Rangkul Dunia dengan Bambu
A
A
A
IMAJINASI lebih berharga dibandingkan ilmu pasti. Sebab, tak semua orang dapat berpikir untuk menciptakan hal-hal baru. Sebagian besar orang tersekat oleh sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Entah itu dalam ilmu pengetahuan, kesenian, sosial, ataupun budaya.
Tapi bagi Adang Muhidin imajinasi dan ilmu pasti sama pentingnya. Hal itulah yang dikolaborasikan pria asal Kota Cimahi kelahiran 21 Februari1974 tersebut. Adang menciptakan berbagai alat musik modern yang memanfaatkan bambu sebagai bahan dasarnya.
Seperti gitar, bas, biola, dan dram. Rencananya alat musik itu akan terus dikembangkan dengan membuat alat musik modern lain. Melalui wadah Indonesia Bamboo Comunity (IBC) yang dibentuk bersama rekanrekannya, produk alat musik yang terbuat dari bambu ala IBC itu sukses menembus luar negeri.
Bagaimana awal mula sang inovator ini merangkai mimpinya, berikut wawancara KORAN SINDObersama pria lulusan Pascasarjana Jurusan Korrosionschuttechnich di Fachhochschule Sudwestfalen Iserlohn Jerman tersebut.
Bagaimana awal mula berdirinya IBC?
Awalnya saya melihat di Indonesia harga bambu murah. Hal ini menjadi indentik bahwa orang yang bergelut di dunia bambu pasti miskin. Sekarang kami lihat petani bambu, dengan masa tanam dua sampai tiga tahun hanya dihargai Rp10.000 sampai Rp16.000. Harga ini jauh sekali dibandingkan pada saat saya berada di Jerman.
Apa tujuan Anda bersama rekan-rekan mendirikan IBC?
Kami ingin membuat alternatif lain dalam hal pemberdayaan masyarakat karena saya melihat setiap orang yang ingin berwirausaha dan berkesenian selalu terkendala dengan uang dengan mengesampingkan keahliannya. Nahdengan hadirnya wadah IBC ini kami mencoba mewadahi siapapun yang ingin mengembangkan keahliannya serta bertukar ide dan gagasan. Sekarang sudah banyak yang gabung termasuk yang dari Malaysia sudah ada yang gabung dan mulai bulan Maret, rencananya ada yang dari Rumania bakal turut bergabung.
Bagaimana perjalanan IBC pada masa awal-awal?
Awalnya dari bulan April 2011 sampai September 2011 orang tidak ada yang melirik dan secara finansial pun kami sudah habis untuk terus mencoba melakukan penelitian menciptakan alat mu - sik dari bambu. Malah untuk men cari bambu untuk penelitian, kami terpaksa memungut bambu yang ada di jalanan. Setelah kami pikir-pikir, ternyata kesalahan kami itu salah satunya adalah kurangnya promosi dan ke ba - nyakan orang masih meragukan alat hasil kreasi kami ini apakah bisa dimainkan atau tidak.
Lalu bagaimana Anda menjawab permasalahan waktu itu?
Masih ingat saya tanggal 23 September 2011 pertama kita mencetuskan membuat grup alat musik dari bambu dengan nama “Bragas” dan yang menjadi keistimewaan dari grup Bragas ini adalah para pemainnya itu berasal dari orang-orang yang biasa memainkan alat musik di jalanan Braga Bandung, misalnya tukang parkir yang bisa main gitar. Grup Bragas ini pertama main di Braga Festival. Saat itu ternyata KORAN SINDO menerbit berita tentang kami. Nah, dari situ orang-orang mulai melirik kami.
Lalu selain itu, apalagi yang Anda lakukan untuk mengenalkan hasil kreasi IBC kepada publik?
Kami memberanikan diri ikut ajang pameran di Graha Manggala Siliwangi pada Desember 2011. Lagi-lagi saat mau pameran terkendala biaya karena harus bayar Rp6 juta. Namun dasar saya orangnya nekat, saya datangi ownner-nya. Saya bilang boleh tidak ikut pameran sambil menampilkan grup musik dengan memainkan alat musik bambu kreasi kami. Kalau bagus gratis, kalau jelek saya bayar. Alhamdullilah memukau pengunjung. Lalu ada yang menelepon dari Kementerian Perdagangan setelah melihat performa kami di YouTube. Dari situ kami diminta tampil di ajang Java Jazz Festival.
Pelajaran dan pengalaman apa yang bisa Anda bawa ketika tinggal di Jerman?
Saya tinggal di Jerman selama enam tahun sejak 1998 sampai 2005. Setelah lulus saya sempat beker ja di Kronos Internasional GMBH di Kota Leverkusen di bagian research and development karena di sana sudah suka penelitian makanya pas pulang ke Indonesia ketika melihat bambu, saya berpikir untuk mengembangkan bambu dan dikreasikan supaya nilai ekonominya tinggi.
