Pedagang Kesal Pakaian Bekas Dilarang
A
A
A
TEBINGTINGGI - Ratusan pedagang pakaian bekas di Pasar Rombengan, Jalan Besi, Kelurahan Pasar Gambir, Kota Tebingtinggi, menolak kebijakan Kementerian Perdagangan yang melarang pakaian bekas impor masuk ke Indonesia.
Para pedagang yang sudah berjualan bertahun-tahun ini mengaku bakal bangkrut apabila pemerintah memberlakukan larangan impor pakaian bekas dari Korea, Jepang, China, dan Amerika Serikat. Seorang pedagang, Robinson Sinulingga, 48, menolak kebijakan tersebut karena akan mematikan penghasilan ratusan bahkan ribuan pedagang pakaian eks impor tersebut. “Jelas kami menolaknya, ini perkara perut. Kalau dilarang, kami mau makan apa dan apa ada buat biaya anak sekolah kami,” ucapnya.
Robinson mengungkapkan, ratusan pedagang pakaian bekas yang mangkal di Jalan Besi itu sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari berjualan pakaian bekas. Kalau dilarang, jumlah pengangguran akan semakin banyak. “Pokoknya kami menolak. Sudah puluhan tahun kami menggantungkan hidup di sini,” ucap Robinson yang mengaku generasi ketiga menggantikan orang tuanya berjualan.
Selama berdagang, ujar Robinson, belum ada laporan atau protes pembeli yang mengaku kena penyakit atau virus dari memakai pakaian bekas asal luar negeri. Malahan, pembeli mengaku terbantu dengan adanya pasar rombengan tersebut. “Selain harganya murah, kualitasnya terjamin,” katanya.
Seorang pembeli, Ema, 45, mengaku sangat keberatan kalau pakaian bekas tidak boleh diperjualbelikan. “Justru dengan adanya pakaian bekas ini kami warga biasa bisa membeli pakaian berkelas dari luar negeri,” paparnya. Bukan itu saja, selain harganya murah serta terjangkau dengan isi kantong masyarakat, belum pernah ada kabar konsumen yang terkena virus penyakit menular gara-gara memakai pakaian bekas. “Coba bayangkan, dengan uang Rp 100.000, bisa mendapatkan tiga sampai lima potong pakaian berkelas,” ucapnya.
Sedangkan untuk mengantisipasi tertular penyakit kulit, Ema mengaku masalah itu mudah untuk mengantisipasinya. Hanya dengan merendam air panas menggunakan deterjen dan menjemurnya ke sinar matahari lalu diseterika.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag), Rachmat Gobel, mengakui, Indonesia telah lama kebobolan masuknya impor baju bekas ilegal. Hal ini terjadi sejak dia belum menjadi menteri. Rachmat mengatakan, secara pribadi telah menggaungkan masalah ini sejak masih menjabat sebagai pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Kala itu, Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Menperindag) masih dijabat Rini Soemarno. "Itu sudah lama digaungkan (impor baju bekas ilegal). Sejak saya masih jadi pengurus Kadin, sudah saya gaungkan. Sekarang akan saya follow up semua," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/2) lalu.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri, Partogi Pangaribuan, mengatakan, dalam undang-undang (UU), semua barang bekas dari luar negeri tidak boleh masuk ke Indonesia, terlebih secara ilegal. Namun kenyataannya, barang bekas tersebut masih beredar di pasaran.
Kemendag telah melakukan tes laboratorium terhadap baju bekas yang banyak beredar di pasaran. Hasilnya, baju tersebut banyak mengandung bakteri dan virus yang mengganggu kesehatan.
Perayudi Syahputera/ sindonews.com
Para pedagang yang sudah berjualan bertahun-tahun ini mengaku bakal bangkrut apabila pemerintah memberlakukan larangan impor pakaian bekas dari Korea, Jepang, China, dan Amerika Serikat. Seorang pedagang, Robinson Sinulingga, 48, menolak kebijakan tersebut karena akan mematikan penghasilan ratusan bahkan ribuan pedagang pakaian eks impor tersebut. “Jelas kami menolaknya, ini perkara perut. Kalau dilarang, kami mau makan apa dan apa ada buat biaya anak sekolah kami,” ucapnya.
Robinson mengungkapkan, ratusan pedagang pakaian bekas yang mangkal di Jalan Besi itu sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari berjualan pakaian bekas. Kalau dilarang, jumlah pengangguran akan semakin banyak. “Pokoknya kami menolak. Sudah puluhan tahun kami menggantungkan hidup di sini,” ucap Robinson yang mengaku generasi ketiga menggantikan orang tuanya berjualan.
Selama berdagang, ujar Robinson, belum ada laporan atau protes pembeli yang mengaku kena penyakit atau virus dari memakai pakaian bekas asal luar negeri. Malahan, pembeli mengaku terbantu dengan adanya pasar rombengan tersebut. “Selain harganya murah, kualitasnya terjamin,” katanya.
Seorang pembeli, Ema, 45, mengaku sangat keberatan kalau pakaian bekas tidak boleh diperjualbelikan. “Justru dengan adanya pakaian bekas ini kami warga biasa bisa membeli pakaian berkelas dari luar negeri,” paparnya. Bukan itu saja, selain harganya murah serta terjangkau dengan isi kantong masyarakat, belum pernah ada kabar konsumen yang terkena virus penyakit menular gara-gara memakai pakaian bekas. “Coba bayangkan, dengan uang Rp 100.000, bisa mendapatkan tiga sampai lima potong pakaian berkelas,” ucapnya.
Sedangkan untuk mengantisipasi tertular penyakit kulit, Ema mengaku masalah itu mudah untuk mengantisipasinya. Hanya dengan merendam air panas menggunakan deterjen dan menjemurnya ke sinar matahari lalu diseterika.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag), Rachmat Gobel, mengakui, Indonesia telah lama kebobolan masuknya impor baju bekas ilegal. Hal ini terjadi sejak dia belum menjadi menteri. Rachmat mengatakan, secara pribadi telah menggaungkan masalah ini sejak masih menjabat sebagai pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Kala itu, Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Menperindag) masih dijabat Rini Soemarno. "Itu sudah lama digaungkan (impor baju bekas ilegal). Sejak saya masih jadi pengurus Kadin, sudah saya gaungkan. Sekarang akan saya follow up semua," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/2) lalu.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri, Partogi Pangaribuan, mengatakan, dalam undang-undang (UU), semua barang bekas dari luar negeri tidak boleh masuk ke Indonesia, terlebih secara ilegal. Namun kenyataannya, barang bekas tersebut masih beredar di pasaran.
Kemendag telah melakukan tes laboratorium terhadap baju bekas yang banyak beredar di pasaran. Hasilnya, baju tersebut banyak mengandung bakteri dan virus yang mengganggu kesehatan.
Perayudi Syahputera/ sindonews.com
(ftr)