Gelap Gulita sejak Zaman Penjajahan
A
A
A
KABUPATEN BANDUNG - SD ini terbilang cukup tua, di mana pertama kali dibangun pada 1893 oleh Karel Rudolf Albert Bosscha. Sayangnya, SD yang berada di tengah perkebunan teh Gunung Malabar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, itu kondisinya masih jauh dari ideal.
Selain minim fasilitas, sekolah ini juga belum teraliri listrik. Bangunannya masih berbentuk panggung. Sementara dindingnya terbuat dari bilik bambu, berlantaikan kayu jati, dan beratapkan seng. Ironisnya, kendati tiang listrik PLN hanya berjarak sekitar 250 meter dari lokasi dan terdapat jaringan listrik PT Perkebunan Nusantara VIII yang persis berada di belakang sekolah, namun sekolah ini belum teraliri listrik.
Pihak sekolah terpaksa memfungsikan genset ketika kondisi gelap. Informasi yang berhasil dihimpun, pada awalnya sekolah tersebut didirikan untuk memberi kesempatan bagi warga pribumi khususnya anak-anak karyawan dan buruh yang bekerja di perkebunan teh Malabar agar mengenyam pendidikan setingkat sekolah dasar.
Kini kehadiran sarana pendidikan yang dulu diberi nama Vervoloog Malabar seolah tidak optimal karena dari delapan ruangan yang ada, hanya enam yang masih digunakan oleh SDN Malabar 4 serta gabungan dari SDN Malabar 2. Warga Malabar Yayat, 50, menyayangkan belum adanya listrik ke lokasi sekolah itu.
Di sisi lain, pihak perkebunan pun nyaris membiarkan bangunan tersebut. Padahal, secara historis bangunan ini merupakan saksi sejarah pendidikan di Malabar, Pangalengan. “Upaya pemasangan listrik kalau tidak salah sudah diajukan, termasuk ke Pemkab Bandung. Namun, hingga kini belum ada kepastian dan tindaklanjutnya,” ujar Yayat.
Dia mengatakan, sudah seharusnya bangunan bekas peninggalan Bosscha ini dijaga dan tetap dilestarikan karena dapat membantu masyarakat sekitar dari sektor pendidikan para putra-putri yang menetap dikawasan Malabar. Menurut sepengetahuannya, jika cuaca buruk seperti hujan deras, membuat ruangan kelas gelap dan dan minim akan penerangan.
“Memang ada genset disana, tapi saya pikir lebih dibutuhkan aliran listrik sehingga proses pembelajaran tak terganggu,” ungkapnya. Sementara itu, seorang guru di SDN Malabar 4 Eti, 47, mengakui bila sekolahnya itu belum teraliri listrik sejak beberapa tahun lalu. Dia berharap agar aliran listrik dapat sesegera direalisasikan demi menunjang KBM dan memberi kenyamanan bagi peserta didik.
Sebab, lebih dari 10 tahun Eti menjadi pengajar belum ada kejelasan terkait rencana pemasangan listrik di sekolah yang kini memiliki sekitar 200 siswa itu. “Jika sudah ada listrik para siswa juga bisa makin bersemangat belajarnya,” kata Eti. Setiap hari, lanjut dia, ruangan guru selalu gelap karena kurang mendapatkan pencahayaan.
Eti meminta pemerintah setempat melalui instansi terkait ikut mengupayakan agar aliran listrik secepatnya masuk ke sekolah guna menunjang berbagai kegiatan. Terlebih, saat ini SDN Malabar 4 tercatat sebagai satu-satunya sekolah dasar di kawasan Perkebunan Malabar. ”Semua siswa di sekolah ini mayoritas putra putri yang bekerja di perkebunan,” ucapnya.
Dila Nashear
Selain minim fasilitas, sekolah ini juga belum teraliri listrik. Bangunannya masih berbentuk panggung. Sementara dindingnya terbuat dari bilik bambu, berlantaikan kayu jati, dan beratapkan seng. Ironisnya, kendati tiang listrik PLN hanya berjarak sekitar 250 meter dari lokasi dan terdapat jaringan listrik PT Perkebunan Nusantara VIII yang persis berada di belakang sekolah, namun sekolah ini belum teraliri listrik.
Pihak sekolah terpaksa memfungsikan genset ketika kondisi gelap. Informasi yang berhasil dihimpun, pada awalnya sekolah tersebut didirikan untuk memberi kesempatan bagi warga pribumi khususnya anak-anak karyawan dan buruh yang bekerja di perkebunan teh Malabar agar mengenyam pendidikan setingkat sekolah dasar.
Kini kehadiran sarana pendidikan yang dulu diberi nama Vervoloog Malabar seolah tidak optimal karena dari delapan ruangan yang ada, hanya enam yang masih digunakan oleh SDN Malabar 4 serta gabungan dari SDN Malabar 2. Warga Malabar Yayat, 50, menyayangkan belum adanya listrik ke lokasi sekolah itu.
Di sisi lain, pihak perkebunan pun nyaris membiarkan bangunan tersebut. Padahal, secara historis bangunan ini merupakan saksi sejarah pendidikan di Malabar, Pangalengan. “Upaya pemasangan listrik kalau tidak salah sudah diajukan, termasuk ke Pemkab Bandung. Namun, hingga kini belum ada kepastian dan tindaklanjutnya,” ujar Yayat.
Dia mengatakan, sudah seharusnya bangunan bekas peninggalan Bosscha ini dijaga dan tetap dilestarikan karena dapat membantu masyarakat sekitar dari sektor pendidikan para putra-putri yang menetap dikawasan Malabar. Menurut sepengetahuannya, jika cuaca buruk seperti hujan deras, membuat ruangan kelas gelap dan dan minim akan penerangan.
“Memang ada genset disana, tapi saya pikir lebih dibutuhkan aliran listrik sehingga proses pembelajaran tak terganggu,” ungkapnya. Sementara itu, seorang guru di SDN Malabar 4 Eti, 47, mengakui bila sekolahnya itu belum teraliri listrik sejak beberapa tahun lalu. Dia berharap agar aliran listrik dapat sesegera direalisasikan demi menunjang KBM dan memberi kenyamanan bagi peserta didik.
Sebab, lebih dari 10 tahun Eti menjadi pengajar belum ada kejelasan terkait rencana pemasangan listrik di sekolah yang kini memiliki sekitar 200 siswa itu. “Jika sudah ada listrik para siswa juga bisa makin bersemangat belajarnya,” kata Eti. Setiap hari, lanjut dia, ruangan guru selalu gelap karena kurang mendapatkan pencahayaan.
Eti meminta pemerintah setempat melalui instansi terkait ikut mengupayakan agar aliran listrik secepatnya masuk ke sekolah guna menunjang berbagai kegiatan. Terlebih, saat ini SDN Malabar 4 tercatat sebagai satu-satunya sekolah dasar di kawasan Perkebunan Malabar. ”Semua siswa di sekolah ini mayoritas putra putri yang bekerja di perkebunan,” ucapnya.
Dila Nashear
(bhr)