Jadi sejak kapan Anda menggeluti dunia bambu di Indonesia?
Tahun 2006 saya konsen ke bam bu, nahdari situ ilmu material yang didapat dari Jerman saya terapkan di wilayah bambu. Sebetulnya ilmu saya di Jerman lebih kepada wilayah material besi tapi untuk bambu sen diri jika tahu ternyata perlakuannya hampir mirip dengan besi.
Kenapa wilayah seni yang disentuh dan kenabukan alat tradisional seperti angklung atau karinding??
Saya melihat di Jawa Barat khususnya di Bandung banyak sekali pegiat seni. Ada istilah kalau orang Bandung tidak bisa main musik maka bukan orang Bandung. Dari situ benar juga, semua orang suka musik, semua orang butuh rasa dari musik dan musik diterima semua orang. Jadi saya pilih seni. Prinsipnya kami membuat yang tak dibuat orang lain. Ini baru wilayah seni, nanti ke depan kami akan buat kuliner dengan konsep dari bambu yang sekarang masih dalam tahap penelitian. Kalau angklung dan karinding sudah ada yang buat dan itu wilayah tradisionalnya.
Berapa omzet yang bisa dihasilkan IBC selama sebulan dan pasar mana yang telah menjalin kerja sama?
Alhamdulillah dalam sebulan perputaran uangnya bisa men capai Rp100 juta. Target semen tara wilayah Asia, tapi kami juga merambah Eropa. Sedangkan di ka wasan Benua Amerika, baru Meksiko.
Apa rencana jangka pendek dan panjang IBC?
Rencana ke depan kami masih terus akan mengembangkan penelitian untuk membuat kreasi kami baru. Kami akan kejar researchdulu ka rena saya baca dalam sebuah artikel, ternyata sudah ada 426 pemanfaatan produk dari bambu dan sekarang 2014 sudah ada research sebanyak 1.200pemanfaatan produk dari bambu. Makanya kami akan mengejar researchlainnya mu lai dari laminasi bambu sampai kuliner dari bambu.
Sekarang researchkita dibantu ITB, seperti researchbiola terkait akustik biola dengan masalah resonansi (dengungan) yang dihasilkannya. Ke depan kami berencana juga membuat researchten tang piano bambu.
Sebelum di jual kami tentunyaharus researchdu lu seperti pada 2013 saat meng krea sikan gitar dan bass kami di ban tu ITB yang terdiri dari Fakultas Desain Produk, Fakultas Fisika dan Fakultas Elektro dalam Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM).
Nur azis
Tapi bagi Adang Muhidin imajinasi dan ilmu pasti sama pentingnya. Hal itulah yang dikolaborasikan pria asal Kota Cimahi kelahiran 21 Februari1974 tersebut. Adang menciptakan berbagai alat musik modern yang memanfaatkan bambu sebagai bahan dasarnya.
Seperti gitar, bas, biola, dan dram. Rencananya alat musik itu akan terus dikembangkan dengan membuat alat musik modern lain. Melalui wadah Indonesia Bamboo Comunity (IBC) yang dibentuk bersama rekanrekannya, produk alat musik yang terbuat dari bambu ala IBC itu sukses menembus luar negeri.
Bagaimana awal mula sang inovator ini merangkai mimpinya, berikut wawancara KORAN SINDObersama pria lulusan Pascasarjana Jurusan Korrosionschuttechnich di Fachhochschule Sudwestfalen Iserlohn Jerman tersebut.
Bagaimana awal mula berdirinya IBC?
Awalnya saya melihat di Indonesia harga bambu murah. Hal ini menjadi indentik bahwa orang yang bergelut di dunia bambu pasti miskin. Sekarang kami lihat petani bambu, dengan masa tanam dua sampai tiga tahun hanya dihargai Rp10.000 sampai Rp16.000. Harga ini jauh sekali dibandingkan pada saat saya berada di Jerman.
Apa tujuan Anda bersama rekan-rekan mendirikan IBC?
Kami ingin membuat alternatif lain dalam hal pemberdayaan masyarakat karena saya melihat setiap orang yang ingin berwirausaha dan berkesenian selalu terkendala dengan uang dengan mengesampingkan keahliannya. Nahdengan hadirnya wadah IBC ini kami mencoba mewadahi siapapun yang ingin mengembangkan keahliannya serta bertukar ide dan gagasan. Sekarang sudah banyak yang gabung termasuk yang dari Malaysia sudah ada yang gabung dan mulai bulan Maret, rencananya ada yang dari Rumania bakal turut bergabung.
Bagaimana perjalanan IBC pada masa awal-awal?
