Palembang Tak Lagi Aman

Jum'at, 02 Januari 2015 - 11:20 WIB
Palembang Tak Lagi Aman
Palembang Tak Lagi Aman
A A A
PALEMBANG - Sejumlah warga Palembang resah. Mereka menganggap kota yang mereka tinggali tidak aman lagi. Hal itu karena kriminalitas terjadi hampir tiap hari dan semakin berani.

Sepekan terakhir 2014 saja terjadi beberapa tindakan kejahatan dengan pelaku menggunakan senjata api (senpi) dan senjata tajam (sajam). Tindakan kejahatanya pun beragam, mulai dari pembunuhan, perampokan, hingga pemalakan di dalam angkutan umum. Diantaranya, Rabu (31/12) malam tahun baru, seorang warga tewas bersimbah darah di kawasan 7 Ulu.

Sebelumnya, 25 Desember, saat perayaan Natal tiga perampok bersenpi beraksi di siang hari di travel agentdi kawasan Jalan Veteran. Kemudian beberapa penumpang bus kota yang juga menjadi korban pelaku pemalakan. Tak hanya itu, aksi pelaku kriminal yang menyerupai para koboy pun mulai meresahkan warga, karena semakin berani beraksi di tempat umum dan keramaian.

Seperti yang di saksikan tokoh pemuda Palembang, Husyam Usman. Politisi Demokrat ini galau telah menyaksikan langsung beberapa aksi kriminalitas sehingga menuangkan keresahannya melalui media sosial. Lewat surat terbuka kepada pemangku kepentingan keamanan, dia berharap di tahun baru 2015 terjadi penurunan angka kriminalitas.

“Ya, saya sengaja menuliskan status itu karena kemarin (baru – baru ini) sewaktu berjalan di kawasan POM IX habis salat Jumat tas teman saya dijambret,” kata Husyam. Dia menuturkan, para pelaku adalah oknum yang menggunakan pakaian ala punk dan berandalan. Padahal, kata Husyam, saat itu banyak warga yang keluar dari masjid sehabis salat jumat. “Artinya, mereka sangat berani beraksi, padahal warga sedang ramai,” kata dia.

Kemudian, Ketua Pemuda Demokrat Sumsel ini menyebutkan, ketika sedang melintas di simpang lampu merah Jalan Kapten A Rivai, dia menyaksikan aksi penodongan. Pelaku berani mengacungkan pistol layaknya koboi, dan pelaku lainnya mengacung-acungkan pedang panjang. “Mereka mengayun-ayun sajamnya di jalanan seolah-olah tanpa rasa takut. Ini menimbulkan horor di masyarakat dan sudah sangat mengkhawatirkan,” jelas dia.

Husyam berharap petugas kepolisian dan aparat keamanan lainnya dapat mengembalikan rasa aman tersebut kepada masyarakat Palembang. Dia berpendapat, ada kecenderungan aksi tersebut terjadi karena kurangnya peng amanan hingga menimbulkan keberanian para pelaku kejahatan. “Ini harus kita sikapi bersama, jangan sampai persoalan ini menjadi-jadi hingga Kota Palembang tidak aman,” tegas dia.

Kriminolog Palembang Sri Sulastri menilai, aksi mengacungkan senjata tajam dan senjata api, merupakan tindak kriminalitas. Sebab, baik mereka yang punya hak menggunakan senjata dengan izin, atau tidak adalah tindakan ilegal dan harus diproses oleh aparat kepolisian. “Polisi harus menindaknya. Hal itu tidak dibenarkan,” kata dia.

Menurut Sri, yang lebih mengkhawatirkan adalah kualitas bukan kuantitas kriminal. Karena kejahatan berkualitas akan lebih berbahaya dan menjadi ancaman yang serius bagi keamanan masyarakat. “Apalagi menggunakan senjata api, polisi harus segera mungkin melakukan sweeping jika tidak ingin terjadi hal-hal yang lebih membahayakan,” tegas dia.

