Jangan Paksa Anak Membaca dan Berhitung

Minggu, 22 Maret 2015 - 09:21 WIB
Jangan Paksa Anak Membaca...
Jangan Paksa Anak Membaca dan Berhitung
A A A
Menjadi seorang pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran dan bisa mengajar dengan baik. Namun juga harus kreatif agar proses belajar mengajar tidak monoton.

Sosok ideal guru yang langka itu ada di dalam diri Rokillah Abdul Djamil, seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kota Tegal. Tak hanya berpengalaman mengajar, perempuan ramah ini juga merupakan penulis yang produktif. Salah satu buku karyanya, 100 Macam Kreasi Tepuk Tangan,

digunakan para guru PAUD untuk diajarkan di kelas. Isi buku tersebut dianggap bermanfaat karena dapat melatih motorik dan imajinasi anak yang tengah dalam masa-masa emas perkembangannya. Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan Rokillah terkait pengalaman dan ideidenya.

Bisa diceritakan sejak kapan mulai menjadi pendidik?


Awal 2005 sudah mulai aktivitas mengajar, tapi sebatas TPQ (Taman Pendidikan Quran), madrasah. Terus kemudian masuk di TK dan RA. Lingkungan teman-teman saya banyak yang di TPQ. Kadang jadi guru panggilan untuk kelas akhir, ketika mau khotmil (tamat membaca Alquran). Terus mulai ikut pembinaan guru, mulai ikut pembelajaran. Itu mulai merintis. Kemudian terus bergulir. Tahun 2014 keluar lalu masuk di PAUD Nurullah. Karena baru merintis dan butuh guru senior, pas kebetulan saya baru keluar dari RA, akhirnya ngajardi PAUD.

Kalau mulai menulis sejak kapan?

Mulai menulis sejak lama, karena saya memang hobi, hobi menulis. Mungkin awal banyak kritikan, tidak seindah apa. Tapi alhamdulillah, dari pembelajaran-pembelajaran, tambah ke sini, tambah sering mengikuti lomba-lomba yang di online , alhamdulillah ikut-ikut dan menang-menang.

Apa yang mendorong membuat buku 100 Macam Kreasi Tepuk Tangan?

Saya kadang sebagai guru saya tergugah ketika melihat proses belajar mengajar. Saya lihat betapa minimnya tepuk tangan itu. Sangat minim. Mereka memfokuskan anak untuk belajar pintar dulu, tapi tidak belajar untuk membuat mereka senang dulu. Istilahnya dalam hal ini gembira begitu ya. Suasana anak-anak itu seharusnya mereka senang dulu, baru disisipkan materi yang masuk kurikulum pembelajaran. Yang sering saya lihat tidak. Nah dari situ timbul. Saya pendam dulu. Saya kumpulin dulu ide-ide itu.

Kenapa menggunakan media tepuk tangan?

Awal masuk anak-anak itu kan kadang tegang, malas, terus kadang nangis. Guru itu masuk langsung menyiapkan. Bukan bagaimana membuat kondisi itu melentur dulu, atau bagaimana. Dari situ timbul bagaimana kalau kita buat tepuk tangan dulu. Gembira, tepuk apa, tepuk apa.

Bagaimana mempraktekkannya saat di kelas?

Saya mempraktekkannya begini, misalnya, bu guru punya tepuk tangan seperti ini, anakanak bisa nggak kira-kira. Itu sudah saya rangkum dulu di rumah. Masuk gak kira-kira untuk anak-anak. Ternyata pertama kali saya kenalkan, mereka lebih menghafal, ketimbang gurunya. Itu malah belum dicetak, sudah saya praktekkan di beberapa TK. Di tempat-tempat seminar juga selalu saya praktekkan. Walaupun bukunya belum muncul. Responsnya alhamdulillah, mereka daya ingatnya luar biasa. Terkadang gurunya, malah kadang saya lupa.

Contohnya seperti apa?


Awal baru masuk kelas biasanya kadang ada yang nangis, ada yang takut ditinggal mamahnya, takut ditinggal ayahnya. Saya biasanya kasih tepuk tangan ceri dulu. Saya tanya dulu, ada yang tahu buah ceri? saya tanya begitu. Buah ceri manis tidak anak-anak? Terus biasanya anak-anak kanjawab, “maniiiiis”. “Coba ya bu guru mau kasih tepuk tangan dulu, namanya tepuk ceri.” Saya kalau permulaan mengajarkan kan pelan-pelan. Dalam durasi 5 menit, anak-anak pasti inget.

Yang sering dipraktekkan itu. tepuk ceri, tepuk balon, terus tepuk durian. Andalan anak-anak itu tepuk ceri. Tepuk ceri itu masuknya tema diri sendiri. Tepuk ceri itu dibuat karena anak yang baru pertama masuk itu pasti banyak yang nangis. Nangis di pintu, diangkat nggak mau. Akhirnya saya kasih tepuk ceri. Idenya dari situ. Isi tepuk ceri itu ceria, tiap hari tidak sedih, tidak nangis, buah ceri manis-manis, anak manis tidak nangis. Kalau dinyanyikan nadanya pakai nada lagu pelangipelangi.

