Kejahatan Anak di DIY Mencemaskan
A
A
A
YOGYAKARTA - Masih ingat dengan aksi lima pembacokan da lam semalam yang melibat kan anak berusia 17 tahun? Usut punya usut ternyata di pro vinsi istimewa ini banyak anak-anak yang terlibat tindak kriminal.
Hal ini tentu meng khawatirkan. Sebab walau bagaimanapun mereka adalah generasi pe - ne rus bangsa ini. Selama 2014 saja terdapat 310 anak berkonflik dengan hukum.
Dari jumlah itu, 245 anak dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kulonprogo mendapatkan pendampingan dari Badan Pemasyarakatan (Ba pas) Klas I Yogyakarta. Dari jum lah itu, setelah dilakukan pen dampingan tercatat 22 anak mendapatkan putusan pidana penjara dalam proses persidangannya.
Kemudian, anak yang ber hadapan dengan hukum dan men dapatkan pendampingan Bapas Kelas II Wonosari tercatat 65 anak. Mereka berasal dari Kabupaten Gunungkidul dan Bantul. Dari jumlah itu, 20 anak mendapatkan putusan pidana pen jara.
Sementara sampai dengan 17 Januari 2015 terdapat 8 anak yang masih menjalani masa penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Klas IIB Wonosari.Kepala Bapas Kelas II Wonosari Anggriani Hidayat mengatakan, Bapas merupakan unit pe laksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kema syarakatan, pembimbingan, penga wasan, dan pendampingan.
Selama dalam proses penyelidikan di kepolisian, proses di kejaksaan dan pengadilan, petugas terus melakukan pendampingan. “Anak-anak yang berperkara itu tidak langsung mendapatkan pidana penjara. Kami memberikan rekomendasi kepada pe nyidik atas beberapa pertimbangan untuk mengupayakan yang terbaik untuk anak,” katanya kepada KORAN SINDO YOGYA belum lama ini.
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, syarat anak mendapatkan hukuman pidana yakni bilamana ancamannya penjara 7 tahun ke atas. Kalau ancamannya di bawah 7 tahun, pada ting kat penyi dikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
Selain itu, diversi dilakukan bila tindak pidana yang dila kukan anak bu kan merupakan pengulangan. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penyelesaian itu dilakukan dengan cara musyawarah. “Bagi anak yang usianya 12–14 tahun ti d ak boleh putusan pidana penjara dan tidak boleh ditahan, yang boleh dilakukan, misalnya tindakan dikembalikan ke pada orang tua,” papar Anggria ni.
Dibandingkan 2013, jumlah anak yang berpekara dengan hukum memang mengalami penurunan. Karena pada 2013 ter dapat 347 anak yang bergesekan dengan hukum. Rincian nya, 72 anak ditangani Bapas Klas II Wonosari dan 275 anak yang ditangani Bapas Klas I Yog yakarta. Anggriani menambahkan, kasus-kasus yang dialami anak dan pernah ditangani beragam. Mulai dari penganiayaan, pelecehan seksual, pencurian, dan membawa senjata tajam.
Dimintai tanggapannya, psikolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Paulus Eddy Suhartanto berpendapat, anak melakukan tindak kriminal karena dipicu faktor ling - kungan keluarga yang kurang men dukung. Khususnya dalam fase di mana anak memerlukan pendampingan untuk pencarian identitas diri. Akibatnya, anak mencoba mencari identitas diri di luar rumah.
Yang pada ak hirnya terjebak pada ling - kung an kelompok yang kurang normatif seperti geng. Anak yang masuk dalam kelompok geng pun diyakini pada mulanya hanya ikut-ikutan. Tapi bila sudah masuk ke dalam, suara mayoritas yang ada dalam kelompok itu akan sangat berpengaruh dan membentuk perilaku anak.
Dia menambahkan, untuk menangani anak-anak yang sudah terjebak pada perilaku kriminal bisa dilakukan terapi secara berkelompok. “Apalagi dengan sudah terdeteksinya kelompok-kelompok, terapi itu akan lebih mudah dilakukan,” ucap Paulus. Dalam melaksanakan terapi secara berkelompok itu, anakanak dalam satu kelompok perlu dibawa pada lingkungan kondusif dan harmonis. Itu perlu dilakukan lantaran lingkungan anak itu sebelumnya tidak kondusif.
