Larangan Tanpa Solusi dan Kajian Mendalam
A
A
A
SEMARANG - Praktisi Kelautan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Johannes Hutabarat mengatakan, aturan pelarangan cantrang itu perlu kajian lebih mendalam.
“Apa betul cantrang ini merusak populasi laut? Padahal satu sisi cantrang ini sudah menjadi sumber utama pendapatan nelayan. Hal-hal ini tentu perlu kajian mendalam dan mendasar,” paparnya. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan pemerintah. Karena itu dia menilai, aturan tersebut terkesan tergesa-gesa. Selama ini, perguruan tinggi tidak pernah diajak bicara untuk merumuskan aturan tersebut.
Hal ini akan berbeda, jika sebelumnya dilakukan berbagai kajian, sehingga ada solusi. “Tiba-tiba saja langsung dilarang pakai cantrang. Ya jelas nelayan marah. Kalau ada kajian bersama dulu, kan bisa ada solusi, semisal apa cantrangnya harus dimodifikasi, ramah lingkungan, dan tidak merusak. Tapi ini kantiba-tiba,” sebutnya.
Mantan Dekan FPIK Undip ini tak memungkiri, aturan tersebut bertujuan menyelematkan populasi laut. Namun satu sisi, harus dibuktikan, apakah semua cantrang yang digunakan benarbenar mengeruk semua populasi ikan laut dengan berbagai ukuran. Sebab, hal ini menyangkut sumber kehidupan nelayan.
“Apalagi posisi lautan itu kan berbeda. Misalnya di pantai utara bervariasi potensinya. Mungkin pada jalur 4 mil, alat tersebut merusak. Karena itu, mungkin lebih baik diatur, alat itu digunakan untuk jarak lebih dari 4 mil,” paparnya. Wakil ketua komisi B DPRD Jateng, Yudhi Sancoyo juga menilai, belum ada solusi dari aturan tersebut. “Kalau hanya melarang, siapa pun pasti bisa.
Yang dibutuhkan sekarang adalah mencarikan solusi,” katanya. Ketua Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah Ahmad Djoemali mengatakan, sangat berat merubah alat tangkap para nelayan itu. “Perubahan alat tangkap ini tidak cukup hanya menghabiskan ratusan juta tapi miliaran rupiah, jadi harus ada tahapan-tahapan,” kata dia.
Menurut dia, pemerintah perlu melakukan komunikasi dan sosialisasi dulu, agar nelayan tidak kaget, saat ini para nelayan belum mendapat sosialisasi. “Setiap ada keputusan harus ada sosialisasi, paling tidak dengan para pemangku kepentingan,” tegasnya. Dia juga menuntut dana kompensasi kepada pemeintah bila melepaskan hasil tangkapan lobster, kepiting, dan rajungan bertelur.
Sebagaimana diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan juga melarang nelayan menangkap lobster, kepiting, dan rajungan bertelur. “Ini memang jadi masalah yang luar biasa untuk nelayan kami,” kata Djoemali. Dikatakan Djoemali, aturan pelarangan itu juga menyusahkan para nelayan.
Ia mencotohkan, apabila nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap jaring menemukan lobster, kepiting, dan rajungan, lalu ketika dirumah diperiksa ada telurnya, maka nelayan tersebut dituntut untuk mengambalikan ke laut. “Padahal satu rajungan kalau dijual bisa mencapai Rp70 ribu,” sebutnya. Menurut Djoemali, kalau memang nelayan itu mendapatkan lobster, kepiting, dan rajungan bertelur, hendaknya dilaporkan ke dinas perikanan dan kelautan setempat.
“Selanjutnya nelayan diberikan kompensasi, lalu yang melepaskan ke laut adalah dinas perikanan dan kelautan. Solusi ini saya kira yang lebih adil, kalau tidak maka akan menyusahkan para nelayan,” kata dia. Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, Fendiawan mengatakan, berdasarkan keluhan para nelayan, telah dilakukan permohonan kepada pemerinta pemerintah pusat agar merevisi regulasi tersebut.