Pengaruhnya untuk perkembangan anak-anak?

Motorik, emosionalnya anakanak itu tumbuh. Mereka akan gembira, menyambut dengan gairah, semangat. Semangatnya timbul. Ini membangkitkan motorik mereka. Kan gerak tangan itu ikutnya di motoriknya. Juga melatih imajinasi. Jadi tidak menggambarkan dengan katakata atau tulisan. Tapi anak-anak bisa menggambarkan sendiri. Dari tepuk tangan itu anak-anak bisa tahu sendiri. Misalnya ada tepuk tangan durian.

Pentingnya melatih motorik dan imajinasi bagi anak?


Itu harus ya. Karena perkembangan anak kan dari usia bayi. Kalau kita tidak melatih dengan omongan, dengan ajakan ini, atau dengan gerakgerak apa, otomatis tidak ada perkembangan. Dia akan, istilahnya, maaf ya, ketinggalan mungkin. Tapi kalau banyak kreasi begini, dari guru-guru, banyak kegiatan motorik, apalagi dengan gerak kaki badan, itu menumbuhkan perkembangan fisiknya juga. Dan IQ-nya juga secara tidak langsung.

Kesulitan yang dihadapi?

Kadang kita disalahkan, “Bu kok tidak ada les, ini anak saya belum bisa membaca, belum bisa menulis,” Saya balik bertanya kepada mereka, “Ibu apa ibu ingin anak anda bisa seperti ini, seperti itu, tapi nanti anaknya akan menjadi sedih, tertekan.” Tapi ibu gak tahu anaknya tertekan? Biarkan anak bermain dulu bu, sebab nanti ada periodenya sendiri.” Ada juga guru yang mau mewajibkan (membaca dan menulis), ada juga.Karena mungkin paksaan, tuntutan orang tua.

Menekankan bisa membaca dan menulis. Padahal di TK dan PAUD harus bergembira. Mematangkan kemandirian, emosional mereka stabil Karena kalau sudah di SD itu kemandiriannya sudah tumbuh 100%. Nah pembelajaran yang efektif, yang benarbenar materi kan di SD. Kelirunya kadang di situ. TK itu tidak harus 100% bisa membaca dan menulis. Mengenal huruf A sampai Z saja, itu sudah sangat luar biasa.

Tapi ketika orang tua menuntut harus bisa membaca itu yang tidak luar biasa, karena orang tua menuntut berlebihan. Porsinya belum sampai. Kadang prihatinnya di situ. Kegiatan anak TK itu kan yang harus memacu gembira dulu, senang dulu, happy dulu, tetapi tentu dengan batasan sopan santun, kemandirian.

Inspirasinya dari mana menciptakan 100 macam kreasi tepuk tangan?


Saya melihat dari anak-anak. Inisiatif ini saya kembangkan sendiri. Saya bukan tipe orang yang suka menegur, harus begini harus begitu. Karena bentuknya kan nanti buku. Itu kan dibaca. Mau diprotes, mau dimanfaatkan, mau dipake kan itu hak mereka pribadi.

Buku 100 Macam Kreasi Tepuk Tangan itu buku anakanak pertama yang dibuat?

Saya mulai bikin buku anakanak itu buku seri belajar membaca. Itu awal-awal buku anak yang saya buat. Judulnya Aku Suka MembacaSeri 1-5 . Itu penerbitnya WR di Yogya. Itu tahun 2009 kalau tidak salah. Setelah itu semakin banyak suka melihat anak-anak itu akhirnya saya buat (100 Kreasi Tepuk Tangan).

Dalam waktu tiga bulan buatnya. Di penerbitnya yang lama. Naruh bulan Mei 2014. Tapi baru keluar Maret 2015. Saya masukkan buku kan banyak, ada empat buku, ada kumpulan cerita (kumcer), ada dongeng. Yang saya utamakan 100 Macam Kreasi Tepuk Tangan itu, tapi yang keluar malah kumcernya dulu.

Harapan dengan keberadaan buku 100 Macam Kreasi Tepuk Tangan?


Saya bersyukur. Ini kenangkenangan saya untuk temanteman guru. Mudah-mudahan dengan adanya buku ini bisa bermanfaat. Bisa untuk menambah koleksi mereka di sekolah apalagi untuk selingan waktu mungkin pas mau istirahat, mau pembelajaran. Boleh tepuk tangan itu diubah bentuknya, boleh diubah nadanya, karena saya bukan merasa ini harus ini harus itu, enggak.

Nggak masalah. Justru mereka kalau memakai ini kan menambah koleksi di sekolah, adanya tepuk apa. Yang tadinya terbatas tepuknya sedikit, dengan adanya ini bisa menambah. Misalnya di sekolah saya belum ada tepuk bola, nah itu bisa menambah.

Farid firdaus
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9850 seconds (0.1#10.140)