Pentas di Celah Langit
A
A
A
CELAH Celah Langit (CCL) adalah komunitas teatrikal budaya yang fokus pada seni pertunjukan. Sepak terjang komunitas ini tak hanya dikenal secara nasional namun juga internasional.
Di balik keberhasilan CCL, ada sosok Iman Soleh. Pria kelahiran Bandung 5 Maret 1966 itu termasuk seorang yang konsisten di bidangnya. Reporter KORAN SINDO Agie Permadi berkesempatan mewawancarainya di markas CCL sekaligus kediaman Iman Soleh Gang Bapa Eni No 8/169 A Ledeng, Jalan Setiabudi, Kota Bandung.
Apa yang melatarbelakangi terbentuknya CCL?
Strategi kebudayaan dalam dunia sosial harus dibaca lebih intensibel. Contohnya Saung Udjo yang memiliki rumah dan keseniannya dalam satu tempat. Saat saya tinggal di Eropa pun seperti itu, di Jepang ada sebuah tempat khusus untuk umum yang menampung segala seni.
Jadi strategi kebudayaan ini bukan hanya membuat tempat khusus yang hanya berisi eventevent tertentu yang dikelola oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) lalu setelah itu sepi. Ada 870 bahasa lebih di Indonesia. Zaman orde baru, jika wali kota atau bupati mengucapkan salah satu bahasa dianggap rasial, jadi semua diwajibkan berbahasa Indonesia. Pada saat reformasi masuk aktivis seniman melakukan pemberdayaan masyarakat.
Halaman ini (tempat pentas CCL) bukan hanya saya yang buat tapi juga keluarga, adik, dan ibu saya. Jadi saya ingin ada ada kesenian yang memberikan edukasi yang mengajarkan kemandirian, kemampuan daya hidup, sehingga kesenian ini akan terus ada sepanjang hidup
Kapan CCL dibentuk?
CCL dibentuk pada 22 Mei 1998, satu hari setelah Presiden Soeharto diturunkan pada tanggal 21. Jadi awalnya setelah turun Presiden Soeharto, kami membuat sebuah acara di (halaman) sini, saat itu berbagai seniman seperti Tisna Sanjaya dan lainnya. Nama CCL sendiri dibuat oleh Saung Jabo.
Sebelumnya nama CCL ini ada yang menyebutkan Cowok Cewek Ledeng, bahkan ada jurnalis yang menuliskan CCL ini Centre Culture of Ledeng. Sebelumnya juga pernah disebut Anak Gang Bapa Eni, karena saat itu nama gang lagi kondang, pembeda dari anak komplek.
Apa arti dari Celah Celah langit itu sendiri?
CCL ini adalah pepohonan mentas di antara celah langit.
Kabarnya tak hanya komunitas CCL saja yang pentas di sini?
Ya, dari kota lain juga banyak yang ingin pentas di sini. Pernah ada komunitas seni dari Kendari, Riau, mereka ingin pentas di sini sampai malamnya mereka dirikan tenda dan nge-camp. Juga ada Beijing Music Costre dari China, Don Moumoney dari Yunani, Carlos Gomes dari Brasil, dan lainnya. Jadi tak hanya di Kota Bandung atau di Indonesia saja.
Apakah benar yang pentas di sini tak dipungut bayaran?
Keluarga saya memang betul yang menghibahkan tempat ini. Bahkan di tempat ini juga siapapun bebas melakukan pentas dan tanpa dipungut bayaran. Kami tak mengomersilkan. Kalau ingin berpikir seperti itu (komersil) silakan pentas di tempat lain.
Lalu bagaimana mengelola tempat ini, dari mana biayanya?
Susu tanteatau sumbangan sukarela tanpa tekanan. Kami tak mau melanggar regulasi jadi dari sumbangan.
Ketika ada pementasan, bagaimana Anda menarik penonton dan bagaimana pula tanggapan warga?
Tetangga sekitar mendukung, bahkan saat ada pementasan ada beberapa warga yang mengumumkan di mesjid. Di wilayah kami ada beberapa mesjid dan cara itu sepertinya hanya ada di kami saja. Masyarakat sangat mendukung, namun budaya seperti ini tak didapatkan secara instan, semua itu melalui proses panjang.
Di tengah gempuran bahwa segala sesuatu itu dilihat dari materi, bagaimana caranya Anda terus konsisten di jalur seni?
Kesenian yang hidup mengakar dan tekun insyallah akan dibukakan. Kami tak seperti sanggar yang dibuat Disbudpar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) atau pemerintahan, karena semuanya seakan berpandangan materialistis. Process is art bukan product is art. Harus berani mengubah cara, berpikir keras.