“Juga meminta pemerintah pusat menganggarkan penggantian alat penangkapan ikan yang dilarang dan pelatihan penggunaan alat penangkapan ikan pengganti,” katanya. Selain itu juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi yang terdampak, dan membuka kemudahan impor ikan sebagai bahan baku industri pengolahan hasil perikanan.
“Kita juga meminta agar alat penangkapan sebgaimana peraturan tersebut tetap bisa digunakan di perairan wilayah provinsi sampai dengan 12 mil dari garis pantai,” paparnya. Mengenai tangkapan lobster, kepiting, dan rajungan bertelur, kata dia, sesuai dengan aturan tersebut, pada Januari 2015-sampai Desember 2015, ukuran yang boleh ditangkap dan diperjualbelikan oleh nelayan untuk lobster adalah maksimal 200 gram, kepiting 200 gram, rajungan 55 gram, dan kepiting sokha 250 gram.
252.488 Jiwa Terancam
Sekitar 252.488 orang di Jawa Tengah terancam akibat aturan tersebut. Tak hanya nelayan, namun juga para pekerja di sektor-sektor yang berkaitan, seperti pengolah dan pemasar hasil perikanan. Setidaknya, terdapat 6.808 unit pengolah ikan (UPI) skala UMKM dengan jumlah tenaga kerja 107.918 orang. UPI skala ekspor sebanyak 30 tempat, dengan tenaga kerja mencapai 5.203 orang.
Selain itu juga ada 18.401 unit orang pemasar hasil perikanan. “Memang aturan itu tak dipungkiri membuat nelayan banyak yang resah,” ujar Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng Fendiawan Tahun lalu, penangkapan ikan dengan cantrang tersebut mencapai 60.396 ton atau 27,26% dari total produksi. Sementara volume ekspor hasil perikanan mencapai 29.808 ton dengan nilai USD333.140.262.
Amin fauzi/muh slamet
“Apa betul cantrang ini merusak populasi laut? Padahal satu sisi cantrang ini sudah menjadi sumber utama pendapatan nelayan. Hal-hal ini tentu perlu kajian mendalam dan mendasar,” paparnya. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan pemerintah. Karena itu dia menilai, aturan tersebut terkesan tergesa-gesa. Selama ini, perguruan tinggi tidak pernah diajak bicara untuk merumuskan aturan tersebut.
Hal ini akan berbeda, jika sebelumnya dilakukan berbagai kajian, sehingga ada solusi. “Tiba-tiba saja langsung dilarang pakai cantrang. Ya jelas nelayan marah. Kalau ada kajian bersama dulu, kan bisa ada solusi, semisal apa cantrangnya harus dimodifikasi, ramah lingkungan, dan tidak merusak. Tapi ini kantiba-tiba,” sebutnya.
Mantan Dekan FPIK Undip ini tak memungkiri, aturan tersebut bertujuan menyelematkan populasi laut. Namun satu sisi, harus dibuktikan, apakah semua cantrang yang digunakan benarbenar mengeruk semua populasi ikan laut dengan berbagai ukuran. Sebab, hal ini menyangkut sumber kehidupan nelayan.
“Apalagi posisi lautan itu kan berbeda. Misalnya di pantai utara bervariasi potensinya. Mungkin pada jalur 4 mil, alat tersebut merusak. Karena itu, mungkin lebih baik diatur, alat itu digunakan untuk jarak lebih dari 4 mil,” paparnya. Wakil ketua komisi B DPRD Jateng, Yudhi Sancoyo juga menilai, belum ada solusi dari aturan tersebut. “Kalau hanya melarang, siapa pun pasti bisa.
