Gepeng No, Pemulung Yes
A
A
A
YOGYAKARTA - Pemda DIY mengharamkan para gelandangan dan pengemis beraktivitas di provinsi istimewa ini. Namun masih memberi ruang kepada para pemulung, alias dilegalkan. Mereka nantinya akan diberi seragam masingmasing mendapat dua setel.
Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi mengatakan, penyeragaman pemulung ini bagian dari pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1/2014 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis (Gepeng). "Mereka diberi seragam agar tidak terkena razia," katanyausai rapat dengan pengepul barang bekas se-DIY di kantornya, kemarin.
Untuk seragam ini pihaknya menyiapkan 500 setel. Satu setel terdiri dua rompi berwarna hijau. ”Pengadaannya dari pengepul barang rongsok dalam bentuk CSR (coorporate social responsibility),” katanya. Menurut Untung, dalam rapat tersebut, sudah ada kesepakatan DIY harus bersih dan tertib.
Keberadaan pemulung di DIY masih dibutuhkan, yakni membantu masyarakat dalam pengelolaan barang bekas. "Barang itu bisa didaur ulang, untuk handycraft. Sekaligus mengurangi volume sampah yang masuk pembuangan akhir," paparnya. Karena itu, agar pemulung bisa diterima masyarakat, mereka harus berperilaku dan bertindak baik. "Di seragam itu tertulis Warga Binaan Sosial Dinas Sosial DIY," ungkapnya.
Pengadaan menjadi tanggung jawab pengepul. Sedangkan Dinas Sosial memfasilitasi pelatihan kepada pemulung. Pelatihan nantinya meliputi aspek kesehatan, estetika, keamanan, dan lainnya. Untung menambahkan, aspek kesehatan misalnya, pemulung mengenakan sepatu bot, sarung tangan, masker, helm proyek.
Sementara soal estetika, antara lain tidak boleh masuk taman, pekarangan rumah, dan lainnya. "Kami juga memfasilitasi pelatihan skill (kemampuan) berupa pendidikan teknikal seperti perbengkelan dan menjahit," ujarnya.
Berdasarkan catatan Dinsos DIY, jumlah pemulung di DIY baru terdaftar sebanyak 171 pemulung. Itu berdasarkan data dari para pengepul barang rongsok. "Data dari bosnya (pengepul) baru 171 orang. Tapi kami yakin jumlahnya sangat lebih dari itu," kata Untung. Dia juga berharap kepada warga agar memasang rambu pemulung dilarang masuk. "Pemulung Tak Berseragam Dilarang Masuk,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIY Bambang Budi Istiarjo menegaskan, tahun ini bakal melakukan razia secara intensif keberadaan gepeng. Pemulung dengan penampilan seperti gelandang juga masuk dalam daftar razia. "Secepatnya kami bikin gebrakan (razia besar-besaran). Kami pastikan personel sudah sangat siap," katanya.
Bambang mengakui sejak Perda No 1/2014 diundangkan, razia gepeng mendapatkan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY 2015. Sebelumnya, razia jarang dilakukan karena keterbatasan anggaran. "Problemnya dulu memang itu (tidak ada anggaran)," ucapnya.
Berdasarkan Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) di Dinas Sosial DIY, untuk merazia gepeng melibatkan 2.800 petugas sepanjang 2015. Setiap petugas mendapat upah Rp40.000 setiap kali razia. Dengan demikian, total anggaran razia selama 2015 sebanyak Rp115,2 juta.
Dia menambahkan, anggaran untuk petugas piket di lokasi potensial tongkrongan gepeng ini senilai Rp230,4 juta. Total petugas yang dilibatkan dalam piket ini sebanyak 5.760 personel. “Setiap jaga piket, personel mendapat upah Rp40.000,” ucapnya.
Anggota Komisi D DPRD DIY Nandar Winoro mengungkapkan, tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukan razia. Sebab, anggaran untuk razia sudah dialokasikan dari APBD DIY 2015. "Mungkin (anggaran) bisa cair Februari nanti," ucapnya.
Dilihat dari anggaran yang disediakan APBD, minimal sepekan bisa melakukan razia dua kali sepanjang 2015. "Dulu setahun hanya berapa kali razia, wajar kalau mereka tetap ada di jalanan," tandas mantan Ketua Pansus Perda Penanganan Gepeng.
