Cantrang,Tak Kan Lari Ikan Kutangkap

Minggu, 01 Maret 2015 - 11:22 WIB
Cantrang,Tak Kan Lari...
Cantrang,Tak Kan Lari Ikan Kutangkap
A A A
Aturan baru Kementeri Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang membuat banyak orang meradang.

Di Jawa Tengah, sebanyak 120.966 nelayan menggantungkan hidupnya dengan cantrang tersebut. Mereka menggunakan 10.758 unit kapal atau 41,25% dari total jumlah kapal yang ada di provinsi ini. Jaring cantrang banyak digunakan kapal-kapal nelayan di wilayah pantura Jawa.

Berbagai upaya sudah dilakukan para nelayan. Seperti ramai-ramai ke Jakarta, menuntut pencabutan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 Tahun 2015 yang berlaku sejak 9 Januari lalu. Peraturan itu salah satu isinya melarang penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets), yang di antaranya berupa jaring cantrang. Tiap kota rata-rata memberangkatkan ribuan nelayan dengan puluhan bus pariwisata ke Jakarta.

Informasi yang diperoleh KORAN SINDO, untuk berangkat ke Jakarta, tiap pemilik kapal cantrang di Kota Tegal dimintai iuran biaya sebesar Rp1 juta. Tak hanya pemilik kapal, pengusaha perikanan yang beroperasi di pelabuhan juga ditarikuang dengan besar yang sama. Istilahnya dimintai partisipasi. Selain pemilik kapal cantrang, pengusaha perikanan juga akan terkena dampak pelarangan kapal cantrang karena pasokan ikan menjadi berkurang," ujar salah seorang sumber yang dekat dengan kalangan pemilik kapal kemarin.

Toh, unjuk rasa yang sudah digelar beberapa kali tersebut tak membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti surut. Susi tetap menolak mencabut peraturan larangan penggunaan cantrang yang bertujuan untuk mencegah kerusakan ekosistem laut itu. Apalagi berdasarkan data KKP, cadangan ikan di perairan pantura Jawa merosot hingga 50% karena terus diekspoitasi secara besar-besaran dengan alat tangkap yang membahayakan ekosistem laut.

Selain cantrang, kalangan nelayan b iasanya juga menyebutnya sebagai alat tangkap dogol. Bentuk alat penangkap ikan demersal (berhabitat di dasar perairan) ini adalah jaring yang memiliki dua tali penarik dengan panjang bervariasi. Umumnya mencapai ribuan meter. Alat tangkap ini memiliki mata jaring dengan panjang minimal 5 cm. Sistem kerjanya, jaring disebar di tengah laut lalu ditarik dengan kondisi kapal tetap bergerak.

Saat ditarik mata jaring akan saling merapat sehingga seluruh ikan di dasar laut akan ikut terbawa. Termasuk ikan-ikan kecil dan terumbu karang yang sebenarnya tidak menjadi target tangkapan. Mantan nahkoda kapal cantrang, Tasman mengungkapkan, bisa menjangkau hingga dasar laut merupakan salah satu keuntungan menggunakan alat tangkap cantrang.

“Jadi hasil ikan yang didapat lebih banyak karena semua bisa kena. Tinggal nanti dipilihi mana yang diambil. Biasanya cumi, kalau ikannya dibuang ketika sudah didarat,” ungkapnya kemarin. Hal ini berbeda dengan alat tangkap jenis lainnya, seperti purse seine maupungillet. Kedua alat tangkap itu lebih ramah lingkungan karena hanya bisa menangkap ikan jenis pelades (tidak berhabitat di dasar laut).

Pengoperasiannya juga harus melihat kondisi cuaca dan arus laut terlebih dahulu. "Dipasang sore, tengah malam baru ditarik. Sebelum dipasang, (laut) juga diobori (diterangi lampu) dulu. Ada ikannya tidak dan lihat arus. Kalau cantrang tidak. Biasa siang malam, tidak pengaruh arus deras atau cuaca," terangnya.

Tasman menyebut harga cantrang berkisar Rp 100 juta. Tiap kapal biasanya memiliki minimal tiga unit cantrang. "Kalau purse seine dan gillet lebih mahal. Mencapai Rp700 juta hingga Rp1 miliar," imbuhnya. Salah satu pemilik kapal cantrang di Kota Tegal, Anto mengatakan, dampak yang akan terjadi jika Permen Nomor 2 Tahun 2015 tetap diberlakukan adalah PHK besar-besaran anak buah kapal (ABK) dan tingkat kemiskinan meningkat.