“Dengan membawa pada lingkungan baru, lambat laun anak akan terbiasa dengan suasana lingkungan yang dihadapi. Dia akan lebih membentuk sikap toleransi,” pungkasnya.
Muji barnugroho
Hal ini tentu meng khawatirkan. Sebab walau bagaimanapun mereka adalah generasi pe - ne rus bangsa ini. Selama 2014 saja terdapat 310 anak berkonflik dengan hukum.
Dari jumlah itu, 245 anak dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kulonprogo mendapatkan pendampingan dari Badan Pemasyarakatan (Ba pas) Klas I Yogyakarta. Dari jum lah itu, setelah dilakukan pen dampingan tercatat 22 anak mendapatkan putusan pidana penjara dalam proses persidangannya.
Kemudian, anak yang ber hadapan dengan hukum dan men dapatkan pendampingan Bapas Kelas II Wonosari tercatat 65 anak. Mereka berasal dari Kabupaten Gunungkidul dan Bantul. Dari jumlah itu, 20 anak mendapatkan putusan pidana pen jara.
Sementara sampai dengan 17 Januari 2015 terdapat 8 anak yang masih menjalani masa penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Klas IIB Wonosari.Kepala Bapas Kelas II Wonosari Anggriani Hidayat mengatakan, Bapas merupakan unit pe laksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kema syarakatan, pembimbingan, penga wasan, dan pendampingan.
Selama dalam proses penyelidikan di kepolisian, proses di kejaksaan dan pengadilan, petugas terus melakukan pendampingan. “Anak-anak yang berperkara itu tidak langsung mendapatkan pidana penjara. Kami memberikan rekomendasi kepada pe nyidik atas beberapa pertimbangan untuk mengupayakan yang terbaik untuk anak,” katanya kepada KORAN SINDO YOGYA belum lama ini.
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, syarat anak mendapatkan hukuman pidana yakni bilamana ancamannya penjara 7 tahun ke atas. Kalau ancamannya di bawah 7 tahun, pada ting kat penyi dikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
Selain itu, diversi dilakukan bila tindak pidana yang dila kukan anak bu kan merupakan pengulangan. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penyelesaian itu dilakukan dengan cara musyawarah. “Bagi anak yang usianya 12–14 tahun ti d ak boleh putusan pidana penjara dan tidak boleh ditahan, yang boleh dilakukan, misalnya tindakan dikembalikan ke pada orang tua,” papar Anggria ni.
Dibandingkan 2013, jumlah anak yang berpekara dengan hukum memang mengalami penurunan. Karena pada 2013 ter dapat 347 anak yang bergesekan dengan hukum. Rincian nya, 72 anak ditangani Bapas Klas II Wonosari dan 275 anak yang ditangani Bapas Klas I Yog yakarta. Anggriani menambahkan, kasus-kasus yang dialami anak dan pernah ditangani beragam. Mulai dari penganiayaan, pelecehan seksual, pencurian, dan membawa senjata tajam.
Dimintai tanggapannya, psikolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Paulus Eddy Suhartanto berpendapat, anak melakukan tindak kriminal karena dipicu faktor ling - kungan keluarga yang kurang men dukung. Khususnya dalam fase di mana anak memerlukan pendampingan untuk pencarian identitas diri. Akibatnya, anak mencoba mencari identitas diri di luar rumah.
Yang pada ak hirnya terjebak pada ling - kung an kelompok yang kurang normatif seperti geng. Anak yang masuk dalam kelompok geng pun diyakini pada mulanya hanya ikut-ikutan. Tapi bila sudah masuk ke dalam, suara mayoritas yang ada dalam kelompok itu akan sangat berpengaruh dan membentuk perilaku anak.
Dia menambahkan, untuk menangani anak-anak yang sudah terjebak pada perilaku kriminal bisa dilakukan terapi secara berkelompok. “Apalagi dengan sudah terdeteksinya kelompok-kelompok, terapi itu akan lebih mudah dilakukan,” ucap Paulus. Dalam melaksanakan terapi secara berkelompok itu, anakanak dalam satu kelompok perlu dibawa pada lingkungan kondusif dan harmonis. Itu perlu dilakukan lantaran lingkungan anak itu sebelumnya tidak kondusif.
“Dengan membawa pada lingkungan baru, lambat laun anak akan terbiasa dengan suasana lingkungan yang dihadapi. Dia akan lebih membentuk sikap toleransi,” pungkasnya.
Muji barnugroho
(ars)