Mas Mansur, Pahlawan Nasional dari Kampung Sawahan
A
A
A
SEJARAH mencatat KH Mas Mansur sebagai tokoh penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Berikut kisahnya.
Mas Mansur atau Mas Mansoer, lahir di Kampung Sawahan, sekarang Kalimas Udik, Surabaya, Jawa Timur, 25 Juni 1896. Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya adalah KH Mas Achmad Marzoeqi, seorang ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya.
Selain belajar agama pada ayahnya, saat kecil Mas Mansur juga belajar di Pesantren Sidoresmo. Gurunya adalah Kiai Muhammad Thaha. Pada tahun 1906, Mas Mansur dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Alquran dan mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Khalil.
Dua tahun kemudian, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada 1908, Mas Mansur oleh orangtuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Arab Saudi memaksanya pindah ke Mesir, meski tidak diizinkan orangtuanya.
Akibatnya, selama berada di Mesir, Mas Mansur tidak dikirimi uang oleh orangtuanya. Dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun. Setelah itu, orangtuanya kembali mengiriminya dana.
Di Mesir, Mas Mansur belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato.
Mas Mansur memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidato. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Dia lalu singgah di Makkah selama setahun, sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air pada 1915.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan putri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim, dan Loek-loek.
Selain menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Namun, usia perkawinannya dengan Halimah hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Mas Mansur bergabung dalam Sarikat Islam (SI). Saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasihat Pengurus Besar SI.
Bersama Wahab Hasbullah, Mas Mansur membentuk majelis diskusi yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang.
Karena ada perbedaan pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan mazhab, muncul beda pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah. Mas Mansur pun memutuskan keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkan dalam media massa, seperti Soeara Santri dan Djinem. Tulisan-tulisan Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan.
Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan.
Dia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncaknya, Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Ada cerita di balik terpilihnya Mas Mansur sebagai orang nomor satu di organisasi Islam tersebut. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam).
Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai tiga tokoh tua, yaitu KH Hisjam, KH Moechtar, dan KH Sjuja'.
Tahun 1937, pada Kongres ke-26 Muhammadiyah di Yogyakarta, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur, lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur, yang saat itu mewakili Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya. Awalnya, Mas Mansur menolak. Setelah melalui dialog panjang, Mas Mansur bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Terpilihnya Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah membuatnya pindah ke Yogyakarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji. Dia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut.
Mas Mansur juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu digelar tepat waktu. Rapat PP Muhammadiyah pernah dibatalkan karena pada waktu yang ditetapkan dalam undangan, para anggota belum mencukupi jumlah untuk dapat bersidang.
Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Selain itu, Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik umat Islam saat itu.
Misal, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu.
Ia berpendapat, secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian umat Islam saat itu dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Karena itu, jika umat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, kondisi perekonomian umat Islam akan semakin turun secara drastis.
Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian umat Islam.
Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi umat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU).
Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya. Hal ini dilakukan sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Mas Mansur dikenal sebagai ulama besar dan seorang pemimpin yang disegani. Dikutip dari pahlawancenter.com, Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperhatikan dan berusaha untuk mendekati Mas Mansur. Melalui Dr Pijper, Pemerintah Hindia Belanda menawari Mas Mansur jabatan sebagai Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu suatu lembaga tinggi tentang urusan agama Islam, yang berkewajiban memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Mas Mansur akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, suatu jumlah yang sungguh besar, seperti gaji seorang bupati di zaman Hindia Belanda itu.
Tetapi, di luar dugaan Pemerintah Hindia Belanda dan pihak-pihak yang tidak menyukai beliau, ternyata Mas Mansur menolak. la memilih kebebasan bergerak di dalam perserikatan Muhammadiyah, walaupun dengan hidup yang serba terbatas daripada menjadi ketua Hod van Islamitiesche Zaken dengan gaji besar dan kehidupan mewah, tetapi menjadi alat pemerintahan penjajahan.
Saat Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan Empat Serangkai. Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Namun, kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam Empat Serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya dan kedudukannya dalam Empat Serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Saat pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjara di Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo, Surabaya.
Mas Mansur dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 26 Juni 1964 melalui SK Presiden RI No.162 Tahun 1964.