Tradisi literatur zaman begitu cepat, segala sesuatunya ingin cepat, instan. Namun sebetulnya kesenian ini mempunyai tugas. Oleh karenanya setelah pementasan biasakan untuk diskusi. Kalau kesenian hanya sebagai fungsi hiburan saja apa bedanya dengan televisi. Dalam seni itu harus ada fungsi kecemasan agriculture, perlawanan, dan lainnya.
Selain sibuk mengelola CCL apa kesibukan lainnya di luar itu?
Saya aktif di program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya, jadi saya datang ke daerahdaerah yang kebanyakan di wilayah Indonesia Timur seperti Wamena Papua, di daerah pedalaman.
Sudah berapa lama kegiatan tersebut berlangsung dan bagaimana bisa anda terjun ke bidang pendidikan ini?
Sudah sekitar 14 tahun berlangsung, saya mulai sejak tahun 2000. Tapi saya suka di daerah itu dimulai dengan membaca diakhiri menulis. Mengajar mereka membaca dan menulis. Itu programnya Taufik Ismail, saya diajak oleh dia, dulu sama WS Rendra. Biasanya saya pergi sebulan sekali.
Kabarnya Anda pernah pentas di daerah konflik. Bagaimana perasaan Anda saat itu?
Pengalaman menarik saat pentas di Lahore, Pakistan yang merupakan daerah konflik. Dari sini (CCL) kami bawa 12 orang. Saat turun (dari pesawat) menuju bandara, perasaan ngerisudah begitu terasa.
Bom-bom (letusan bom) kiri kanan, disambut orang-orang yang bawa bedil (senjata). Namun yang menariknya pentas di daerah konflik itu tak seperti pentas di Sydney, Australia. Itu terlalu biasa karena seperti layaknya di dunia modern atau seperti di BIP (Bandung Indah Plaza), dimana akan ada sesuatu yang harganya sudah pasti.
Berbeda dengan daerah konflik, di situ ada tawar menawar, ada dialektika. Di situ seperti layaknya di Pasar Baru. Kalau di Sidney itu Anda pentas, penonton tepuk tangan dan pulang. Beda kalau di Lahore, setelah pentas langsung ngobrol.
Apa harapan Anda terhada seni budaya yang ada geluti ini?
Saya harap dalam seni ini hiburan itu nomor sekian, mungkin nomor sembilan atau berapa. Masih ada hal yang lebih penting lainnya seperti halnya pendidikan.
Agie permadi
Di balik keberhasilan CCL, ada sosok Iman Soleh. Pria kelahiran Bandung 5 Maret 1966 itu termasuk seorang yang konsisten di bidangnya. Reporter KORAN SINDO Agie Permadi berkesempatan mewawancarainya di markas CCL sekaligus kediaman Iman Soleh Gang Bapa Eni No 8/169 A Ledeng, Jalan Setiabudi, Kota Bandung.
Apa yang melatarbelakangi terbentuknya CCL?
Strategi kebudayaan dalam dunia sosial harus dibaca lebih intensibel. Contohnya Saung Udjo yang memiliki rumah dan keseniannya dalam satu tempat. Saat saya tinggal di Eropa pun seperti itu, di Jepang ada sebuah tempat khusus untuk umum yang menampung segala seni.
Jadi strategi kebudayaan ini bukan hanya membuat tempat khusus yang hanya berisi eventevent tertentu yang dikelola oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) lalu setelah itu sepi. Ada 870 bahasa lebih di Indonesia. Zaman orde baru, jika wali kota atau bupati mengucapkan salah satu bahasa dianggap rasial, jadi semua diwajibkan berbahasa Indonesia. Pada saat reformasi masuk aktivis seniman melakukan pemberdayaan masyarakat.
Halaman ini (tempat pentas CCL) bukan hanya saya yang buat tapi juga keluarga, adik, dan ibu saya. Jadi saya ingin ada ada kesenian yang memberikan edukasi yang mengajarkan kemandirian, kemampuan daya hidup, sehingga kesenian ini akan terus ada sepanjang hidup
Kapan CCL dibentuk?
CCL dibentuk pada 22 Mei 1998, satu hari setelah Presiden Soeharto diturunkan pada tanggal 21. Jadi awalnya setelah turun Presiden Soeharto, kami membuat sebuah acara di (halaman) sini, saat itu berbagai seniman seperti Tisna Sanjaya dan lainnya. Nama CCL sendiri dibuat oleh Saung Jabo.
Sebelumnya nama CCL ini ada yang menyebutkan Cowok Cewek Ledeng, bahkan ada jurnalis yang menuliskan CCL ini Centre Culture of Ledeng. Sebelumnya juga pernah disebut Anak Gang Bapa Eni, karena saat itu nama gang lagi kondang, pembeda dari anak komplek.
