10% Pekerja Hotel di DIY Bakal Nganggur
A
A
A
YOGYAKARTA - Cukup sudah pesta tahun baru. Kini sudah saatnya kita menatap tantangan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku di antara negara-negara se-Asia Tenggara pada Desember 2015.
Terlepas ini peluang atau sebaliknya, pertanyaannya adalah siapkah kita menghadapi era perdagangan bebas regional ini? DIY sendiri memiliki dua sektor andalan, yakni pendidikan dan pariwisata. Karena itu, sudah sepatutnya dua sektor ini lebih harus lebih mawas diri lantaran sumber daya manusia pun dibebaskan lalu lalang di antara negara ASEAN.
Menyoroti pariwisata, tentunya tak lepas dari pekerja hotel yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Tahun ini mereka harus menjalani ujian sertifikasi agar dianggap layak menjadi pekerja hotel. Bahkan gara-gara sertifikasi ini, ada 5-10% akan tersisih dari pekerjaannya sekarang di hotel. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Istidjab mengungkapkan, untuk sektor pariwisata dapat dikatakan siap menghadapi MEA.
Sebab industri ini kian berkembang dan inovatif, terutama karena predikat Yogya sebagai kota wisata. Hanya, kendala yang akan ditemui mendekati MEA adalah SDM hotel. “Tahun 2015 ini menjadi momentum pembukaan MEA terutama untuk industri hotel karena SDM hotel akan menjalani tes sertifikasi kelayakan bekerja di hotel. Hal ini dilakukan untuk menyaring dan memilih SDM yang benar-benar andal dan terampil.
Masalahnya adalah akan ada banyak pekerja yang tersisih secara otomatis jika tidak memenuhi syarat sertifikasi yang dilakukan lembaga sertifikasi hotel,” ucapnya kepada KORAN SINDO YOGYA kemarin. Saat ini terdapat 20.000 pekerja hotel se-DIY. Jumlah ini akan berkurang 5-10% jika MEA sudah diberlakukan pada 2015.
Istidjab mengutarakan ini diakibatkan tenaga-tenaga yang tidak memenuhi syarat akan langsung tereliminasi dari industri perhotelan. Istidjab menambahkan, solusinya adalah diperlukan upaya meningkatkan kualitas SDM perhotelan. Peningkatan kualitas diperlukan agar mereka mampu bersaing dengan SDM asing yang bakal masuk ke industri perhotelan Indonesia.
Dua hal yang kini menjadi sorotan yang harus dipersiapkan jelang MEA. Pertama, soal diversifikasi produk dan tenaga kerja. Indonesia harus memiliki produk yang unggul dari produk yang selama ini beredar di pasaran. Karena era pasar bebas akan membuat banyak investor menanamkan modalnya di Indonesia, dan membuat sektorsektor industri di Indonesia semakin bertambah. Kedua, yakni persiapan tenaga kerja.
“Tenaga kerja ke depanya harus memiliki sertifikasi dalam menjalankan tugasnya. Sertifikasi menjadi penting untuk mengukur kemampuan seseorang,” katanya.
Sektor Pendidikan Sudah Siap
Sementara itu, pengamat pendidikan DIY St Kartono menilai sektor pendidikan di DIY telah memiliki nilai jual yang cukup baik di negara ASEAN. Nilai jual tersebut bahkan diyakininya bisa menjadi salah satu “senjata” provinsi ini menghadapi MEA akhir 2015.
“Kalau melihat animo mahasiswa luar Jawa selama ini, dan juga tampak sudah menembus batas ke negara-negara ASEAN, tentunya membuktikan nilai lebih dari pendidikan di DIY. Tapi bukan berarti karena sudah cukup dikenal lalu berhenti berkembang,” ucap Kartono. Menurut Kartono, dalam industri termasuk industri pendidikan, pengembangan untuk lebih baik lagi perlu dilakukan.
Hal inilah yang membuatnya sebagai pengamat justru mempertanyakan sejauh mana upaya perumusan masing-masing pelaku pendidikan guna mendongkrak nilai jual mereka yang sudah ada agar dapat bertahan lama dalam era MEA nanti.
“Sudahkah masing-masing pelaku pendidikan di DIY ini menunjukkan kelebihan mereka dibanding sesama pelaku pendidikan lainnya? Atau larisnya industri pendidikan di DIY sebenarnya hanya kondisi yang dikarenakan terjebaknya konsumen pendidikan pada mitos Yogyakarta sebagai kota pendidikan? Yang bisa menjawabnya tentu para pelaku pendidikan itu sendiri,” paparnya.