Ridwan Anshori
Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi mengatakan, penyeragaman pemulung ini bagian dari pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1/2014 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis (Gepeng). "Mereka diberi seragam agar tidak terkena razia," katanyausai rapat dengan pengepul barang bekas se-DIY di kantornya, kemarin.
Untuk seragam ini pihaknya menyiapkan 500 setel. Satu setel terdiri dua rompi berwarna hijau. ”Pengadaannya dari pengepul barang rongsok dalam bentuk CSR (coorporate social responsibility),” katanya. Menurut Untung, dalam rapat tersebut, sudah ada kesepakatan DIY harus bersih dan tertib.
Keberadaan pemulung di DIY masih dibutuhkan, yakni membantu masyarakat dalam pengelolaan barang bekas. "Barang itu bisa didaur ulang, untuk handycraft. Sekaligus mengurangi volume sampah yang masuk pembuangan akhir," paparnya. Karena itu, agar pemulung bisa diterima masyarakat, mereka harus berperilaku dan bertindak baik. "Di seragam itu tertulis Warga Binaan Sosial Dinas Sosial DIY," ungkapnya.
Pengadaan menjadi tanggung jawab pengepul. Sedangkan Dinas Sosial memfasilitasi pelatihan kepada pemulung. Pelatihan nantinya meliputi aspek kesehatan, estetika, keamanan, dan lainnya. Untung menambahkan, aspek kesehatan misalnya, pemulung mengenakan sepatu bot, sarung tangan, masker, helm proyek.
Sementara soal estetika, antara lain tidak boleh masuk taman, pekarangan rumah, dan lainnya. "Kami juga memfasilitasi pelatihan skill (kemampuan) berupa pendidikan teknikal seperti perbengkelan dan menjahit," ujarnya.
Berdasarkan catatan Dinsos DIY, jumlah pemulung di DIY baru terdaftar sebanyak 171 pemulung. Itu berdasarkan data dari para pengepul barang rongsok. "Data dari bosnya (pengepul) baru 171 orang. Tapi kami yakin jumlahnya sangat lebih dari itu," kata Untung. Dia juga berharap kepada warga agar memasang rambu pemulung dilarang masuk. "Pemulung Tak Berseragam Dilarang Masuk,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIY Bambang Budi Istiarjo menegaskan, tahun ini bakal melakukan razia secara intensif keberadaan gepeng. Pemulung dengan penampilan seperti gelandang juga masuk dalam daftar razia. "Secepatnya kami bikin gebrakan (razia besar-besaran). Kami pastikan personel sudah sangat siap," katanya.
Bambang mengakui sejak Perda No 1/2014 diundangkan, razia gepeng mendapatkan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY 2015. Sebelumnya, razia jarang dilakukan karena keterbatasan anggaran. "Problemnya dulu memang itu (tidak ada anggaran)," ucapnya.
Berdasarkan Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) di Dinas Sosial DIY, untuk merazia gepeng melibatkan 2.800 petugas sepanjang 2015. Setiap petugas mendapat upah Rp40.000 setiap kali razia. Dengan demikian, total anggaran razia selama 2015 sebanyak Rp115,2 juta.
Dia menambahkan, anggaran untuk petugas piket di lokasi potensial tongkrongan gepeng ini senilai Rp230,4 juta. Total petugas yang dilibatkan dalam piket ini sebanyak 5.760 personel. “Setiap jaga piket, personel mendapat upah Rp40.000,” ucapnya.
Anggota Komisi D DPRD DIY Nandar Winoro mengungkapkan, tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukan razia. Sebab, anggaran untuk razia sudah dialokasikan dari APBD DIY 2015. "Mungkin (anggaran) bisa cair Februari nanti," ucapnya.
Dilihat dari anggaran yang disediakan APBD, minimal sepekan bisa melakukan razia dua kali sepanjang 2015. "Dulu setahun hanya berapa kali razia, wajar kalau mereka tetap ada di jalanan," tandas mantan Ketua Pansus Perda Penanganan Gepeng.
Ridwan Anshori
(ftr)