Apa arti dari Celah Celah langit itu sendiri?
CCL ini adalah pepohonan mentas di antara celah langit.
Kabarnya tak hanya komunitas CCL saja yang pentas di sini?
Ya, dari kota lain juga banyak yang ingin pentas di sini. Pernah ada komunitas seni dari Kendari, Riau, mereka ingin pentas di sini sampai malamnya mereka dirikan tenda dan nge-camp. Juga ada Beijing Music Costre dari China, Don Moumoney dari Yunani, Carlos Gomes dari Brasil, dan lainnya. Jadi tak hanya di Kota Bandung atau di Indonesia saja.
Apakah benar yang pentas di sini tak dipungut bayaran?
Keluarga saya memang betul yang menghibahkan tempat ini. Bahkan di tempat ini juga siapapun bebas melakukan pentas dan tanpa dipungut bayaran. Kami tak mengomersilkan. Kalau ingin berpikir seperti itu (komersil) silakan pentas di tempat lain.
Lalu bagaimana mengelola tempat ini, dari mana biayanya?
Susu tanteatau sumbangan sukarela tanpa tekanan. Kami tak mau melanggar regulasi jadi dari sumbangan.
Ketika ada pementasan, bagaimana Anda menarik penonton dan bagaimana pula tanggapan warga?
Tetangga sekitar mendukung, bahkan saat ada pementasan ada beberapa warga yang mengumumkan di mesjid. Di wilayah kami ada beberapa mesjid dan cara itu sepertinya hanya ada di kami saja. Masyarakat sangat mendukung, namun budaya seperti ini tak didapatkan secara instan, semua itu melalui proses panjang.
Di tengah gempuran bahwa segala sesuatu itu dilihat dari materi, bagaimana caranya Anda terus konsisten di jalur seni?
Kesenian yang hidup mengakar dan tekun insyallah akan dibukakan. Kami tak seperti sanggar yang dibuat Disbudpar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) atau pemerintahan, karena semuanya seakan berpandangan materialistis. Process is art bukan product is art. Harus berani mengubah cara, berpikir keras.
Tradisi literatur zaman begitu cepat, segala sesuatunya ingin cepat, instan. Namun sebetulnya kesenian ini mempunyai tugas. Oleh karenanya setelah pementasan biasakan untuk diskusi. Kalau kesenian hanya sebagai fungsi hiburan saja apa bedanya dengan televisi. Dalam seni itu harus ada fungsi kecemasan agriculture, perlawanan, dan lainnya.
Selain sibuk mengelola CCL apa kesibukan lainnya di luar itu?
Saya aktif di program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya, jadi saya datang ke daerahdaerah yang kebanyakan di wilayah Indonesia Timur seperti Wamena Papua, di daerah pedalaman.
Sudah berapa lama kegiatan tersebut berlangsung dan bagaimana bisa anda terjun ke bidang pendidikan ini?
Sudah sekitar 14 tahun berlangsung, saya mulai sejak tahun 2000. Tapi saya suka di daerah itu dimulai dengan membaca diakhiri menulis. Mengajar mereka membaca dan menulis. Itu programnya Taufik Ismail, saya diajak oleh dia, dulu sama WS Rendra. Biasanya saya pergi sebulan sekali.
Kabarnya Anda pernah pentas di daerah konflik. Bagaimana perasaan Anda saat itu?
Pengalaman menarik saat pentas di Lahore, Pakistan yang merupakan daerah konflik. Dari sini (CCL) kami bawa 12 orang. Saat turun (dari pesawat) menuju bandara, perasaan ngerisudah begitu terasa.
Bom-bom (letusan bom) kiri kanan, disambut orang-orang yang bawa bedil (senjata). Namun yang menariknya pentas di daerah konflik itu tak seperti pentas di Sydney, Australia. Itu terlalu biasa karena seperti layaknya di dunia modern atau seperti di BIP (Bandung Indah Plaza), dimana akan ada sesuatu yang harganya sudah pasti.
Berbeda dengan daerah konflik, di situ ada tawar menawar, ada dialektika. Di situ seperti layaknya di Pasar Baru. Kalau di Sidney itu Anda pentas, penonton tepuk tangan dan pulang. Beda kalau di Lahore, setelah pentas langsung ngobrol.
Apa harapan Anda terhada seni budaya yang ada geluti ini?
Saya harap dalam seni ini hiburan itu nomor sekian, mungkin nomor sembilan atau berapa. Masih ada hal yang lebih penting lainnya seperti halnya pendidikan.
Agie permadi
(ars)