Kesulitan Lafalkan Bahasa, Kebingungan Menabuh Gamelan

Minggu, 01 Februari 2015 - 11:07 WIB
Kesulitan Lafalkan Bahasa, Kebingungan Menabuh Gamelan
Kesulitan Lafalkan Bahasa, Kebingungan Menabuh Gamelan
A A A
Apa jadinya ketika orang mancanegara bermain wayang orang sekaligus menjadi pengrawit gamelan?

Tentu ini tidak akan sehebat dengan pelaku seni asli. Ini pula yang tergambar dalam sesi latihan 15 mahasiswa asing yang merupakan member dari Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales (AISEC) atau organisasi mahasiswa internasional yang bertujuan untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan. Jumat (30/1) siang, suasana kediaman dalang Sri Hadi di Jalan Kaba, Tandang Tembalang begitu ramai.

Beberapa mahasiswa asing tampak berlatih menari dengan diiringi alunan gamelan dan kendang. Penabuh gamelan atau yogo , kesemuanya merupakan mahasiswa asing. Mereka berasal dari berbagai negara anggota AISEC, di antaranya Brasil, Taiwan, Vietnam, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan. Mahasiswa tersebut merupakan sosok yang terpilih untuk praktikum di negara lain.

Sebelum menjalani latihan, mereka diberi bekal singkat selama lima hari untuk mengenal bahasa Indonesia. Sebab, dalam pentas wayang orang dengan judul Shinta Hilang di Wisma Perdamaian, Semarang, Sabtu (7/2) mendatang dialognya menggunakan bahasa Indonesia. Sudah barang tentu karena bahasa dan cengkoknya yang digunakan berbeda, ini kerap menyulitkan para mahasiswa tersebut.

Seperti yang dialami John Lin asal Taiwan yang akan memerankan Rahwana. Ketika mengucapkan “iblis laknat”, yang keluar dari mulut malah “iblis lana”. Begitu juga kala mengucapkan “aku ora wedi” pemenggalan katanya juga tidak tepat. Tidak hanya pemeran wayang, penabuh gamelan juga terus diberi aba-aba oleh instruktur. Sambil berdiri, instruktur memberikan tanda ketukan dengan kedua tangannya.

Peserta diberikan aba-aba tentang irama maupun kapan saatnya mulai menabuh dan berhenti. Meski demikian, beberapa kali masih salah. Karena terlalu sibuk melihat contekan ketukan gamelan, peserta kadang tidak sadar gamelan tetap dipukul meski sudah disuruh berhenti. Gerakan tari dari mahasiswa asing pun tidak luwes. Seperti yang terlihat pada Nicolas Mocaiber Cardoso Cury dari Brasil.

“Kendalanya saya memang tidak pernah menari dan menggunakan bahasa Indonesia,” ujar pemeran Rama ini seusai latihan. Ketua panitia pementasan Setyoningsih Subroto mengatakan tujuan dari kegiatan tersebut untuk mengenalkan seni dan budaya Jawa kepada mahasiswa asing. Dengan mengenal dan mempraktikkan langsung, mereka diharapkan bisa menghayati dan kemudian bisa mengenalkannya di tempat asal masingmasing.

“Dialognya dalam jeda antarkalimat masih sering salah. Kalau gamelannya sudah cukup baik,” ujar perempuan yang akrab disapa Naning ini. AISEC Semarang, selaku tuan rumah harus dituntut bersabar. Mahasiswa asing tersebut, khususnya Nicolas, menawar pada akhir pekan tidak bersedia latihan. Mereka ingin Sabtu dan Minggu digunakan untuk jalanjalan ke destinasi wisata.

Sebagai gantinya, jam latihan Senin lebih diperpanjang. Untuk menyiapkan pementasan, AISEC Semarang yang anggotanya dari mahasiswa Undip menggandeng sanggar tari Amerta Laksita. Menurut Direktur Utama Amerta Laksita, Cahyo Wibowo, memberikan pengarahan kepada orang asing memang butuh ketelatenan karena biasanya mereka sering ngeyel.

Namun sisi positifnya, semangat mereka tetap tinggi dalam latihan. “Saya sebelumnya juga pernah melatih orang asing dalam Pandanaran Art Festival ,” ujar dia.

Arif Purniawan
Kota Semarang
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6529 seconds (0.1#10.140)