Terlepas dari itu semua, Kartono mengungkapkan harapan positifnya terkait kemampuan industri pendidikan di DIY berkembang lebih baik lagi. Hal itu tampak pada makin banyaknya upaya jalinan kerja sama internasional yang dilakukan lembaga- lembaga pendidikan di DIY.
“Sepertinya beberapa pelaku industri pendidikan DIY sudah memiliki proyeksi besar menyambut dan bergelut dalam MEA. Hal inilah yang kita harapkan bisa menular ke pelaku industri pendidikan lainnya. Supaya kekuatan dari sektor pendidikan di DIY makin mengakar,” kata Kartono.
Terkait waktu yang makin mendekati pelaksanaan MEA, Kartono menegaskan industri pendidikan di DIY sudah siap. Selanjutnya tinggal menemukan dan mengasah kekhasan masing-masing lembaga untuk meningkatkan nilai jual. “Contohnya, seperti lembaga pendidikan di negara maju. Orang yang ingin belajar ke sana pasti sudah tahu mau sekolah di mana. Misal, mau belajar bisnis ke universitas A, belajar teknik ke sekolah B dan lainnya,” ucapnya.
Dengan memiliki kekhasan sendiri-sendiri, tiap lembaga pendidikan tidak akan saling berbenturan. Selain itu, mereka bisa lebih fokus menggarap tujuan dan keilmuannya. Pengamat ekonomi dari UII Edy Suandi Hamid mengatakan dampak MEA sudah terasa dua tahun terakhir ini. Hanya masyarakat kurang peka dengan maraknya serbuan produk-produk asing yang mulai membanjiri toko-toko ritel.
Ketidakpekaan masyarakat diakibatkan pola konsumtif warga Indonesia yang tinggi, sehingga tidak terlalu memedulikan dari mana produk berasal. “Menghadapi MEA yang sudah di depan mata ini para pelaku industri harus mengencangkan ikat pinggang guna menghadapi persaingan produk secara langsung. Pemerintah juga seharusnya memberikan proteksi terhadap produk lokal agar tidak kalah dengan gempuran asing. Karena saat ini 50% lebih produk di pasar-pasar modern adalah produk asing bukan produk dalam negeri,” papar kemarin.
Tantangan berikutnya dari munculnya MEA akan menjadi momentum pembuktian seberapa kuat industri gula nasional. Dengan berlakunya MEA, maka impor gula dari Thailand akan sulit dibendung. Dengan demikian, pabrik gula yang memiliki harga patokan petani (HPP) Lebih dari Rp6.000 per kilogram (kg) pasti akan sulit bersaing dengan produk yang sama di pasar global yang harganya bisa kurang dari Rp4.850 per kg.
Tanpa adanya langkah yang drastis, biaya SDM dan lain-lain akan terus mengalami peningkatan. Tuntutan peningkatan kesejahteraan petani juga akan semakin keras, misalnya melalui penjaminan harga. Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) Subiyono memprediksi dengan kondisi yang ada sekarang, maka dari berbagai sudut pandang manapun, industri gula nasional tetap kalah.
Jika tak diantisipasi dengan upaya maksimal, bukan tidak mungkin industry yang sebagian besar berbasis di wilayah pedesaan ini bakal segera gulung tikar. “Tidak akan lama, pasti gulung tikar jika kondisi sulit ini tidak segera dicari solusinya,” ujar Direktur PTPN X wilayah Jawa Timur ini.
Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di berbagai negara seperti Australia, Thailand, Afrika, dan Amerika Selatan, industri gula berkembang sangat pesat. Sayangnya secara umum industri gula nasional cenderung stagnan bahkan mengalami kemunduran.
Satu di antaranya karena sejak lebih dari dua dekade silam, industri gula harus beroperasi dengan teknologi usang dan peralatan tua. Investasi yang dikeluarkan untuk perbaikan pabrik juga sangat rendah. Selain itu bidang perkebunan mengalami kemunduran yang menyebabkan turunnya kinerja maupun efisiensi pada level makro. Padahal hal ini menurunkan rural income serta kesejahteraan petani.
“Melihat keadaan ini Industri gula seperti di ambang kehancuran karena sulit bersaing dengan produk gula impor. Dan dipastikan industri gula nasional belum siap menghadapi MEA,” ucap Subiyono.
