Masa Bersiap, Sejarah Kelam Orang Belanda di Indonesia
A
A
A
MASA Bersiap yang berlangsung dari Oktober 1945 sampai Mei 1947 merupakan masa-masa paling kelam dalam sejarah orang-orang Belanda, dan orang Belanda yang lahir di Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda.
Sejak tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, pada 1 Maret 1942, yang diikuti dengan menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati, pada 8 Maret 1942, Indonesia secara resmi dijajah oleh Jepang.
Pendudukan tentara Jepang di Indonesia, bagi orang-orang Belanda dan keturunannya merupakan bencana yang sangat besar. Ribuan orang Belanda dimasukkan ke dalam kamp internir, para tentaranya dilucuti, disiksa, dan dibunuh.
Tiga tahun setelah menduduki Indonesia, tahun 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dibom atom Amerika Serikat. Kabar menyerahnya Jepang disambut gembira orang-orang Belanda, dan para keturunannya.
Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Rakyat Indonesia bangkit, dan memproklamasikan kemerdekaannya, pada 17 Agustus 1945, yang diwakili oleh Soekarno-Hatta. Persenjataan tentara Jepang pun dilucuti oleh para pemuda.
Sementara para tahanan Jepang yang terdiri dari orang-orang Belanda, dan para keturunannya tetap ditahan. Dalam film dokumenter Pia van der Molen yang berjudul Het Archief van Tranen (Arsip Airmata) hal ini digambarkan sangat jelas.
Film dokumenter itu menayangkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Belanda oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia yang digambarkan sangat kejam, tidak berprikemanusiaan, dan biadab.
Sebanyak 3500 warga Belanda berdarah campur Indonesia-Eropa dibunuh secara sadis dengan golok dan bambu runcing. Sekitar 4000 perempuan dan anak-anak Belanda dibiarkan telantar menderita kelaparan, penyakit, dan kelelahan.
Sebanyak 16.000 warga Belanda dikabarkan hilang, termasuk warga Tionghoa yang berkewarganegaraan Belanda, dan selalu menganggap derajatnya lebih tinggi orang pribumi hilang ditelan bumi. Jasad mereka tidak pernah ditemukan.
Salah seorang Indo Belanda yang menjadi saksi peristiwa itu, Peter Steenmeijer mengatakan, meski Jepang kalah dan orang Belanda dibebaskan dari kamp internir, tapi mereka tidak bebas sama sekali.
Diceritakannya, rakyat Surabaya terlibat perang. Jalan-jalan dipenuhi pemuda, warga kampung tempat orang-orang Belanda, dan keturunannya dibunuh. Mayat bergelimpangan di Kali Brastagi, sehingga warnanya merah darah.
Peristiwa itu terjadi ketika rakyat Indonesia, bersama para pejuang kemerdekaan berupaya melucuti senjata para tentara Jepang, hinga terjadi pertempuran-pertempuran yang memakan banyak korban jiwa di daerah.
Ketika gerakan rakyat untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tentara Inggris mendarat di Jakarta, pada 15 September 1945. Pada 18 September 1945, tujuh orang tentara Sekutu didrop di Surabaya.
Salah satunya tentara yang didrop itu adalah Sersan Belanda Lou Bals. Dia menceritakan, perang pertama yang terjadi di Surabaya, dikenal dengan Pertempuran Surabaya, pada 10 November 1945, akibat ulah tentara Belanda.
Salah satu pemicu perang itu adalah pengibaran bendera Merah Putih Biru di puncak Hotel Yamato atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit), di Jalan Tunjungan, No 65, Surabaya. Pengibaran bendera Belanda ini menyulut perang hebat.
Pengibaran bendera Merah Putih Biru merupakan penghinaan terhadap kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan, pada 17 Agustus 1945. Bendera itu kemudian dirobek warna birunya saja oleh para pemuda, hingga yang tertinggal Merah Putih saja.
Seorang penulis perempuan Indo-Belanda yang lahir di Surabaya Leonore Sinsu-Andries pernah menulis pengalamannya selama masa bersiap itu. Dia menceritakan, pada 22 Oktober 1945, dirinya ditangkap oleh para pemuda pejuang kemerdekaan.
Dia lalu dibawa ke Simpang Club. Di sana, dia mengaku melihat orang-orang Belanda dibunuh seperti binatang. Kepala mereka dipotong oleh seorang algojo, dan kemudian diserahkan kepada para pemuda Indonesia yang haus darah.
Penggambaran kekejaman rakyat Indonesia dalam film dokumenter Pia van der Molen, merupakan peristiwa kelam yang dialami orang-orang Belanda dan keturunannya di masa bersiap, masa perang yang sangat berat.
Masa bersiap juga merupakan masa-masa sulit dan kelam bagi rakyat Indonesia yang tengah berjuang menegakkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda, dan Jepang. Penderitaan yang terjadi saat itu, merupakan pelajaran berharga bagi kedua bangsa.
