Tekan Impor Gandum, Umbi-umbian Dikembangkan

Rabu, 28 Januari 2015 - 01:01 WIB
Tekan Impor Gandum,...
Tekan Impor Gandum, Umbi-umbian Dikembangkan
A A A
YOGYAKARTA - Hingga kini, Indonesia belum mampu memproduksi gandum secara komersial. Padahal, kebutuhan gandum diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk serta globalisasi perdagangan pangan dunia.

Menyadari hal tersebut, Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM tengah melakukan pengembangan umbi-umbian sebagai pangan lokal yang diharapkan mampu mengurangi impor gandum, sekaligus menjadi komponen pangan fungsional.

"Pengembangan umbi-umbian sebagai pangan fungsional diyakini bisa meningkatkan posisi umbi-umbian hingga mampu menggantikan peran tepung gandum yang sudah sangat dominan di Indonesia," ujar Peneliti PSPG UGM Prof Dr Ir Eni Harmayani MSc, Selasa (28/1/2015).

Eni mengaku, banyak tantangan dalam mengembangkan umbi-umbian. Apalagi, sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap umbi-umbian adalah makanan kelas dua.

"Padahal, bukan hanya sekedar sebagai alternatif pengganti terigu atau tepung gandum, umbi-umbian juga dapat menjadi pangan pilihan yang bernilai tinggi dengan berbagai aplikasi," tandasnya.

Menurut dia, umbi-umbian lokal juga bisa menjadi bahan utama maupun bahan pendukung produk-produk roti, snack, biskuit, mie, bakso, bubur, sosis, nugget, serta sebagai bahan penyalut, pengental, maupun pengisi.

Dengan memanfaatkan industri makanan, pasar mie dan biskuit yang cukup besar di Indonesia, potensi pengembangan makanan yang mengandung prebiotik dari umbi-umbian lokal juga cukup besar.

Ketua PSPG UGM Prof Dr Umar Santoso mengatakan, pihaknya tengah meneliti berbagai jenis umbi-umbian dari berbagai daerah di Indonesia yang bisa dijadikan sebagai penganti terigu. Bahkan pangan lokal tersebut bisa diarahkan untuk subsitusi gandum.

Beberapa pangan lokal yang dijadikan sebagai alternatif pengganti terigu tersebut antara lain garut, ubi jalar, singkong, ganyong dan gembili.

"Namun memang tidak mudah memproduksi umbi-umbian ini menjadi pengganti tepung terigu. Tidak banyaknya industri skala besar yang memproduksi tepung dari umbi-umbian lokal ini. Akibatnya harganya menjadi lebih mahal tiga kali lipat dari harga terigu," ungkapnya.
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2168 seconds (0.1#10.140)