Satu Keluarga Berkelainan Kelamin di Tegal Butuh Bantuan
A
A
A
TEGAL - TIGA anak yang usianya tak terpaut terlalu jauh terlihat bermain di depan sebuah rumah berukuran sekitar 4x6 meter di Desa Sokasari, RT 06 RW 01, Kecamatan Bumijaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, siang itu.
Mereka adalah Zakaria (12), Tofan Al Hafid (4), dan Nurul Iman (2). Sekilas, tiga anak itu terlihat tidak berbeda jauh dengan anak-anak sebayanya. Wajah mereka polos dan tak menunjukan adanya kekhawatiran yang tengah ditanggung.
Ya, ketiganya memang masih terlalu muda untuk bisa merasakan kekhawatiran yang tengah menggelayut di wajah Toriqin (43), dan Seni (36), kedua orangtua mereka yang sedari tadi menemani dan mengawasi sang anak bermain.
Pasangan suami istri itu memang memiliki alasan untuk memendam rasa khawatir. Sejak lahir, empat dari enam anak mereka mengalami kelainan kelamin. Zakaria, Tofan, dan Nurul Iman meskipun memiliki fisik laki-laki, tetapi memiliki kelamin yang tak sepenuhnya menyerupai alat kelamin laki-laki sempurna.
Begitu juga dengan si putri sulung, Siti Damayanti (19) yang alat kelaminnya berbeda dengan alat kelamin perempuan pada umumnya. Dia juga memiliki suara yang berat, dan kumis seperti halnya laki-laki.
Siang lalu, Damayanti tak berada di rumah bersama adik-adiknya karena tengah menimba ilmu di sebuah pesantren di Magetan, Jawa Timur. "Yang saya takutkan nanti kelainan itu semakin terlihat sampai mereka besar," kata Toriqin, saat dikunjungi Sindonews, Jumat (13/3/2015).
Di Desa Sokasari yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Kecamatan Bumijawa, dan harus ditempuh melalui jalan yang berbatu dan curam, Toriqin sekeluarga tinggal di rumah yang terbilang sempit untuk menampung delapan orang.
Rumah beralaskan tanah itu hanya memiliki satu ruang yang digunakan untuk tidur. Dindingnya berupa kayu dan anyaman bambu. Sedangkan atap menggunakan seng. Satu-satunya barang berharga di rumah itu adalah sebuah televisi 14 inci.
Selain kekhawatiran menyangkut tumbuh kembang anaknya, kekhawatiran lain yang dipikirkan Toriqin adalah, proses pengobatan penyesuaian kelamin yang diperkirakan akan memakan biaya besar jika upaya itu harus dilakukan agar anak-anaknya bisa tumbuh dewasa dengan normal.
Beberapa hari lalu, Zakaria, Tofan, dan Nurul Iman sudah dibawa Toriqin ke Laboratorium Sentral RS Nasional Diponegoro, Semarang, untuk menjalani pemeriksaan awal sebelum dilakukan operasi penyesuaian kelamin.
"Kalau Zakaria saya sudah pasrah, biar tumbuh sebagai laki-laki. Kalau Nur Iman, harapannya operasi biar bisa jadi perempuan, soalnya ada bentuk kelamin perempuan. Topan juga harapannya bisa perempuan," ujarnya.
Untuk bolak-balik ke Semarang melakukan pemeriksaan awal itu, Toriqin harus mengandalkan kebaikan masyarakat yang diupayakan aparat perangkat desa setempat. Pasalnya, Toriqin tak memiliki penghasilan tetap. Sehari-hari, dia hanya bekerja sebagai buruh serabutan, sementara sang istri hanya ibu rumah tangga.
"Kalau ada yang manggil jadi buruh bangunan ya berangkat, kalau ada panggilan di sawah ya berangkat. Kalau tidak ada ya menganggur. Kalau ada yang manggil untuk bantu-bantu dapatnya Rp50 ribu sehari," ungkapnya.
Menurut Toriqin, setelah melakukan pemerikasan awal, proses pengobatan selanjutnya yang harus dilalui anak-anaknya adalah tes tulang dan USG. Biaya pemeriksaan USG satu orang Rp900.000. Sedangkan untuk bolak-balik ke Semarang dibutuhkan biaya Rp1,5 juta untuk menyewa mobil.