“Karena kapal-kapal tidak boleh lagi melaut,” katanya kemarin. Anto yang mengaku memiliki kapal berukuran 30 gross ton (GT) mengutarakan, kapal-kapal yang ada di Kota Tegal 80% di antaranya menggunakan alat tangkap cantrang. Sisanya menggunakan alat tangkap jenis purse seine dan gillet. "Saat ini kapal cantrang masih ada yang melaut karena masa transisi pelaksanaan permen sampai September. Tapi nelayan sudah resah," ujarnya.

Menurut Anto, pemilik kapal cantrang tidak bisa begitu saja mengganti dengan alat tangkap lain yang dilarang. Salah satu alasannya adalah harganya yang lebih mahal. "Harga ikan juga akan jatuh, karena kapal beralih alat tangkap. Selain itu, berganti alat tangkap lain otomatis ganti pekerja baru serta ukuran kapal juga berbeda," tandasnya.

Dia meminta Susi Pudjiastuti tidak hanya asal melarang tanpa memberikan solusi untuk mengatasi keresahan nelayan yang menggantungkan hidup dari kapal cantrang. "Mestinya pejabat KKP turun ke bawah. Sudah tidak zaman lagi mengeluarkan kebijakan di atas meja saja. Kalau perlu dibuatkan uji kelayakan terhdap permen tersebut, buat investigasi yang benar-benar independen," tandasnya.

Disingung soal iuran yang ditarik dari pemilik kapal cantrang untuk menggelar unjuk rasa di Jakarta, Anto tak menampiknya. "Itu suka rela karena buat biaya bus sama makan selama di Jakarta. Kan nggak ada bus yang gratis. Apa KKP mau memfasilitasi demo kan tidak lucu," tukasnya. Jika nelayan dengan kapal besar menolak, nelayan dengan kapal kecil mendukung kebijakan menteri Susi.

Salah satu nelayan di Pelabuhan Tanjung Sari, Kabupaten Pemalang, Riyanto mengatakan, alat tangkap cantrang merusak ikanikan kecil yang menjadi target tangkapan nelayan seperti dirinya. "Soalnya ikan ikan yang kecil rusak dan akhirnya punah, keangkut semua kena jaring. Jadi kami mendukung keputusan Menteri Susi. Ke depannya ya harus pakai jaring semua jangan pakai jaring cantrang,” katanya.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal Mahmud Effendi mengatakan, jumlah kapal yang menggunakan alat penangkap ikan jenis cantrang sekitar 800 kapal. “Kota Tegal merupakan yang terbanyak di Jawa Tengah yang pakai cantrang. Rata-rata pakai,” ujarnya kemarin.

Karena itu, Mahmud tak heran penolakan Permen Nomor 2 Tahun 2015 di Kota Tegal sangat besar. Sebab, setelah diberlakukan peraturan tersebut sebagian besar kapal dipastikan tidak bisa lagi melaut lagi. Namun di sisi lain, peraturan menteri Susi itu akan melindungi para nelayan kecil yang menggunakan jaring biasa dengan hasil tangkapan ikanikan kecil.

"Kami menyikapinya juga dilematis. Di satu sisi apa yang dilakukan Susi bagus, menyelamatkan kekayaan laut. Dari kacamata nelayan kecil, perolehan ikan berkurang 60-80% karena penggunaan cantrang. Tapi kalau saya mendukung (permen) nanti disebut tidak membela nelayan. Di sisi lain, jika saya membela yang menolak, mereka juga salah, " ujarnya.

Saat ditanya lebih lanjut, Mahmud blak-blakan mengungkapkan alasannya. Menurut dia, peraturan yang melarang penggunaan alat tangkap cantrang sebenarnya sudah ada sejak medio 1980-an. Bahkan pada 2009 sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan sejumlah organisasi nelayan bahwa alat tangkap cantrang tidak boleh digunakan kecuali oleh kapal berukuran di bawah 30 GT.