Yang dibutuhkan sekarang adalah mencarikan solusi,” katanya. Ketua Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah Ahmad Djoemali mengatakan, sangat berat merubah alat tangkap para nelayan itu. “Perubahan alat tangkap ini tidak cukup hanya menghabiskan ratusan juta tapi miliaran rupiah, jadi harus ada tahapan-tahapan,” kata dia.
Menurut dia, pemerintah perlu melakukan komunikasi dan sosialisasi dulu, agar nelayan tidak kaget, saat ini para nelayan belum mendapat sosialisasi. “Setiap ada keputusan harus ada sosialisasi, paling tidak dengan para pemangku kepentingan,” tegasnya. Dia juga menuntut dana kompensasi kepada pemeintah bila melepaskan hasil tangkapan lobster, kepiting, dan rajungan bertelur.
Sebagaimana diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan juga melarang nelayan menangkap lobster, kepiting, dan rajungan bertelur. “Ini memang jadi masalah yang luar biasa untuk nelayan kami,” kata Djoemali. Dikatakan Djoemali, aturan pelarangan itu juga menyusahkan para nelayan.
Ia mencotohkan, apabila nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap jaring menemukan lobster, kepiting, dan rajungan, lalu ketika dirumah diperiksa ada telurnya, maka nelayan tersebut dituntut untuk mengambalikan ke laut. “Padahal satu rajungan kalau dijual bisa mencapai Rp70 ribu,” sebutnya. Menurut Djoemali, kalau memang nelayan itu mendapatkan lobster, kepiting, dan rajungan bertelur, hendaknya dilaporkan ke dinas perikanan dan kelautan setempat.
“Selanjutnya nelayan diberikan kompensasi, lalu yang melepaskan ke laut adalah dinas perikanan dan kelautan. Solusi ini saya kira yang lebih adil, kalau tidak maka akan menyusahkan para nelayan,” kata dia. Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, Fendiawan mengatakan, berdasarkan keluhan para nelayan, telah dilakukan permohonan kepada pemerinta pemerintah pusat agar merevisi regulasi tersebut.
“Juga meminta pemerintah pusat menganggarkan penggantian alat penangkapan ikan yang dilarang dan pelatihan penggunaan alat penangkapan ikan pengganti,” katanya. Selain itu juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi yang terdampak, dan membuka kemudahan impor ikan sebagai bahan baku industri pengolahan hasil perikanan.
“Kita juga meminta agar alat penangkapan sebgaimana peraturan tersebut tetap bisa digunakan di perairan wilayah provinsi sampai dengan 12 mil dari garis pantai,” paparnya. Mengenai tangkapan lobster, kepiting, dan rajungan bertelur, kata dia, sesuai dengan aturan tersebut, pada Januari 2015-sampai Desember 2015, ukuran yang boleh ditangkap dan diperjualbelikan oleh nelayan untuk lobster adalah maksimal 200 gram, kepiting 200 gram, rajungan 55 gram, dan kepiting sokha 250 gram.
252.488 Jiwa Terancam
Sekitar 252.488 orang di Jawa Tengah terancam akibat aturan tersebut. Tak hanya nelayan, namun juga para pekerja di sektor-sektor yang berkaitan, seperti pengolah dan pemasar hasil perikanan. Setidaknya, terdapat 6.808 unit pengolah ikan (UPI) skala UMKM dengan jumlah tenaga kerja 107.918 orang. UPI skala ekspor sebanyak 30 tempat, dengan tenaga kerja mencapai 5.203 orang.
Selain itu juga ada 18.401 unit orang pemasar hasil perikanan. “Memang aturan itu tak dipungkiri membuat nelayan banyak yang resah,” ujar Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng Fendiawan Tahun lalu, penangkapan ikan dengan cantrang tersebut mencapai 60.396 ton atau 27,26% dari total produksi. Sementara volume ekspor hasil perikanan mencapai 29.808 ton dengan nilai USD333.140.262.
Amin fauzi/muh slamet
(bhr)