Soal Trans Studio, Pemkot Tak Gegabah

Kamis, 12 Maret 2015 - 08:28 WIB
Soal Trans Studio, Pemkot...
Soal Trans Studio, Pemkot Tak Gegabah
A A A
SEMARANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang tak ingin polemik rencana pembangunan kawasan wisata terpadu Trans Studio terus berkepanjangan.

Seniman, komunitas dan tokoh masyarakat akan difasilitasi pemkot untuk bertemu langsung dengan investor agar tidak ada lagi perbedaan pandangan. “Pembangunan Trans Studio tidak akan dilakukan secara gegabah. Kami tidak akan melangkah sebelum semua proses clear. Makanya, kami akan ajak semua pihak terkait untuk berdiskusi dan berembuk,” kata Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi seusai menghadiri dialog bersama seniman dan masyarakat mengenai rencana pembangunan Trans Studio di kompleks Taman Budaya Raden Saleh(TBRS), Selasa(10/3) malam.

Hadir dalam pertemuan itu penyair Timur Sinar Suprabana, budayawan Djawahir Muhammad, juga Didik Nini Thowok yang dikenal seniman serba bisa. Selain itu, hadir Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi dan Ketua Dewan Kesenian Semarang Mulyo Hadi Purnomo. Dalam kesempatan tersebut, Hendi, sapaan akrab Hendrar Prihadi, menegaskan bahwa tidak ada keinginan mematikan atau menggusur TBRS, tempat berkreasi para seniman.

Terkait pro dan kontra pembangunan Trans Studio, dia menilai karena masih kurangnya sosialisasi, sehingga muncul anggapan bahwa TBRS akan digusur. “Pemahaman (akan digusur) itu dari mana?,” katanya. Dia tidak ingin mempermasalahkan siapa yang setuju dan tidak setuju. Fokus saat ini adalah bagaimana agar TBRS sebagai aset milik pemkot dikelola optimal untuk ruang berekspresi seniman.

“Rencananya, Trans Studio dibangun di wahana Wonderia yang masih bagian kompleks TBRS. Makanya saya ingin dengar masukan. Kalau inginnya hanya dibangun di Wonderia, TBRS jangan diutak-atik, silakan,” katanya. Namun, jika para seniman ingin Trans Studio nantinya terintegrasi dengan kegiatan seni budaya di TBRS, pihaknya juga siap mendukung. Sebab pihaknya tidak ingin mematikan atau menggusur tempat berkreasi seniman.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi mengapresiasi langkah wali kota yang mau turun langsung untuk berkomunikasi dan mendengarkan aspirasi masyarakat dalam suasana diskusi yang demokratis. “Kami akan terus mengawal kebijakan Pemkot Semarang agar bermanfaat. Makanya, nanti akan dilakukan kajian-kajian lebih lanjut terkait dengan rencana pembangunan Trans Studio dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya,” katanya.

Sebelumnya, Senin (9/3) pukul 01.45 WIB, forum seniman menelurkan 10 butir alasan penolakan terhadap Trans Studio di TBRS. Hadir dalam forum tersebut Ketua Dekase Mulyo Hadi Purnomo, Sekretaris Dekase Daniel Hakiki, mantan Ketua Dekase Marco Marnadi, kurator dan pengamat budaya Aji Nugroho, seniman Widyo Leksono Babahe, Adhitia Armitrianto, Suhartono, Bintang Alhuda, Tobi Putra, Anton Sudibyo, Aristya Kusuma Verdana, Ibrahim Bra, Achyar M Permana, M Syukron, Imam Putre, Gunawan, dan Cahyo Nugroho. Alasan penolakan itu antara lain pembangunan Trans Studio di Kompleks TBRS adalah privatisasi ruang publik.

Jumlah dan persentasenya ruang publik di Semarang sudah kurang di Kota Semarang, seharusnya ditambah, bukannya dikurangi lagi. Pemilihan tempat di Kompleks TBRS (Wonderia dan TBRS) dinilai tidak bijak karena seharusnya Trans Studio di lokasi yang tidak di tengah kota untuk tujuan pemerataan pusat keramaian dan pengembangan kota. “Pengalihan fungsi TBRS jadi Trans Studio melanggar Perda 14/2011 tentang RTRW.

Dalam Pasal 86, huruf g angka 13 disebutkan kawasan TBRS di Kecamatan Candisari sebagai pasar seni yang masuk dalam kawasan pengembangan dan peningkatan wisata alam dan cagar budaya,” papar Mulyo Hadi Purnomo. Selain itu, alasan penolakan adalah TBRS adalah identitas kota yang sudah mengalami proses panjang dan memiliki sejarah sekian lama. Mengubah atau menghilangkan TBRS sama saja menghilangkan identitas kota dan mengurangi satu lagi indikator sebagai kota layak huni.

Trans Studio juga mengancam pengurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang yang sudah sangat kecil persentasenya. Kawasan TBRS masuk wilayah Kecamatan Candisari yang mana mempunyai persentase RTH terkecil di Semarang, hanya 6%. Pohon-pohon besar berusia ratusan tahun di TBRS merupakan penopang paru-paru kota.

“Kami melihat pembangunan Trans Studio tidak akan bisa mempertahankan RTH tersebut. TBRS juga memiliki sendang yang airnya menopang kehidupan warga sekitar. Dikhawatirkan akses air bagi warga akan tertutup jika TBRS beralih menjadi Trans Studio,” ucap Mulyo Hadi Purnomo.

Soal wacana akan menyinergikan seniman dengan Trans Studio, dianggap bukan solusi. Sebab sudah banyak kasus dalam pembangunan privatisasi ruang publik, adanya janji akan melibatkan masyarakat hanya angin surga yang tak pernah direalisasikan. Contohnya Wisma Pancasila yang kini jadi Krakatau Ballroom Hotel Horison, Gedung GRIS, dan Wonderia.

Mabduh/wikha setiawan
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1038 seconds (0.1#10.140)