Eksplorasi Kain melalui Teknik Celup Ikat
A
A
A
BANTUL - Ditangan seorang seniman, selembar kain bisa menjadi sebuah karya yang menarik. Sama seperti yang dilakukan oleh Caroline Rika Winata seorang seniman kain lulusan Jurusan Seni Rupa I SI Yogyakarta ini.
Seniman yang gemar melakukan eksperimen pada kain bisa menyulap selembar kain menjadi sebuah karya seni yang menarik . Meski memilih jurusan seni rupa namun rasa penasaran dan keingintahuannya yang tinggi pada objek kain membuatnya memilih menekuni dunia celup ikat sejak 2008. Celup ikat memang tidak sepopuler batik yang teknik pewarnaan dan pengerjaannya banyak diketahui masyarakat luas.
Tak banyak orang tahu bahwa teknik celup ikat adalah teknik pewarnaan kain yang paling dasar dan paling primitif. Dengan teknik ini satu kain dapat berevolusi menjadi beragam warna. Pewarnaan kain menggunakan teknik ini banyak ditemui di Jepang, India, dan Afrika. Celup ikat adalah proses pewarnaan kain dengan cara menahan warna masuk ke kain dengan cara diikat.
Proses pengikatan biasanya menggunakan bambu. “Dari dulu tidak tahu kenapa saya gemar sekali mengkreasikan kain. Sampai akhirnya saya memilih celup ikat karena keunikannya. Hasil akhir dari celup ikat ini lebih ekspresif dan warna yang dihasilkan lebih unpredictable. Saya juga kerap menemukan motif baru dari efek-efek warna yang keluar dari proses celup ikat ini,” kata Caroline ketika ditemui di area workshop miliknya di Jalan Sonosewu, K asihan, Bantul, kemarin.
Kegemaran mengeksplorasi kain, membuatnya memilih membuat bisnis clothing dengan bahan kain celup ikat dengan Brand Wiru yang telah digelutinya selama lima tahun ini. Caroline banyak membuat selendang dan baju-baju handmade dari kain celup ikat. Beberapa kain miliknya juga kerap dipesan desainer-desainer Jakarta untuk kebutuhan fashion show.
Tak hanya desainer beberapa desainer interior juga kerap memesan kain celup ikat milik wanita kelahiran Bandung ini. Dalam waktu satu bulan, dia dapat memproduksi 200 meter kain. Harga kain per meter dibanderol Rp75.000. Proses pembuatan kain diawali dengan membersihkan kain terlebih dahulu kemudian direndam selama satu malam.
Kemudian kain dilipat-lipat (dijumput) dan diwarnai. Proses pewarnaan memakan waktu satu hari, satu warna satu kali pencelupan, kemudian dikeringkan. Proses paling lama adalah membuat jumputan, karena harus diikat kecil-kecil agar menghasilkan paduan warna yang maksimal.
“Kain ini memang tidak saya produksi secara massal karena semua proses pembuatan dilakukan dengan cara handmade. Harga per meternya juga terbilang tidak murah karena saya membuat desain kain dengan warna yang eksklusif,” paparnya. Sari, salah satu pelanggan kain celup ikat Wiru mengatakan, dia kerap membeli kain Wiru karena suka dengan motif dan warnanya yang unik.
Gadis pencinta kain tradisional ini senang menggunakan pakaian yang terbuat dari kain-kain tradisional. “Saya memang suka memadupadankan pakaian modern dan tradisional. Salah satu kain yang biasa saya modifikasi dengan baju-baju modern adalah kain Wiru ini, karena memiliki paduan warna yang beda dengan kain lainnya,” tuturnya.
Windy Anggraina
Seniman yang gemar melakukan eksperimen pada kain bisa menyulap selembar kain menjadi sebuah karya seni yang menarik . Meski memilih jurusan seni rupa namun rasa penasaran dan keingintahuannya yang tinggi pada objek kain membuatnya memilih menekuni dunia celup ikat sejak 2008. Celup ikat memang tidak sepopuler batik yang teknik pewarnaan dan pengerjaannya banyak diketahui masyarakat luas.
Tak banyak orang tahu bahwa teknik celup ikat adalah teknik pewarnaan kain yang paling dasar dan paling primitif. Dengan teknik ini satu kain dapat berevolusi menjadi beragam warna. Pewarnaan kain menggunakan teknik ini banyak ditemui di Jepang, India, dan Afrika. Celup ikat adalah proses pewarnaan kain dengan cara menahan warna masuk ke kain dengan cara diikat.
Proses pengikatan biasanya menggunakan bambu. “Dari dulu tidak tahu kenapa saya gemar sekali mengkreasikan kain. Sampai akhirnya saya memilih celup ikat karena keunikannya. Hasil akhir dari celup ikat ini lebih ekspresif dan warna yang dihasilkan lebih unpredictable. Saya juga kerap menemukan motif baru dari efek-efek warna yang keluar dari proses celup ikat ini,” kata Caroline ketika ditemui di area workshop miliknya di Jalan Sonosewu, K asihan, Bantul, kemarin.
Kegemaran mengeksplorasi kain, membuatnya memilih membuat bisnis clothing dengan bahan kain celup ikat dengan Brand Wiru yang telah digelutinya selama lima tahun ini. Caroline banyak membuat selendang dan baju-baju handmade dari kain celup ikat. Beberapa kain miliknya juga kerap dipesan desainer-desainer Jakarta untuk kebutuhan fashion show.
Tak hanya desainer beberapa desainer interior juga kerap memesan kain celup ikat milik wanita kelahiran Bandung ini. Dalam waktu satu bulan, dia dapat memproduksi 200 meter kain. Harga kain per meter dibanderol Rp75.000. Proses pembuatan kain diawali dengan membersihkan kain terlebih dahulu kemudian direndam selama satu malam.
Kemudian kain dilipat-lipat (dijumput) dan diwarnai. Proses pewarnaan memakan waktu satu hari, satu warna satu kali pencelupan, kemudian dikeringkan. Proses paling lama adalah membuat jumputan, karena harus diikat kecil-kecil agar menghasilkan paduan warna yang maksimal.
“Kain ini memang tidak saya produksi secara massal karena semua proses pembuatan dilakukan dengan cara handmade. Harga per meternya juga terbilang tidak murah karena saya membuat desain kain dengan warna yang eksklusif,” paparnya. Sari, salah satu pelanggan kain celup ikat Wiru mengatakan, dia kerap membeli kain Wiru karena suka dengan motif dan warnanya yang unik.
Gadis pencinta kain tradisional ini senang menggunakan pakaian yang terbuat dari kain-kain tradisional. “Saya memang suka memadupadankan pakaian modern dan tradisional. Salah satu kain yang biasa saya modifikasi dengan baju-baju modern adalah kain Wiru ini, karena memiliki paduan warna yang beda dengan kain lainnya,” tuturnya.
Windy Anggraina
(bhr)