Windy anggraina/ Ratih keswara
Terlepas ini peluang atau sebaliknya, pertanyaannya adalah siapkah kita menghadapi era perdagangan bebas regional ini? DIY sendiri memiliki dua sektor andalan, yakni pendidikan dan pariwisata. Karena itu, sudah sepatutnya dua sektor ini lebih harus lebih mawas diri lantaran sumber daya manusia pun dibebaskan lalu lalang di antara negara ASEAN.
Menyoroti pariwisata, tentunya tak lepas dari pekerja hotel yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Tahun ini mereka harus menjalani ujian sertifikasi agar dianggap layak menjadi pekerja hotel. Bahkan gara-gara sertifikasi ini, ada 5-10% akan tersisih dari pekerjaannya sekarang di hotel. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Istidjab mengungkapkan, untuk sektor pariwisata dapat dikatakan siap menghadapi MEA.
Sebab industri ini kian berkembang dan inovatif, terutama karena predikat Yogya sebagai kota wisata. Hanya, kendala yang akan ditemui mendekati MEA adalah SDM hotel. “Tahun 2015 ini menjadi momentum pembukaan MEA terutama untuk industri hotel karena SDM hotel akan menjalani tes sertifikasi kelayakan bekerja di hotel. Hal ini dilakukan untuk menyaring dan memilih SDM yang benar-benar andal dan terampil.
Masalahnya adalah akan ada banyak pekerja yang tersisih secara otomatis jika tidak memenuhi syarat sertifikasi yang dilakukan lembaga sertifikasi hotel,” ucapnya kepada KORAN SINDO YOGYA kemarin. Saat ini terdapat 20.000 pekerja hotel se-DIY. Jumlah ini akan berkurang 5-10% jika MEA sudah diberlakukan pada 2015.
Istidjab mengutarakan ini diakibatkan tenaga-tenaga yang tidak memenuhi syarat akan langsung tereliminasi dari industri perhotelan. Istidjab menambahkan, solusinya adalah diperlukan upaya meningkatkan kualitas SDM perhotelan. Peningkatan kualitas diperlukan agar mereka mampu bersaing dengan SDM asing yang bakal masuk ke industri perhotelan Indonesia.
Dua hal yang kini menjadi sorotan yang harus dipersiapkan jelang MEA. Pertama, soal diversifikasi produk dan tenaga kerja. Indonesia harus memiliki produk yang unggul dari produk yang selama ini beredar di pasaran. Karena era pasar bebas akan membuat banyak investor menanamkan modalnya di Indonesia, dan membuat sektorsektor industri di Indonesia semakin bertambah. Kedua, yakni persiapan tenaga kerja.
“Tenaga kerja ke depanya harus memiliki sertifikasi dalam menjalankan tugasnya. Sertifikasi menjadi penting untuk mengukur kemampuan seseorang,” katanya.
Sektor Pendidikan Sudah Siap
Sementara itu, pengamat pendidikan DIY St Kartono menilai sektor pendidikan di DIY telah memiliki nilai jual yang cukup baik di negara ASEAN. Nilai jual tersebut bahkan diyakininya bisa menjadi salah satu “senjata” provinsi ini menghadapi MEA akhir 2015.
“Kalau melihat animo mahasiswa luar Jawa selama ini, dan juga tampak sudah menembus batas ke negara-negara ASEAN, tentunya membuktikan nilai lebih dari pendidikan di DIY. Tapi bukan berarti karena sudah cukup dikenal lalu berhenti berkembang,” ucap Kartono. Menurut Kartono, dalam industri termasuk industri pendidikan, pengembangan untuk lebih baik lagi perlu dilakukan.
Hal inilah yang membuatnya sebagai pengamat justru mempertanyakan sejauh mana upaya perumusan masing-masing pelaku pendidikan guna mendongkrak nilai jual mereka yang sudah ada agar dapat bertahan lama dalam era MEA nanti.
“Sudahkah masing-masing pelaku pendidikan di DIY ini menunjukkan kelebihan mereka dibanding sesama pelaku pendidikan lainnya? Atau larisnya industri pendidikan di DIY sebenarnya hanya kondisi yang dikarenakan terjebaknya konsumen pendidikan pada mitos Yogyakarta sebagai kota pendidikan? Yang bisa menjawabnya tentu para pelaku pendidikan itu sendiri,” paparnya.
