Marsose Cikal Bakal Pasukan Khusus Belanda di Indonesia

Jum'at, 13 Maret 2015 - 05:00 WIB
Marsose Cikal Bakal...
Marsose Cikal Bakal Pasukan Khusus Belanda di Indonesia
A A A
Marsose atau Marechaussee adalah pasukan komando modern pertama di Indonesia saat jaman kolonial Hindia Belanda.

Konsep dalam Marsose tidak jauh berbeda dengan pasukan khusus yang ada dan berkembang sekarang ini.

Konsepnya yaitu sebuah pasukan kecil namun memiliki daya gempur dahsyat terhadap lawan.

Awalnya Korps Marechaussee te Voet atau Marsose di Belanda dibentuk pada 26 Oktober 1814 oleh Pemerintah Belanda berdasarkan dekrit no 48.

Namun Korps Marechaussee te Voet berbeda dengan Marsose yang bertugas di Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Sementara menurut Paul Vant Veer dari Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid X, Jakarta, Marsose di Hindia Belanda dibentuk atas usulan dari Teuku M Arif, jaksa kepala di Kutaraja, Aceh yang pro Belanda.

Dia memberi nasihat kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal Van Teijn untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri antigerilya yang memiliki mobilitas tinggi.

Lalu dibentuklah Marsose di Hindia Belanda yang personelnya merupakan anggota pilihan dari berbagai kesatuan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) baik pribumi maupun Eropa pada.

Banyak orang pribumi dengan kemahiran dalam pertarungan menjadi anggota Marsose karena mereka lebih familiar dengan iklim tropis.

Mereka memakai bedil dengan ukuran yang lebih pendek dari bedil biasa (karaben) dan tidak tergantung angkutan militer dan biasa berjalan kaki. Marsose juga tidak bergantung pada jalur suplai logistik.

Pasukan ini selain dipersenjatai karaben juga dipersenjatai senjata tajam tradisional khas penduduk setempat seperti klewang, rencong dan sebagainya.

Marsose memiliki karakter tersendiri dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan senjata tajam sejenis klewang untuk menghabisi lawannya dalam jarak dekat.

Selain itu penggunaan senjata tajam sangat membantu prajurit khusus ini sehingga bisa membunuh lawan tanpa harus membuat gaduh dan kehilangan peluru.

Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-masing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia.

Pasukan ini memulai kiprahnya di Hindia Belanda (nusantara) dengan terjun di Bumi Serambi Mekkah pada tahun 1890.

Salah satu unit Marsose yang diterjunkan di Aceh dikenal dengan nama Kolone Macan. Kolone Macan adalah unit khusus yang dibentuk untuk memadamkan perlawanan para pejuang Aceh.

Pasukan khusus ini berhasil memukul mundur pejuang Aceh dan sempat menangkap salah satu Panglima Aceh, Teuku Umar yang kemudian mati Syahid.

Cara kerja pasukan ini terkenal kejam dan sadis saat mereka melalukan sweeping dan eksekusi di tempat. Berita kesadisan Marsose itu terdengar sampai di daratan Eropa.

Bahkan pasukan Marsose pimpinan Overste van Daalen telah pada tahun 1904 membantai sebanyak 2.549 orang di Kampung Kute Reh, Badek, Cane Uken Tungul, Penosan, Tampeng, Likat dan Kute Lengat Baru.

Meski akhirnya pasukan ini mampu membantu pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengakhiri Perang Aceh yang panjang hingga awal abad ke 20.

Namun Belanda mengalami kerugian yang sangat besar baik dari segi materi dan moral dalam pendudukannya di Bumi Serambi Mekkah ini.

Kiprah pasukan Marsose juga dinilai berhasil mengalahkan pasukan Sisingamangaraja XII saat berperang di pedalaman Sumatera Utara pada 1907.

Pasukan ini dipimpin Letkol WBJA Scheepens dan Hans Christoffel yang juga telah berhasil dalam menjalankan tugasnya di Aceh.

