Tes Keperawanan-Keperjakaan Bebani Mental Siswa

Kamis, 05 Februari 2015 - 05:00 WIB
Tes Keperawanan-Keperjakaan...
Tes Keperawanan-Keperjakaan Bebani Mental Siswa
A A A
SURABAYA - Usulan tes keperawanan dan keperjakaan sebagai bagian syarat kelulusan sekolah akan membebani siswa dari sisi psikologis.

Wacana yang dilontarkan anggota DPRD Jember ini juga bisa menjadi beban orangtua atau wali murid lantaran sanksi sosial atau penilaian sepihak masyarakat bisa muncul seiring ketidaklulusan pelajar.

Psikolog Surabaya Herlina Harsono Njoto mengatakan, tes akan membebani siswa. “Disaat tes ini diberlakukan, siswa bisa saja hilang konsentrasi belajar, takut hasil tes salah, dan akhirnya nilai akademik jelek. Padahal tes belum dijalani, siswa sudah terbebani psikologis,” kata Herlina, Rabu (4/2/2015).

Alumni S2 Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini mengingatkan, tes ini akan membuat siswa yang benar-benar masih perawan dan perjaka merasa terlecehkan.

Sedangkan yang sudah tidak perawan dan perjaka bisa menempuh banyak cara supaya hasil tes bisa dimanipulasi.

Celah jual-beli hasil tes bisa dimanfaatkan oknum. “Untuk mutasi siswa antarsekolah saja bisa menjadi celah bagi oknum sekolahan mengambil keuntungan, apalagi yang seperti ini,” sebut Herlina yang juga ketua Komisi A DPRD Surabaya ini.

Kalau hasil tes keliru, kata Herlina, secara agama ini bisa masuk kategori fitnah. “Misalkan siswa masih perawan atau perjaka, terus hasil menyebut sebaliknya, tentu ini menjadi beban siswa dan orangtua. Dari segi agama, ini bisa jadi sebagai fitnah tidak langsung,” sebut ibu tiga anak ini.

Herlina juga mengingatkan tidak semuanya siswi yang tidak perawan karena sudah melakukan hubungan layaknya suami istri (Pasutri). Bisa saja robeknya selaput dara lantaran olahraga ekstrim atau pemicu lain.

“Prinsipnya, saat akan maupun sesudah dilakukan (tes) tetap tidak menguntungkan bagi siswa secara psikologis,” tukasnya.

Sementara itu, Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur Isa Ansori menyebut semua kebijakan harus terukur dan ada landasan undang undangnya.

“Dalam peraturan menteri pendidikan bahwa standar kelulusan sudah ditentukan. Di antaranya, berkaitan dengan standar nilai. Sedangkan standar moral itu sudah ada di peraturan sekolah masing masing,” tukasnya.

Jika standar moral dijadikan acuan kelulusan siswa, imbuh Isa, ini menunjukkan ketidak pahaman terhadap sebuah peraturan.

“Terlebih bagaimana mengukur standar keperjakaan? Sekali lagi bahwa menjadikan keperjakaan dan keperawanan sebagai standar kelulusan adalah mengada-ada dan mendiskriminasi anak,” pungkasnya.
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5687 seconds (0.1#10.140)