Di Palembang dan sekitarnya, sebut Sri, sering kali di jumpai tindak kriminalitas yang menggunakan senjata api. Artinya, masyarakat yang memiliki senjata api cukup banyak, baik digunakan untuk kejahatan atau hanya untuk pegangan pribadi. “Nah, jika semakin banyak yang ingin men da pat kan hak izin senjata api, apa jadinya Kota Palembang. bisa saja kota kita jadi kota koboi,” tegas dia.

Penyakit Lama

Meningkatnya aksi kriminalitias di Palembang belakangan, ditanggapi serius Pengamat Sosial dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Aidil Fitri. Selain karena lemahnya penegakan hukum, dia juga mencurigai fenomena kambuhnya penyakit lama di Palembang ini karena adanya mafia.

“Ini fenomena usang yang terjadi lagi, karena tidak ada tindakan yang memberi efek jera pada para pelaku. Ini terjadi karena pengamanan di Palembang kendor. Bahkan dicurigai ada mafia, di mana ada orangorang tertentu yang dibiarkan melakukan kejahatan dengan kompensasi,” tegasnya.

Dikatakan Alfitri, saat ini pengamanan yang ada dinilainya sangat lemah karena masih berkutat dengan sistem operasi bukan sejenis pengamanan rutin. Hal inilah yang membuat pelaku semakin menjadi-jadi dalam beraksi, karena sistem pengamanan yang mudah sekali terbaca oleh pelaku kriminal. “Misalnya DPO, selama ini kan tergantung dengan operasi, nah operasinya pakai dana sendiri. Jadi, ini lemah sekali dan mudah dibaca. Makanya, mereka tambah berani,” ujarnya.

Agar penyakit lama di Palembang ini tidak sampai terulang, menurutnya, yang perlu dilakukan adalah memberikan pendekatan hukum yang memberikan efek jera. Dengan begitu, pelaku kriminal tentu akan berpikir ulang sebelum menjalankan aksinya sehingga masyarakat jadi lebih aman beraktivitas di ruang publik.

“Sekarang begitu, sebagai orang tua kita was-was kalau anak mulai keluar rumah. Ini sangat tidak nyaman, karena keamanan itu kebutuhan yang sangat utama,” pungkasnya. Pengamat Sosial UIN Raden Fatah Palembang, Prof Abdullah Idi berpendapat, terjadinya penurunan rasa aman yang memicu masyarakat untuk melindungi dirinya.

“Saya pikir ini karena adanya kekurangan rasa aman di Palembang yang mengalami penurunan. Dengan kata lainnya, tingkat ketertiban masyarakat merosot hingga banyak terjadi hal tersebut,” terang dia.

Menurut Abdullah, aksi mengacungkan senjata oleh kelompok bersepeda motor, atau aksi gaya koboi oleh sekelompok orang terjadi karena kontrol keamanan polisi yang semakin kurang hingga untuk mengatasi hal tersebut, sebagian masyarakat membekali diri mereka dengan senjata.

“Ini juga menandakan pengawasan dari kontrol keamanan perlu ditingkatkan lagi. Itu menandakan perlu situasi yang lebih baik,” kata dia. Budaya Palembang yang dahulunya sangat erat dengan pisau di pinggang, kata Abdullah, bukanlah budaya yang sebenarnya dari masyarakat perkotaan. Karena, jelas dia, senjata berupa pisau adalah budaya di pedesaan yang sengaja di lakukan untuk menghindarkan diri dari binatang buas.

“Jadi jangan salah kaprah dahulu menilai pisau di pinggang adalah budaya perkotaan. Dan senjata itu bukan untuk melakukan kriminalitas, tapi untuk melindungi diri dari bahaya binatang buas,” jelas dia. Jika masyarakat perkotaan turut serta membekali diri dengan senjata tajam, terjadi karena penurunan rasa aman.

Kecenderungan itu juga turut terjadi di mana pun, ketika masyarakat kehilangan rasa aman dan nyamannya. “Ini juga menandakan rasa aman dari polisi belum optimal,” tegas dia.

M Uzair/ Komalasari/Bubun K
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6640 seconds (0.1#10.140)