Supersemar dan Jatuhnya Soekarno

Senin, 16 Maret 2015 - 05:00 WIB
Supersemar dan Jatuhnya Soekarno
Supersemar dan Jatuhnya Soekarno
A A A
SURAT PERINTAH 11 MARET 1966 atau Supersemar merupakan salah satu peristiwa yang maha penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia modern. Peristiwa ini merupakan tonggak lahirnya Orde Baru.

Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, seperti dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH menyatakan sebab lahirnya Orde Baru.

Menurutnya, Supersemar lahir di saat negara sedang dalam keadaan gawat, di mana integritas Presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam bahaya. Sehingga, perlu diambil tindakan pemulihan keamanan.

"Surat Perintah 11 Maret itu bukan merupakan alat untuk mengadakan coup (kudeta) secara terselubung. 'Supersemar' itu merupakan awal dari perjuangan Orde Baru," kata Soeharto, pada halaman 174.

Demikian menurut Soeharto, Supersemar yang selama ini dinyatakan sebagai kudeta terselubung dan sembunyi-sembunyi sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang nyata dan dapat dilihat kasat mata.

Seperti apa kisahnya? Cerita Pagi akan mengupasnya secara singkat, dan dalam. Dimulai dengan sejarah lahirnya Supersemar. Untuk mempermudah uraian ini, baiknya dipaparkan jalannya peristiwa itu.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, terjadi penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat (AD) oleh sekelompok tentara. Peristiwa ini dikenal Gerakan 30 September 1965 atau Gerakan 1 Oktober 1965.

Pembunuhan para jenderal itu sangat mengejutkan rakyat Indonesia. Presiden Soekarno lalu mengangkat Soeharto menjadi Penanggung Jawab Pemulihan Kamtibmas dan Men Pangab menggantikan A Yani.

Penunjukkan Soeharto sebagai Men Pangab diharapkan dapat menekan gelombang aksi ketidakpuasan yang mengecam Soekarno dan peristiwa pembunuhan para jenderal, yang diduga ditunggangi oleh AD.

Dalam kamus revolusi, menurut Soekarno penculikan dan pembunuhan para jenderal hanya gelombang kecil dalam samudra revolusi. Namun, pernyataan ini dipelintir untuk kepentingan "perjuangan" Orde Baru.

Sikap Soekarno yang menolak membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sesuai keinginan AD, dan malah mempertahankan keberadaan mereka dalam kabinet baru, mengakibatkan serangan yang lebih keras.

Pada 11 Maret 1966, gelombang aksi ketidakpuasan terhadap sikap Soekarno dan kabinetnya membuncah. Pagi-pagi sekali, sebelum sidang kabinet dihelat, ribuan mahasiswa telah berada di depan Istana Negara.

Jumlah mereka semakin berlipat ganda saat sidang dimulai. Para mahasiswa yang diduga ditunggangi AD ini bahkan meringsek masuk Istana Negara. Pasukan Kawal Presiden Cakrabirawa pun terdesak.

Bahkan, mereka sempat meletuskan tembakan peringatan ke udara. Tidak hanya mahasiswa, Soeharto juga menerjunkan sejumlah pasukan gelap sejumlah tiga kompi RPKAD dari Kostrad pimpinan Kemal Idris.

Seragam para tentara saat itu loreng, bersenjata lengkap, dan tanpa pengenal. Mereka menyebar bersama mahasiswa mengepung Istana Negara. Presiden Soekarno yang ada di Istana terancam jiwanya.

Saat sidang kabinet tengah berjalan, Soekarno yang telah mengetahui situasi di luar Istana Negara sudah tidak terkendali langsung terbang ke Istana Bogor. Sidang lalu diserahkan ke Waperdam II Leimena.

Dalam situasi yang sangat penting itu, Soeharto tidak ada. Dia alasan sakit flu di rumah. Tetapi menurut laporan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Dr H Soebandrio, sorenya Soeharto terlihat memimpin rapat.

