 ha per tahun.
“Idealnya memang harus dihentikan,” katanya. Seperti diketahui, alih fungsi lahan di DIY menjadi hotel, apar temen, perumahan, dan bentuk lain, mendapat perhatian serius dari KPK. Bahkan, KPK sudah menerjunkan Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) untuk menelusuri dan klarifikasi dugaan gratifikasi di DIY. Group Head Direktorat Litbang KPK Luthfi Ganna Sukardi mengatakan, KPK sudah terjun mencermati sistem dan peraturan yang mengatur izin alih fungsi lahan. Selama dua hari terakhir, tim sudah mendatangi Pemkab dan Pemda DIY untuk mengetahui detail perizinan.
“Kami sedang memverifikasi di lapangan terkait dengan alih fungsi lahan,” katanya. Penelusuran KORAN SINDO YOGYA, pertumbuhan properti di Sleman mulai dari perumahan sederhana hingga mewah, termasuk hotel dan apartemen, dalam tiga tahun terakhir cukup pesat. Terutama di daerah penyangga perkotaan, seperti Depok, Mlati, Gamping, Ngaglik, dan Kalasan. Meski demikian, Pemkab Sleman menolak ada praktik alih fungsi lahan ilegal.
Bupati Sleman Sri Purnomo beralasan maraknya pembangunan di wilayahnya lebih karena letaknya strategis. Selain itu, pihaknya juga sangat terbuka untuk investasi. “Di Sleman masalah perizinan harus sesuai rencana detail tata ruang (RDTL). Jadi di Sleman tidak bisa mengubah peruntukan fungsi lahan tanpa prosedural,” kata Sri Purnomo menanggapi soal dugaan gratifikasi alih fungsi lahan KPK, kemarin.
Khusus properti, terutama perumahan, kata dia, akan lebih difokuskan pada pengembangan permukiman secara vertikal dan bukan horizontal. Alasannya guna menekan penyusutan lahan. “Dengan vertikal untuk ruang terbuka hijau (RTH) dan fasilitas umum (fasum) lainnya tetap bisa terpenuhi,” ungkapnya. Pengembangan perumahan vertikal ini juga untuk memenuhi kebutuhan warga terhadap permukiman. Dengan begitu, konsep pengembang nanti ditujukan untuk kalangan menengah kebawah, bukan menengah ke atas.
Dia menambahkan, bentuknya semacam rumah susun (rusun) dan bukan apartemen. “Masalah ini juga mendapat dukungan dari Perum Perumnas, yakni saat memaparkan konsep tersebut kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X,” katanya. Selain akan menata, masalah ini juga akan disosialisasikan sehingga warga bisa memahami dengan rencana pembangunan Sleman itu. Alih fungsi lahan di Kota Yog yakarta juga cukup mengkhawatirkan.
Apalagi lahan pertanian di daerah ini minim dibanding dengan daerah lain di DIY. Merujuk data statistik, pada 2012 lalu, luas areal persawahan tercatat 76 ha. Luas itu menyusut menjadi 71 ha pada 2013. Kini Kepala Dinas Perindagkoptan Kota Yog yakarta Suyana mengungkapkan, luas lahan persawahan yang tersisa hanya 64 ha.
Alih fungsi lahan terus terjadi akibat kebutuhan permukiman dan dunia usaha. Pemkot sendiri sadar alih fungsi lahan kian mengkhawatirkan. Apalagi insentif pajak bu mi dan bangunan atau PBB belum sanggup menekan laju alih fungsi lahan ini. “Jika diperlukan, pemerintah akan mewacanakan membuat aturan terkait pembatasan alih fungsi lahan pertanian agar tidak berubah fungsinya,” kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Imam Priyono.
Ridwan anshori/ priyo setyawan/ sodik
(bhr)