Cerita di Balik Nama Samarinda
A
A
A
NAMA atau sebutan Samarinda tidak muncul begitu saja. Berikut cerita di balik nama daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Timur tersebut.
Cerita Pagi kali ini akan mengupas cerita di balik nama Samarinda, yang dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Ketika pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin Angkatan Laut Belanda menyerang Makassar dari laut. Sementara, Arung Palakka yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) menyerang dari daratan.
Akhirnya, Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya (Bongaya) pada tanggal 18 November 1667.
Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaya tersebut, tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Ada juga yang hijrah ke pulau-pulau lain, di antaranya ke daerah Kesultanan Kutai. Mereka adalah rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona, bergelar Pua Ado.
Rombongan yang dipimpin La Mohang ini hijrah ke Kesultanan Kutai pada 1668. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Sultan Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai perjanjian, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Sultan Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang). Namun, daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sekitar tahun 1668, Sultan Yang Dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara.
Selain itu, Sultan bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Oleh Sultan Kutai, perkampungan tersebut diberi nama Sama Rendah.
Tentu ada maksud di balik pemberian nama tersebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar, dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah".
Nah, diperkirakan dari istilah inilah lokasi permukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan diucapkan menjadi Samarinda.
Sumber: mahakamkotatepian.blogspot.com dan wikipedia
Cerita Pagi kali ini akan mengupas cerita di balik nama Samarinda, yang dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Ketika pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin Angkatan Laut Belanda menyerang Makassar dari laut. Sementara, Arung Palakka yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) menyerang dari daratan.
Akhirnya, Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya (Bongaya) pada tanggal 18 November 1667.
Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaya tersebut, tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Ada juga yang hijrah ke pulau-pulau lain, di antaranya ke daerah Kesultanan Kutai. Mereka adalah rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona, bergelar Pua Ado.
Rombongan yang dipimpin La Mohang ini hijrah ke Kesultanan Kutai pada 1668. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Sultan Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai perjanjian, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Sultan Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang). Namun, daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sekitar tahun 1668, Sultan Yang Dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara.
Selain itu, Sultan bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Oleh Sultan Kutai, perkampungan tersebut diberi nama Sama Rendah.
Tentu ada maksud di balik pemberian nama tersebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar, dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah".
Nah, diperkirakan dari istilah inilah lokasi permukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan diucapkan menjadi Samarinda.
Sumber: mahakamkotatepian.blogspot.com dan wikipedia
(zik)