Terlepas dari itu semua, Kartono mengungkapkan harapan positifnya terkait kemampuan industri pendidikan di DIY berkembang lebih baik lagi. Hal itu tampak pada makin banyaknya upaya jalinan kerja sama internasional yang dilakukan lembaga- lembaga pendidikan di DIY.
“Sepertinya beberapa pelaku industri pendidikan DIY sudah memiliki proyeksi besar menyambut dan bergelut dalam MEA. Hal inilah yang kita harapkan bisa menular ke pelaku industri pendidikan lainnya. Supaya kekuatan dari sektor pendidikan di DIY makin mengakar,” kata Kartono.
Terkait waktu yang makin mendekati pelaksanaan MEA, Kartono menegaskan industri pendidikan di DIY sudah siap. Selanjutnya tinggal menemukan dan mengasah kekhasan masing-masing lembaga untuk meningkatkan nilai jual. “Contohnya, seperti lembaga pendidikan di negara maju. Orang yang ingin belajar ke sana pasti sudah tahu mau sekolah di mana. Misal, mau belajar bisnis ke universitas A, belajar teknik ke sekolah B dan lainnya,” ucapnya.
Dengan memiliki kekhasan sendiri-sendiri, tiap lembaga pendidikan tidak akan saling berbenturan. Selain itu, mereka bisa lebih fokus menggarap tujuan dan keilmuannya. Pengamat ekonomi dari UII Edy Suandi Hamid mengatakan dampak MEA sudah terasa dua tahun terakhir ini. Hanya masyarakat kurang peka dengan maraknya serbuan produk-produk asing yang mulai membanjiri toko-toko ritel.
Ketidakpekaan masyarakat diakibatkan pola konsumtif warga Indonesia yang tinggi, sehingga tidak terlalu memedulikan dari mana produk berasal. “Menghadapi MEA yang sudah di depan mata ini para pelaku industri harus mengencangkan ikat pinggang guna menghadapi persaingan produk secara langsung. Pemerintah juga seharusnya memberikan proteksi terhadap produk lokal agar tidak kalah dengan gempuran asing. Karena saat ini 50% lebih produk di pasar-pasar modern adalah produk asing bukan produk dalam negeri,” papar kemarin.
Tantangan berikutnya dari munculnya MEA akan menjadi momentum pembuktian seberapa kuat industri gula nasional. Dengan berlakunya MEA, maka impor gula dari Thailand akan sulit dibendung. Dengan demikian, pabrik gula yang memiliki harga patokan petani (HPP) Lebih dari Rp6.000 per kilogram (kg) pasti akan sulit bersaing dengan produk yang sama di pasar global yang harganya bisa kurang dari Rp4.850 per kg.
Tanpa adanya langkah yang drastis, biaya SDM dan lain-lain akan terus mengalami peningkatan. Tuntutan peningkatan kesejahteraan petani juga akan semakin keras, misalnya melalui penjaminan harga. Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) Subiyono memprediksi dengan kondisi yang ada sekarang, maka dari berbagai sudut pandang manapun, industri gula nasional tetap kalah.
Jika tak diantisipasi dengan upaya maksimal, bukan tidak mungkin industry yang sebagian besar berbasis di wilayah pedesaan ini bakal segera gulung tikar. “Tidak akan lama, pasti gulung tikar jika kondisi sulit ini tidak segera dicari solusinya,” ujar Direktur PTPN X wilayah Jawa Timur ini.
Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di berbagai negara seperti Australia, Thailand, Afrika, dan Amerika Selatan, industri gula berkembang sangat pesat. Sayangnya secara umum industri gula nasional cenderung stagnan bahkan mengalami kemunduran.
Satu di antaranya karena sejak lebih dari dua dekade silam, industri gula harus beroperasi dengan teknologi usang dan peralatan tua. Investasi yang dikeluarkan untuk perbaikan pabrik juga sangat rendah. Selain itu bidang perkebunan mengalami kemunduran yang menyebabkan turunnya kinerja maupun efisiensi pada level makro. Padahal hal ini menurunkan rural income serta kesejahteraan petani.
“Melihat keadaan ini Industri gula seperti di ambang kehancuran karena sulit bersaing dengan produk gula impor. Dan dipastikan industri gula nasional belum siap menghadapi MEA,” ucap Subiyono.
Windy anggraina/ Ratih keswara
(ars)