Hans Christofell adalah orang yang memimpin pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII dengan bantuan prajurit Belanda dari Senegal yang sangat ahli berburu.

Setelah mereka memadamkan perjuangan Sisingamangaraja XII, di pedalaman Sumatra Utara, Piso Gaja Dompak, pedang pusaka yang biasa dibawa bertempur oleh Sisingamangaraja XII lalu diserahkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai bukti raja di tanah Batak ini telah ditaklukan.

Marsose juga dinilai berperan dalam memadamkan perlawanan Pasukan Sultan Muhammad Seman saat Perang Banjar.

Pasukan Marsose dibawah pimpinan Hans Christoffel ini bisa menduduki Benteng Manawing pada Januari 1905.

Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan Banjar ini tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.

Sementara salah satu Marsose pribumi yang cukup diakui adalah WC Ferdinandus dari Haruku, Saparua yang berhasil mengalahkan pasukan Maria Langa pimpinan pejuang di NTB pada awal tahun 1900 an.

Selain itu ada nama Robert Talumewo, Simon Leiwakabessy, Stephanus Melfibossert Anthony dan Redjakrama yang berdarah Jawa.

Atas keberanian Marsose pribumi ini pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberikan Bintang Jasa Militair Willemsorde kelas IV.

Akhirnya pada tahun 1930 pasukan Marsose di Indonesia resmi dibubarkan. Belum jelas kemana saja para pasukan ini menyebar.

Tapi, yang pasti mereka benar-benar telah memberikan sejarah kelam dalam dunia militer di Nusantara.

Cerita mengenai Marsose juga mulai redup sejak kedatangan tentara Dai Nippon di Indonesia.

Kemudian tradisi pasukan khusus Belanda di Indonesia dihidupkan kembali oleh putra Letkol WBJA Scheepens yakni Kapten WJ Scheepens ketika tentara Belanda mendarat pada tahun 1945.

Kapten Scheepens mengembangkan gagasannya untuk membentuk Pasukan Khusus (Speciale Troepens) sehingga pimpinan KNIL menyetujuinya dengan mendirikan Depot Speciale Troepens (DST) pada 15 Juli 1946.

Pasukan DST yang berciri khas berbaret hijau ini dikomandoi oleh Kapten WJ Scheepens personelnya juga direkrut dari berbagai suku dan bangsa.

Pasukan ini diberi pelatihan strategi dan taktik pasukan komando di berbagai tempat mulai dari Polonia, Kalibata hingga akhirnya di Batujajar, Bandung.

Lalu pada 20 Juli 1946 Komandan DST diserahterimakan kepada Westerling. Sekarang tempat latihan pasukan DST di Batujajar digunakan untuk melatih anggota Kopassus, pasukan elite TNI AD.

Batujajar, Jawa Barat digunakan untuk mengambil spesialisasi Para dan Komando bagi para anggota Kopassus.

Selain DST terdapat juga pasukan payung Belanda yang bertugas di Indonesia. Pasukan ini memiliki ciri khas berbaret merah yang mengadopsi pasukan khusus dari Inggris.

Kemudian Kepala Staf KNIL di Indonesia Jenderal Simon Spoor mengabungkan DST dengan pasukan payung berbaret merah Belanda.

Spoor menggabungkan konsep komando dan para bagi pasukan ini dengan nama Korps Speciale Troepen (KST).

Pada 1 Mei 1947 Jenderal Spoor melantik pasukan gabungan ini. Salah satu anggotanya adalah Rokus Bernadus Visser atau Muhammad Idjon Janbi yang kemudian menjadi pelatih sekaligus komandan pasukan khusus TNI AD (cikal bakal Kopassus).

Sumber : Buku Pasukan Komando, Cetakan Pertama, Petrik Matanasi, 2008.
Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0932 seconds (0.1#10.140)