Berikan Gambaran Bahaya Perilaku Kekerasan Seksual

Rabu, 25 Februari 2015 - 11:06 WIB
Berikan Gambaran Bahaya...
Berikan Gambaran Bahaya Perilaku Kekerasan Seksual
A A A
YOGYAKARTA - Kehadiran tokoh remaja putri Mela membuka tampilan film animasi berjudul Mela dan Miko yang diputar di Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta (TBY), kemarin. Film ini menyoroti tentang kekerasan seksual dalam gaya berpacaran yang ditampilkan lewat keriangan hati Mela yang akan berkencan dengan Miko, seorang pria yang baru saja dikenalnya lewat jaringan sosial Facebook.

Usai memilih baju yang dirasa cocok untuk berkencan, Mela pun pamit kepada ibunya. Melihat Mela pergi diboncengkan dengan sepeda motor oleh Miko, sang ibu sempat merasa khawatir ketika putrinya pergi dengan seorang pria yang belum begitu dikenalnya. Alih-alih pergi ke taman terbuka, Miko pun akhirnya mengajak Mela ke rumahnya yang tengah kosong saat itu.

Pria ini lantas mulai melakukan pendekatan kepada Mela, dengan menyandarkan tubuhnya dan menggenggam tangan sang gadis. Atas dasar mencintai dan beralasan bahwa ketika pasangan kekasih mesti melakukan hubungan intim, Miko pun merayu Mela untuk melakukan hubungan seksual.

Meski sebenarnya Mela ragu dan sedikit enggan melakukannya. Menyesal atas perbuatan yang dilakukan, Mela menangis dan meminta Miko untuk mengantarkannya pulang. Film animasi berdurasi 10 menit itu menunjukkan bahwa dalam gaya berpacaran pun secara tidak disadari juga terjadi kekerasan seksual.

Itu tidak hanya dialami oleh remaja, pasangan dewasa yang berpacaran pun bisa mengalami hal serupa. Pihak Kalyanamitra selaku pembuat film, lewat film ini ingin masyarakat, tidak hanya anak muda, turut mewaspadai adanya unsur kekerasan seksual. Terutama terhadap pasangan maupun teman dekat yang dikenal maupun tidak dikenal.

Di antaranya dengan berani dan tegas untuk mengatakan tidak terhadap keinginan pasangan atau teman dekat yang memaksakan kehendak untuk berhubungan intim. Selain itu kenali lebih dalam karakter pasangannya dan waspada dengan segala sesuatunya. Di sisi lain, supaya tidak takut memberontak, melawan, dan mencari pertolongan ketika kekerasan seksual terjadi.

Secara definisi, kekerasan seksual itu merupakan upaya untuk memaksakan kehendak yang mengarah ke arah seksual, tanpa persetujuan pihak yang terkait. Bisa jadi itu siulan, colekan pada bagian tubuh tertentu, obrolan yang mengarah ke seksual, hingga hubungan intim yang dipaksakan. Ini tidak hanya berlaku pada perempuan dan anak-anak saja, laki-laki pun bisa mengalami kekerasan seksual.

"Kenapa harus bicara perempuan dan anak, karena dilihat dari kuota dan kebanyakan korban (kekerasan seksual) yang berada di posisi lemah itu perempuan. Masih banyak yang belum berani untuk mendobrak, tidak seperti laki-laki yang lebih berani. Meski ada pula laki-laki yang juga mengalami kekerasan seksual," ujar Ketua Kalyanamitra Listyowati kepada wartawan sebelum pemutaran film, kemarin.

Melalui film animasi yang disutradarai Hari Nugroho itu, pihaknya ingin menunjukkan kepada publik bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Tidak hanya di lingkungan yang tidak dikenal, di lingkungan yang dikenal pun juga bisa terjadi. Bahkan bisa jadi setiap orang juga menjadi pelaku, selain korban pula. Berharap dengan mengedukasi masyarakat lewat film, bisa meminimalisasi terjadinya kekerasan seksual.

"Golnya ingin berikan penyadaran dan informasi bahwa kekerasan seksual jangan hanya dianggap di lingkup tidak dikenal, dikenal pun bisa (terjadi). Siapa pun bisa menjadi korban. Kalau dibilang, tiga tahun ini Indonesia termasuk darurat kekerasan seksual (ketika melihat maraknya pemberitaan kekerasan seksual di mana-mana)," katanya. Perihal dituangkannya tema film ini ke dalam film animasi, tidak lepas dari masih tabu dan sensitifnya isu ini di masyarakat.

Belum lagi kebanyakan korban kekerasan seksual yang masih menutup diri dan enggan terbuka dengan orang lain. Di samping Jakarta dan Yogyakarta, film animasi yang diproduksi selama sebulan ini juga akan diputar di Kulonprogo. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Forum Perlindungan Kekerasan Kota Yogyakarta sekaligus Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Yosephine Sari Murti W mengemukakan, memang dalam gaya berpacaran, konteks kekerasan seksual sering kali tidak bisa dilihat sebagai kekerasan.

Apalagi, baik pelaku maupun korban sering tidak menyadari hal ini. Dalam hukum, meski ada upaya yang lebih baik dari Undang-Undang (UU) terutama dalam penanganan korban kekerasan, seperti UU Perlindungan Anak dan KDRT, namun tidak diimbangi dengan penekanan kasus kekerasan seksual yang masih saja terjadi hingga saat ini. Menurutnya, masih banyak PR yang mesti diselesaikan.

Siti Estuningsih
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4411 seconds (0.1#10.140)