Berharap Pakaian Pengantin Tradisional Bertahan

Rabu, 10 Desember 2014 - 16:09 WIB
Berharap Pakaian Pengantin Tradisional Bertahan
Berharap Pakaian Pengantin Tradisional Bertahan
A A A
BANTUL - Warga Dusun Krapyak Wetan, Desa Panjangrejo, Kecamatan Pundong berharap agar tradisi nenek moyang terutama dalam hajatan pernikahan tetap lestari dan dipertahankan.

Bagaimana tidak, di dusun ini setidaknya ada 30 kepala keluarga yang sehari-hari mengandalkan hidupnya dari menjadi perajin pernik-pernik perhiasan pakaian pengantin. Seperti yang diungkapkan Sukiman, 33, Warga Dusun Krapyak Wetan yang sudah menekuni usaha ini sejak awal tahun 90-an. Sebagai ketua kelompok Bangun Karya, dia mengetahui betul susah senang menjadi perajin pernik-pernik hiasan pakaian pengantin.

Terlebih dialah yang merintis usaha tersebut di dusun yang letaknya sekitar 27 kilometer dari Kota Yogyakarta ini. Menurut Sukiman, jika tradisi pengantin dengan pakaian Jawa ataupun pakaian adat lainnya masih bertahan, dia yakin usahanya bersama puluhan rekannya tersebut masih bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Bagaimana tidak, selama ini mereka hanya menggantungkan pesanan dari para pengusaha baju atau penyewaan baju pengantin. “Selama nikah itu masih pakai pakaian adat, kami yakin masih bisa makan,” ujarnya di tempat produksi berukuran 3x5 miliknya.

Dia berkisah, sejak tahun 80- an, dirinya sudah menggantungkan hidupnya dari usaha pernik-pernik pernikahan ini. Dengan menjadi buruh perajin Kotagede serta di Prawirotaman, bertahun-tahun menimba ilmu dari perajin-perajin yang menjadi juragannya. Dengan gaji yang sebenarnya belum layak untuk hidup, dia bertekad bertahan karena suatu saat akan membuka usaha serupa di kampungnya dan menampung warga sekitar yang masih banyak jadi pengangguran.

Di awal tahun 90-an, Sukiman nekat berhenti menjadi buruh dan menjajal usaha sendiri di rumahnya. Bermodal seadanya dan kenalan tengkulak, dia memberanikan diri mengerjakan usaha serupa. Perlahan-lahan, pesanan mulai datang ke tempat usahanya. Karena kewalahan mengerjakan sendiri, dia lantas mengajak rekan-rekan di kampungnya membantu dirinya memproduksi pernik-pernik dari logam tersebut. Dengan kemampuan modal yang terbatas, dia mengklaim mampu menyelesaikan pesanan per pekan rata-rata enam set pernik-pernik komplit. Dibantu lima tenaga kerja, dirinya mampu memproduksi berbagai pernik-pernik pengantin seluruh nusantara.

Dengan harga jual satu set paling murah Rp950.000 hingga Rp 6 juta, dia mampu menghidupi keluarganya dan beberapa orang tenaga kerja. “Kalau bahan bakunya masih mudah. Hanya saja, harganya terus mengalami kenaikan. Padahal di satu sisi kami kesulitan modal,” paparnya.

Sembari mengembangkan usahanya, dia juga terus berbagi pengalaman dengan warga di Dusun Krapyak, menularkan keterampilannya tersebut. Meskipun jumlah perajin di tempat tersebut sudah banyak, baginya, hal itu bukan sebuah persoalan. Tidak ada aturan yang pasti terkait harga, hanya saja, sudah ada patokan agar semuanya berjalan tanpa merugikan perajin lain.

Sutiman, perajin yang lain mengungkapkan, saat ini para perajin tidak bisa langsung menjualnya ke konsumen. Mereka hanya memasok ke tengkulak ataupun ke tokotoko perhiasan, baik perak ataupun tembaga di sentra-sentra perajin logam.

Seperti di Kotagede misalnya, hampir seluruh perajin dari Krapyak Wetan memasok ke toko-toko di kawasan tersebut. “Kalau ke Aceh, Minangkabau, ataupun Kalimantan, biasanya kami lewat orang. Tidak langsung ke pembeli,” ujarnya.

Erfanto Linangkung
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5216 seconds (0.1#10.140)