Mintardjo Sardjio, salah tokoh pergerakan Indonesia yang ikut merasakan periode masa bersiap mengatakan, waktu peristiwa itu terjadi, gerakan rakyat, khususnya pemuda sedang bangkit. Mereka sedang bersiap untuk merebut kekuasaan dan merdeka.
"Belanda ingin menjajah kembali. Terjadi konflik antara tahun 1945-1949-1950. Penderitaan yang dialami oleh Belanda dan Indonesia adalah konsekuwensi dari konflik tersebut," katanya, saat berbincang dengan Sindonews, Sabtu (31/1/2015).
Putra Sardjio Kartodihardjo, salah seorang tokoh Peristiwa Tiga Daerah ini melanjutkan, saat itu Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka bahkan ingin menjajah kembali Indonesia, setelah kekalahan Jepang.
Sikap keras kepala Belanda ini, karena mendapat dukungan Sekutu, membuat rakyat Indonesia marah. Bahkan hingga kini, Pemerintah Kolonial Belanda masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
"Hingga saat ini Belanda belum mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Belanda memberi kekuasaannya kepada Indonesia, pada 29 Desember 1949, dengan syarat-syarat yang berat bagi Indonesia," jelasnya.
Rakyat Indonesia, katanya, saat ini menuntut pengakuan Pemerintah Kolonial Belanda, untuk mengakui kemerdekaan rakyat Indonesia yang diwakili oleh Soekarno-Hatta, pada 17 Agustus 1945.
Pada masa bersiap, kekejaman yang digambarkan oleh Pia van der Molen dalam film dokumenternya yang berjudul Het Archief van Tranen (Arsip Airmata) tidak bisa dipukul rata terjadi di semua daerah.
"Saya menyaksikan periode itu, tapi tidak menyaksikan jalannya peristiwa itu. Pada periode itu, saya ikut aktif di Purwurejo dan Jogyakarta, tapi tidak menyaksikan peristiwa (jagal-jagal) seperti itu," ungkapnya.
Menurutnya, Surabaya saat masa bersiap merupakan medan perang yang segala kemungkinan bisa terjadi di luar dugaan. Namun untuk kebenaran dari film dokumenter itu, harus dibuktikan lebih jauh oleh berbagai penelitian para sejarawan.
"Saya tidak setuju. Tapi kalau sejarawan bisa membuktikan kebenarannya, ya saya harus akui, tapi tidak menyetujui. Semua data pelajaran, penelitian, dan penulisan (film dokumenter) diambil dari PID (Politieke Inlichtingen Dienst)," pungkasnya.
Sejak tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, pada 1 Maret 1942, yang diikuti dengan menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati, pada 8 Maret 1942, Indonesia secara resmi dijajah oleh Jepang.
Pendudukan tentara Jepang di Indonesia, bagi orang-orang Belanda dan keturunannya merupakan bencana yang sangat besar. Ribuan orang Belanda dimasukkan ke dalam kamp internir, para tentaranya dilucuti, disiksa, dan dibunuh.
Tiga tahun setelah menduduki Indonesia, tahun 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dibom atom Amerika Serikat. Kabar menyerahnya Jepang disambut gembira orang-orang Belanda, dan para keturunannya.
Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Rakyat Indonesia bangkit, dan memproklamasikan kemerdekaannya, pada 17 Agustus 1945, yang diwakili oleh Soekarno-Hatta. Persenjataan tentara Jepang pun dilucuti oleh para pemuda.
Sementara para tahanan Jepang yang terdiri dari orang-orang Belanda, dan para keturunannya tetap ditahan. Dalam film dokumenter Pia van der Molen yang berjudul Het Archief van Tranen (Arsip Airmata) hal ini digambarkan sangat jelas.
Film dokumenter itu menayangkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Belanda oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia yang digambarkan sangat kejam, tidak berprikemanusiaan, dan biadab.
Sebanyak 3500 warga Belanda berdarah campur Indonesia-Eropa dibunuh secara sadis dengan golok dan bambu runcing. Sekitar 4000 perempuan dan anak-anak Belanda dibiarkan telantar menderita kelaparan, penyakit, dan kelelahan.
Sebanyak 16.000 warga Belanda dikabarkan hilang, termasuk warga Tionghoa yang berkewarganegaraan Belanda, dan selalu menganggap derajatnya lebih tinggi orang pribumi hilang ditelan bumi. Jasad mereka tidak pernah ditemukan.
Salah seorang Indo Belanda yang menjadi saksi peristiwa itu, Peter Steenmeijer mengatakan, meski Jepang kalah dan orang Belanda dibebaskan dari kamp internir, tapi mereka tidak bebas sama sekali.
Diceritakannya, rakyat Surabaya terlibat perang. Jalan-jalan dipenuhi pemuda, warga kampung tempat orang-orang Belanda, dan keturunannya dibunuh. Mayat bergelimpangan di Kali Brastagi, sehingga warnanya merah darah.