Dalam perjalannya, lanjut Mahmud, kesepakatan aturan tersebut diakali oleh para pemilik kapal dengan memanipulasi dokumen ukuran kapal agar bisa tetap menggunakan alat tangkap cantrang. Banyak kapal yang sebenarnya berukuran di atas 30 GT, menuliskan kapalnya hanya berukuran 30 GT atau di bawahnya dalam dokumen persyaratan pengajuan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)-nya.

"Jika dilakukan pengecekan fisik, pemilik kapal bisa mengakali dengan menunjukan kapal lain, bukan kapalnya yang asli. Manipulasi ini juga membuka peluang kongkalingkong dengan petugas pengukur, karena yang saya dengar ada pemilik kapal berani membayar Rp50 juta agar bisa dapat SIPI. Padahal resminya Rp1 juta hingga Rp2 juta, " ujarnya.

Mahmud menilai, polemik pelarangan cantrang saat ini merupakan imbas ketidaktegasan pemerintah menjalankan peraturan yang sudah dikeluarkan sejak dulu. Hal ini akhirnya membuat pelanggaran ukuran kapal dan penggunaan cantrang terus berlangsung. "Kelemahan pemerintah seperti itu. Setelah mengeluarkan peraturan, dibiarkan begitu saja.

Tidak ada kontrol dan pengawasan yang baik," tandasnya. Terlepas dari niat baik menteri Susi, Mahmud juga mempertanyakan tidak adanya solusi yang diberikan KKP kepada nelayan. "Solusinya bisa memberikan bantuan pinjaman lunak atau bantuan alat tangkap yang ramah lingkungan," ujarnya.

Dengan dasar tersebut, Mahmud menyatakan HNSI memilih berada di tengahtengah antara pemerintah dan pemilik kapal atau nelayan yang menolak Permen Nomor 2 Tahun 2015. "Hasil rakor HNSI di Provinsi Jawa Tengah, sikap kami netral. Saat demo di Jakarta kemarin, kami juga tidak ikut. Itu hanya segelintir pemilik kapal saja," ucapnya.

Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Agus Budiono mengatakan, pemerintah provinsi sudah mengeluarkan kebijakan terkait larangan penggunaan kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang. Bagi kapal cantrang yang SIPI-nya dikeluarkan sebelum permen terbit, maka tetap boleh melaut sampai masa berlaku SIPI habis.

"Untuk yang SIPI-nya keluar setelah ada permen, hanya berlaku sampai September 2015, atau tujuh bulan," katanya kemarin. Menurut Agus, masa berlaku SIPI rata-rata tiga tahun dan harus diperbaharui setiap tahunnya dengan melakukan perpanjangan dengan biaya retribusi menyesuaikan ukuran kapal. "Besaran retribusi Rp20 ribu per GT. Kalau GT-nya 30 tinggal dikalikan Rp 20ribu," jelasnya.

Meski demikian, Agus tak mempunyai data rinci terkait jumlah kapal pengguna cantrang yang sudah tidak boleh melaut lagi karena masa berlaku SIPI habis maupun yang akan habis. "Karena tiap kapal berbeda- beda. Tapi di data kami, jumlah kapal cantrang yang masih aktif melaut ada sekitar 400-500 kapal," ujarnya.

Ditanya terkait manipulasi dokumen ukuran kapal yang diduga kerap dilakukan pemilik kapal, Agus mengaku tidak mengetahuinya secara pasti. Sebab, kewenangan pengeluaran dokumen ukuran kapal berada di Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Nah, KSOP yang berwenang mengeluarkan dokumen surat ukur, gross akte, pas besar, sertifikat kelaikan yang dibutuhkan untuk mengajukan SIPI ke pengelola pelabuhan.

"Setelah empat dokumen itu ada, kita baru melakukan pengecekan fisik untuk memastikan kapal ikannya. Tapi kita hanya cek kondisi kapal dan alat tangkapnya saja. Tidak melakukan pengukuran ulang," jelasnya. Agus mengungkapkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sudah mengeluarkan surat keputusan (SK) pembentukan tim pengukur ulang untuk menertibkan kapal-kapal nelayan yang diduga memanipulasi dokumen ukuran kapal.

Tim gabungan tersebut terdiri dari KSOP, polda, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, dan Pengawas Sumber Daya Kelauatan. "Informasinya SK-nya sudah ditandatangi. Jadi mungkin segera jalan. Kita juga sudah dimintai data kapal-kapal. Kita siap saja,” tuturnya.

Farid firdaus
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1634 seconds (0.1#10.140)