"Tes tulang juga kemungkinan hampir sama biayanya. Sekarang dananya belum ada, dan mungkin bisa dibantu Jamkesmas. Tapi untuk biaya ke Semarang terus terang kesulitan," pungkasnya.
Mereka adalah Zakaria (12), Tofan Al Hafid (4), dan Nurul Iman (2). Sekilas, tiga anak itu terlihat tidak berbeda jauh dengan anak-anak sebayanya. Wajah mereka polos dan tak menunjukan adanya kekhawatiran yang tengah ditanggung.
Ya, ketiganya memang masih terlalu muda untuk bisa merasakan kekhawatiran yang tengah menggelayut di wajah Toriqin (43), dan Seni (36), kedua orangtua mereka yang sedari tadi menemani dan mengawasi sang anak bermain.
Pasangan suami istri itu memang memiliki alasan untuk memendam rasa khawatir. Sejak lahir, empat dari enam anak mereka mengalami kelainan kelamin. Zakaria, Tofan, dan Nurul Iman meskipun memiliki fisik laki-laki, tetapi memiliki kelamin yang tak sepenuhnya menyerupai alat kelamin laki-laki sempurna.
Begitu juga dengan si putri sulung, Siti Damayanti (19) yang alat kelaminnya berbeda dengan alat kelamin perempuan pada umumnya. Dia juga memiliki suara yang berat, dan kumis seperti halnya laki-laki.
Siang lalu, Damayanti tak berada di rumah bersama adik-adiknya karena tengah menimba ilmu di sebuah pesantren di Magetan, Jawa Timur. "Yang saya takutkan nanti kelainan itu semakin terlihat sampai mereka besar," kata Toriqin, saat dikunjungi Sindonews, Jumat (13/3/2015).
Di Desa Sokasari yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Kecamatan Bumijawa, dan harus ditempuh melalui jalan yang berbatu dan curam, Toriqin sekeluarga tinggal di rumah yang terbilang sempit untuk menampung delapan orang.
Rumah beralaskan tanah itu hanya memiliki satu ruang yang digunakan untuk tidur. Dindingnya berupa kayu dan anyaman bambu. Sedangkan atap menggunakan seng. Satu-satunya barang berharga di rumah itu adalah sebuah televisi 14 inci.
Selain kekhawatiran menyangkut tumbuh kembang anaknya, kekhawatiran lain yang dipikirkan Toriqin adalah, proses pengobatan penyesuaian kelamin yang diperkirakan akan memakan biaya besar jika upaya itu harus dilakukan agar anak-anaknya bisa tumbuh dewasa dengan normal.
Beberapa hari lalu, Zakaria, Tofan, dan Nurul Iman sudah dibawa Toriqin ke Laboratorium Sentral RS Nasional Diponegoro, Semarang, untuk menjalani pemeriksaan awal sebelum dilakukan operasi penyesuaian kelamin.
"Kalau Zakaria saya sudah pasrah, biar tumbuh sebagai laki-laki. Kalau Nur Iman, harapannya operasi biar bisa jadi perempuan, soalnya ada bentuk kelamin perempuan. Topan juga harapannya bisa perempuan," ujarnya.
Untuk bolak-balik ke Semarang melakukan pemeriksaan awal itu, Toriqin harus mengandalkan kebaikan masyarakat yang diupayakan aparat perangkat desa setempat. Pasalnya, Toriqin tak memiliki penghasilan tetap. Sehari-hari, dia hanya bekerja sebagai buruh serabutan, sementara sang istri hanya ibu rumah tangga.
"Kalau ada yang manggil jadi buruh bangunan ya berangkat, kalau ada panggilan di sawah ya berangkat. Kalau tidak ada ya menganggur. Kalau ada yang manggil untuk bantu-bantu dapatnya Rp50 ribu sehari," ungkapnya.
Menurut Toriqin, setelah melakukan pemerikasan awal, proses pengobatan selanjutnya yang harus dilalui anak-anaknya adalah tes tulang dan USG. Biaya pemeriksaan USG satu orang Rp900.000. Sedangkan untuk bolak-balik ke Semarang dibutuhkan biaya Rp1,5 juta untuk menyewa mobil.
"Tes tulang juga kemungkinan hampir sama biayanya. Sekarang dananya belum ada, dan mungkin bisa dibantu Jamkesmas. Tapi untuk biaya ke Semarang terus terang kesulitan," pungkasnya.
(san)