Peristiwa itu terjadi ketika rakyat Indonesia, bersama para pejuang kemerdekaan berupaya melucuti senjata para tentara Jepang, hinga terjadi pertempuran-pertempuran yang memakan banyak korban jiwa di daerah.
Ketika gerakan rakyat untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tentara Inggris mendarat di Jakarta, pada 15 September 1945. Pada 18 September 1945, tujuh orang tentara Sekutu didrop di Surabaya.
Salah satunya tentara yang didrop itu adalah Sersan Belanda Lou Bals. Dia menceritakan, perang pertama yang terjadi di Surabaya, dikenal dengan Pertempuran Surabaya, pada 10 November 1945, akibat ulah tentara Belanda.
Salah satu pemicu perang itu adalah pengibaran bendera Merah Putih Biru di puncak Hotel Yamato atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit), di Jalan Tunjungan, No 65, Surabaya. Pengibaran bendera Belanda ini menyulut perang hebat.
Pengibaran bendera Merah Putih Biru merupakan penghinaan terhadap kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan, pada 17 Agustus 1945. Bendera itu kemudian dirobek warna birunya saja oleh para pemuda, hingga yang tertinggal Merah Putih saja.
Seorang penulis perempuan Indo-Belanda yang lahir di Surabaya Leonore Sinsu-Andries pernah menulis pengalamannya selama masa bersiap itu. Dia menceritakan, pada 22 Oktober 1945, dirinya ditangkap oleh para pemuda pejuang kemerdekaan.
Dia lalu dibawa ke Simpang Club. Di sana, dia mengaku melihat orang-orang Belanda dibunuh seperti binatang. Kepala mereka dipotong oleh seorang algojo, dan kemudian diserahkan kepada para pemuda Indonesia yang haus darah.
Penggambaran kekejaman rakyat Indonesia dalam film dokumenter Pia van der Molen, merupakan peristiwa kelam yang dialami orang-orang Belanda dan keturunannya di masa bersiap, masa perang yang sangat berat.
Masa bersiap juga merupakan masa-masa sulit dan kelam bagi rakyat Indonesia yang tengah berjuang menegakkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda, dan Jepang. Penderitaan yang terjadi saat itu, merupakan pelajaran berharga bagi kedua bangsa.
Mintardjo Sardjio, salah tokoh pergerakan Indonesia yang ikut merasakan periode masa bersiap mengatakan, waktu peristiwa itu terjadi, gerakan rakyat, khususnya pemuda sedang bangkit. Mereka sedang bersiap untuk merebut kekuasaan dan merdeka.
"Belanda ingin menjajah kembali. Terjadi konflik antara tahun 1945-1949-1950. Penderitaan yang dialami oleh Belanda dan Indonesia adalah konsekuwensi dari konflik tersebut," katanya, saat berbincang dengan Sindonews, Sabtu (31/1/2015).
Putra Sardjio Kartodihardjo, salah seorang tokoh Peristiwa Tiga Daerah ini melanjutkan, saat itu Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka bahkan ingin menjajah kembali Indonesia, setelah kekalahan Jepang.
Sikap keras kepala Belanda ini, karena mendapat dukungan Sekutu, membuat rakyat Indonesia marah. Bahkan hingga kini, Pemerintah Kolonial Belanda masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
"Hingga saat ini Belanda belum mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Belanda memberi kekuasaannya kepada Indonesia, pada 29 Desember 1949, dengan syarat-syarat yang berat bagi Indonesia," jelasnya.
Rakyat Indonesia, katanya, saat ini menuntut pengakuan Pemerintah Kolonial Belanda, untuk mengakui kemerdekaan rakyat Indonesia yang diwakili oleh Soekarno-Hatta, pada 17 Agustus 1945.
Pada masa bersiap, kekejaman yang digambarkan oleh Pia van der Molen dalam film dokumenternya yang berjudul Het Archief van Tranen (Arsip Airmata) tidak bisa dipukul rata terjadi di semua daerah.
"Saya menyaksikan periode itu, tapi tidak menyaksikan jalannya peristiwa itu. Pada periode itu, saya ikut aktif di Purwurejo dan Jogyakarta, tapi tidak menyaksikan peristiwa (jagal-jagal) seperti itu," ungkapnya.
Menurutnya, Surabaya saat masa bersiap merupakan medan perang yang segala kemungkinan bisa terjadi di luar dugaan. Namun untuk kebenaran dari film dokumenter itu, harus dibuktikan lebih jauh oleh berbagai penelitian para sejarawan.
"Saya tidak setuju. Tapi kalau sejarawan bisa membuktikan kebenarannya, ya saya harus akui, tapi tidak menyetujui. Semua data pelajaran, penelitian, dan penulisan (film dokumenter) diambil dari PID (Politieke Inlichtingen Dienst)," pungkasnya.
(san)