Soebandrio merupakan salah seorang saksi mata yang saat peristiwa Supersemar terjadi berada di Istana Bogor bersama Soekarno. Dia bahkan ikut mengkoreksi isi dari Supersemar hingga sedemikian rupa.

Dalam buku Soebandrio yang berjudul Yang Saya Alami, Peristiwa G30S, Sebelum, Saat Meletus, dan Sesudahnya, dinyatakan isi Supersemar yang dijadikan pegangan Soeharto untuk membangun Orde Baru.

"Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodorkan surat yang dibaca Bung Karno," katanya, hal 79.

Ditambahkan dia, dalam ruang pertemuan itu juga ada Chaerul Saleh. Dia duduk di samping Soebandrio. Dalam ingatan Soebandrio, inti dari naskah Supersemar adalah kuasa untuk pemulihan keamanan.

Sedikitnya ada empat poin isi Supersemar menurut Soebandrio. Kesatu mengamankan Jakarta dan sekitarnya.

Kedua penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden semua tindakan yang akan dilaksanakan.

Ketiga mengamankan diri Presiden dan keluarganya. Keempat lestarikan ajaran Bung Karno. Dari empat poin itu, Soebandrio tidak menyebut adanya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.

Dalam praktiknya, Soeharto justru memanfaatkan Supersemar untuk membangun Orde Baru dan menghancurkan Orde Lama Soekarno. Langkah pertama Soeharto adalah menangkap para pimpinan komunis.

Dalam Kabinet Dwikora, tiga petinggi PKI menduduki posisi menteri. Mereka adalah Dipa Nusantara (DN) Aidit, Mohammad H Lukman, dan Nyoto. Ketiganya ditangkap hidup-hidup lalu ditembak mati.

Setelah menangkap para pemimpinnya, Soeharto membubarkan PKI dan menjadikannya partai terlarang.

Langkah Soeharto membubarkan PKI membuat Soekarno marah karena dia mengambil peran Presiden.

Pembubaran PKI dan dijadikannya partai itu terlarang mengakibatkan bencana kemanusiaan sangat besar di Indonesia. Terjadi banjir darah akibat pembunuhan besar-besaran terhadap para pendukung PKI.

Upaya pembersihan orang-orang komunis ini menjadi tiang pancang awal mula berdirinya Orde Baru.

Hingga kini, kasus pembantaian massal orang-orang PKI itu masih menyisakan duka yang sangat dalam.

Reaksi Soekarno terhadap peristiwa itu adalah mengeluarkan Surat Perintah 13 Maret 1966 sebagai koreksi terhadap Supersemar. Namun, surat itu diacuhkan. Soekarno telah hilang kekuasaannya.

Penyelewengan Soeharto berlanjut semakin jauh. Dia menangkap 21 menteri dan menjebloskannya ke dalam penjara. Dari 21 menteri itu, Soebandrio termasuk di dalamnya. Dia lalu dijatuhi hukuman mati.

Namun putusan itu diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup, dan akhirnya Soebandrio dibebaskan. Pukulan terakhir Soeharto adalah mencabut gelar Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.

Keputusan ini berarti terjadinya pengalihan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto. Pada 27 Maret 1968, MPRS Orde Baru mengangkat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Soekarno.

Soeharto menjabat Presiden Republik Indonesia ke-2 selama 32 tahun tanpa henti. Saat terjadi krisis hebat, Soeharto diturunkan secara paksa oleh gerakan mahasiswa dan rakyat Indonesia, pada 21 Mei 1998.

Demikian kupasan singkat Cerita Pagi tentang tonggak awal berdirinya Orde Baru sebagai peringatan Supersemar yang berhasil mengubah wajah dan jalannya revolusi Indonesia. Semoga memberikan manfaat.

Sumber tulisan:
  1. G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada 1989.
  2. Dr H Soebandrio, Yang Saya Alami Peristiwa G30S, Sebelum, Saat Meletus, dan Sesudahnya, PT Bumi Intitama Sejahtera, Mei 2006.
  3. Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, Penerbit Media Pressindo, Juni 2001.
  4. Wikipedia Indonesia, Soeharto.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.8949 seconds (0.1#10.140)