Awalnya dari bulan April 2011 sampai September 2011 orang tidak ada yang melirik dan secara finansial pun kami sudah habis untuk terus mencoba melakukan penelitian menciptakan alat mu - sik dari bambu. Malah untuk men cari bambu untuk penelitian, kami terpaksa memungut bambu yang ada di jalanan. Setelah kami pikir-pikir, ternyata kesalahan kami itu salah satunya adalah kurangnya promosi dan ke ba - nyakan orang masih meragukan alat hasil kreasi kami ini apakah bisa dimainkan atau tidak.
Lalu bagaimana Anda menjawab permasalahan waktu itu?
Masih ingat saya tanggal 23 September 2011 pertama kita mencetuskan membuat grup alat musik dari bambu dengan nama “Bragas” dan yang menjadi keistimewaan dari grup Bragas ini adalah para pemainnya itu berasal dari orang-orang yang biasa memainkan alat musik di jalanan Braga Bandung, misalnya tukang parkir yang bisa main gitar. Grup Bragas ini pertama main di Braga Festival. Saat itu ternyata KORAN SINDO menerbit berita tentang kami. Nah, dari situ orang-orang mulai melirik kami.
Lalu selain itu, apalagi yang Anda lakukan untuk mengenalkan hasil kreasi IBC kepada publik?
Kami memberanikan diri ikut ajang pameran di Graha Manggala Siliwangi pada Desember 2011. Lagi-lagi saat mau pameran terkendala biaya karena harus bayar Rp6 juta. Namun dasar saya orangnya nekat, saya datangi ownner-nya. Saya bilang boleh tidak ikut pameran sambil menampilkan grup musik dengan memainkan alat musik bambu kreasi kami. Kalau bagus gratis, kalau jelek saya bayar. Alhamdullilah memukau pengunjung. Lalu ada yang menelepon dari Kementerian Perdagangan setelah melihat performa kami di YouTube. Dari situ kami diminta tampil di ajang Java Jazz Festival.
Pelajaran dan pengalaman apa yang bisa Anda bawa ketika tinggal di Jerman?
Saya tinggal di Jerman selama enam tahun sejak 1998 sampai 2005. Setelah lulus saya sempat beker ja di Kronos Internasional GMBH di Kota Leverkusen di bagian research and development karena di sana sudah suka penelitian makanya pas pulang ke Indonesia ketika melihat bambu, saya berpikir untuk mengembangkan bambu dan dikreasikan supaya nilai ekonominya tinggi.
Jadi sejak kapan Anda menggeluti dunia bambu di Indonesia?
Tahun 2006 saya konsen ke bam bu, nahdari situ ilmu material yang didapat dari Jerman saya terapkan di wilayah bambu. Sebetulnya ilmu saya di Jerman lebih kepada wilayah material besi tapi untuk bambu sen diri jika tahu ternyata perlakuannya hampir mirip dengan besi.
Kenapa wilayah seni yang disentuh dan kenabukan alat tradisional seperti angklung atau karinding??
Saya melihat di Jawa Barat khususnya di Bandung banyak sekali pegiat seni. Ada istilah kalau orang Bandung tidak bisa main musik maka bukan orang Bandung. Dari situ benar juga, semua orang suka musik, semua orang butuh rasa dari musik dan musik diterima semua orang. Jadi saya pilih seni. Prinsipnya kami membuat yang tak dibuat orang lain. Ini baru wilayah seni, nanti ke depan kami akan buat kuliner dengan konsep dari bambu yang sekarang masih dalam tahap penelitian. Kalau angklung dan karinding sudah ada yang buat dan itu wilayah tradisionalnya.
Berapa omzet yang bisa dihasilkan IBC selama sebulan dan pasar mana yang telah menjalin kerja sama?
Alhamdulillah dalam sebulan perputaran uangnya bisa men capai Rp100 juta. Target semen tara wilayah Asia, tapi kami juga merambah Eropa. Sedangkan di ka wasan Benua Amerika, baru Meksiko.
Apa rencana jangka pendek dan panjang IBC?
Rencana ke depan kami masih terus akan mengembangkan penelitian untuk membuat kreasi kami baru. Kami akan kejar researchdulu ka rena saya baca dalam sebuah artikel, ternyata sudah ada 426 pemanfaatan produk dari bambu dan sekarang 2014 sudah ada research sebanyak 1.200pemanfaatan produk dari bambu. Makanya kami akan mengejar researchlainnya mu lai dari laminasi bambu sampai kuliner dari bambu.
Sekarang researchkita dibantu ITB, seperti researchbiola terkait akustik biola dengan masalah resonansi (dengungan) yang dihasilkannya. Ke depan kami berencana juga membuat researchten tang piano bambu.
Sebelum di jual kami tentunyaharus researchdu lu seperti pada 2013 saat meng krea sikan gitar dan bass kami di ban tu ITB yang terdiri dari Fakultas Desain Produk, Fakultas Fisika dan Fakultas Elektro dalam Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM).
Nur azis
(ars)