Sumber: Wikipedia dan pahlawancenter.com
Mas Mansur atau Mas Mansoer, lahir di Kampung Sawahan, sekarang Kalimas Udik, Surabaya, Jawa Timur, 25 Juni 1896. Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya adalah KH Mas Achmad Marzoeqi, seorang ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya.
Selain belajar agama pada ayahnya, saat kecil Mas Mansur juga belajar di Pesantren Sidoresmo. Gurunya adalah Kiai Muhammad Thaha. Pada tahun 1906, Mas Mansur dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Alquran dan mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Khalil.
Dua tahun kemudian, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada 1908, Mas Mansur oleh orangtuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Arab Saudi memaksanya pindah ke Mesir, meski tidak diizinkan orangtuanya.
Akibatnya, selama berada di Mesir, Mas Mansur tidak dikirimi uang oleh orangtuanya. Dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun. Setelah itu, orangtuanya kembali mengiriminya dana.
Di Mesir, Mas Mansur belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato.
Mas Mansur memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidato. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Dia lalu singgah di Makkah selama setahun, sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air pada 1915.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan putri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim, dan Loek-loek.
Selain menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Namun, usia perkawinannya dengan Halimah hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Mas Mansur bergabung dalam Sarikat Islam (SI). Saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasihat Pengurus Besar SI.
Bersama Wahab Hasbullah, Mas Mansur membentuk majelis diskusi yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang.
Karena ada perbedaan pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan mazhab, muncul beda pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah. Mas Mansur pun memutuskan keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkan dalam media massa, seperti Soeara Santri dan Djinem. Tulisan-tulisan Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan.
Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan.
Dia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncaknya, Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Ada cerita di balik terpilihnya Mas Mansur sebagai orang nomor satu di organisasi Islam tersebut. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam).
Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai tiga tokoh tua, yaitu KH Hisjam, KH Moechtar, dan KH Sjuja'.
Tahun 1937, pada Kongres ke-26 Muhammadiyah di Yogyakarta, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur, lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur, yang saat itu mewakili Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya. Awalnya, Mas Mansur menolak. Setelah melalui dialog panjang, Mas Mansur bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Terpilihnya Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah membuatnya pindah ke Yogyakarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji. Dia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut.
Mas Mansur juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu digelar tepat waktu. Rapat PP Muhammadiyah pernah dibatalkan karena pada waktu yang ditetapkan dalam undangan, para anggota belum mencukupi jumlah untuk dapat bersidang.
Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Selain itu, Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik umat Islam saat itu.
Misal, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu.
Ia berpendapat, secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian umat Islam saat itu dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Karena itu, jika umat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, kondisi perekonomian umat Islam akan semakin turun secara drastis.
Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian umat Islam.
Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi umat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU).
Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya. Hal ini dilakukan sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Mas Mansur dikenal sebagai ulama besar dan seorang pemimpin yang disegani. Dikutip dari pahlawancenter.com, Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperhatikan dan berusaha untuk mendekati Mas Mansur. Melalui Dr Pijper, Pemerintah Hindia Belanda menawari Mas Mansur jabatan sebagai Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu suatu lembaga tinggi tentang urusan agama Islam, yang berkewajiban memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Mas Mansur akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, suatu jumlah yang sungguh besar, seperti gaji seorang bupati di zaman Hindia Belanda itu.
Tetapi, di luar dugaan Pemerintah Hindia Belanda dan pihak-pihak yang tidak menyukai beliau, ternyata Mas Mansur menolak. la memilih kebebasan bergerak di dalam perserikatan Muhammadiyah, walaupun dengan hidup yang serba terbatas daripada menjadi ketua Hod van Islamitiesche Zaken dengan gaji besar dan kehidupan mewah, tetapi menjadi alat pemerintahan penjajahan.
Saat Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan Empat Serangkai. Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Namun, kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam Empat Serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya dan kedudukannya dalam Empat Serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Saat pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjara di Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo, Surabaya.
Mas Mansur dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 26 Juni 1964 melalui SK Presiden RI No.162 Tahun 1964.
Sumber: Wikipedia dan pahlawancenter.com
(zik)