Kisah Cinta di Tengah Revolusi Kemerdekaan

Selasa, 03 Maret 2015 - 10:48 WIB
Kisah Cinta di Tengah...
Kisah Cinta di Tengah Revolusi Kemerdekaan
A A A
YOGYAKARTA - Siapa sangka seusai Indonesia merdeka pada 1945 lalu, tepatnya ketika masa transisi kemerdekaan pada akhir 1946, tersimpan segelintir kisah masa lalu yang kelam dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

Warga pribumi yang gembira berhasil mewujudkan kemerdekaan, begitu semangat dalam menumpas penjajah dari Tanah Air. Berdasarkan secuil kisah sejarah tersebut, para seniman teater Het Volksoperahuis dari Belanda yang berkolaborasi dengan seniman teater boneka Papermoon Puppet Theatre dari Indonesia menyuguhkan pertunjukan seni yang berbeda dengan judul Saidja, yang mengadopsi latar belakang sejarah kelam bangsa Indonesia.

Dengan balutan musik tradisional Jawa dipadukan dengan nyanyian tembangtembang modern membuat nuansa yang berbeda. Termasuk perpaduan tarian, adegan wayang, dan sajian teater begitu apik ditampilkan di dalamnya. Meski menggunakan tiga bahasa, yakni Indonesia, Inggris, dan Belanda, pertunjukan ini tak mengurangi kenikmatan dalam memahami cerita.

Kisah dalam pertunjukan satu jam ini dibuka dengan adegan seorang lelaki tua bernama Saidja, yang menghabiskan masa senja bersama dua orang cucunya, Dewi dan Sunan, di Kampung Tebu. Ini kampung sederhana yang berada di kaki Gunung Merapi. Di kampung itu terdapat sebuah puing pabrik gula yang sempat dimiliki sebuah keluarga Belanda sejak 1900-an.

Sampai akhirnya sekelompok pemuda Indonesia yang tengah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia membakar pabrik gula tersebut. Saidja, termasuk pemuda di antaranya. Masa tua Saidja nampak baik-baik saja, sampai seorang lelaki Belanda bernama Eric Coen, mampir ke warung mungil milik cucunya.

Dia tengah dalam perjalanan mencari latar belakang keluarganya yang konon adalah pemilik pabrik gula di Kampung Tebu. Saat dia menunjukkan foto seorang gadis, tanpa sengaja ia membuka luka lama Saidja. Ia terbayang tentang Oddah, kekasih Saidja keturunan campuran tidak resmi dari keluarga Coen.

Tentang Wally Coen, putra pemilik pabrik gula, tentang Jan Princen yang membawa Oddah pergi, hingga tentang pertumpahan darah, menyelimuti kisah kehidupan Saidja. “Ini adalah kisah cinta di tengah masa revolusi yang bergejolak. Terinspirasi dari kisah nyata masa lalu. Mengapa cerita ini diangkat, karena saya orang campuran juga. Yang tidak hanya mengingatkan Belanda, tapi juga semuanya,” ujar Jef Hofmeister, penulis cerita Saidjakepada wartawan belum lama ini.

Peneliti Sejarah Abdul Wahid mengemukakan, kisah tokoh fiksi Saidja yang diilhami dari kisah nyata sejarah masa lalu Indonesia di Jawa Barat ini menurutnya merupakan inovasi yang sangat menarik dan penting untuk diangkat. Apalagi sejarah masa lalu dipresentasikan di masa sekarang dalam bentuk seni.

Yang menunjuk pada sebuah periode yang sangat kompleks. “Ini menjadi titik perbedaan penting (dalam) memandang masa lalu dari dua bangsa, (dengan) sejarah yang panjang. Cerita ini dikenal periode revolusi kemerdekaan, periode yang sangat penting untuk pertahankan kemerdekaan.

Tapi dalam memori seperti itu yang diceritakan hal bersifat penting seperti nasionalisme dan sering kali cerita manusiawi. Cerita penting yang tidak relevan dengan nasionalisme, tidak dianggap penting. Seperti sisi kekerasan massa, pembunuhan, dan perkosaan,” kata Wahid.

Tidak sedikit warga asing sipil dari Belanda, Indo, Tionghoa, maupun orang Indonesia yang dianggap kaki tangan Belanda yang ada di Jawa, Sumatera, dan lainnya pun menjadi korban dalam hal ini.

Di sisi lain, persoalan yang demikian menurut pria yang juga Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, tidak banyak ditemui dalam buku sejarah Indonesia. Karena tidak relevan dan dalam tanda petik dianggap bisa mengotori Kemerdekaan Indonesia.

“Itu tidak sehat, karena sejarah masuk dalam demokrasi. Apa pun harus diketahui, meski itu melakukan kesalahan sekalipun. Apalagi dalam cerita ini (mengisahkan tentang) keluarga yang tercerai berai karena memilih garis politik yang keras, loyalitas dipertanyakan, dan tidak ada dialog. Yang ada egoisme, serampangan, memaksakan kehendak, dan lainnya,” urai dia.

Cerita Saidja menurutnya penting disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia. Menjadi spesial, karena diproduksi oleh seniman dua bangsa, yang notabene berkonflik dalam cerita tersebut.

Dengan duduk bersama tanpa adanya tujuan politik tertentu, masyarakat Indonesia maupun Belanda mungkin bisa belajar dengan menerima adanya, berdamai dengan masa lalu, dan membuka diri untuk memaafkan maupun dimaafkan.

Di samping ditampilkan di Yogyakarta, kisah Saidjaini rencananya juga akan digelar di Belanda pada Maret dan April 2015 mendatang.

Siti Estuningsih
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0919 seconds (0.1#10.140)