Membuat Takjub, Stamina Penarinya Luar Biasa
A
A
A
YOGYAKARTA - Stamina yang luar biasa. Begitulah kesan pertama yang didapat sebagian besar penonton ketika menyaksikan tarian koreografi terbaru karya penari ternama Eko Supriyanto atau yang akrab disapa dengan Eko Pece ini.
Bagaimana tidak, hampir satu jam lamanya tujuh penari laki-laki yang terdiri dari Veyndi Dangsa, Greatsia Yobel Yunga, Fernandito Wangelaha, Gerry Gerardo Bella, Noveldi Bontenan, Budiawan Saputra Riring, dan Geri Krisdianto tersebut, tidak henti-hentinya menghentakkan kedua kaki maupun kedua tangannya dan bergerak secara atraktif selama pertunjukan berlangsung.
Sebagai poros utama, gerakan pada kaki tersebut tidak lepas dari aktualisasi repertoar tarian tradisional asal Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Yakni tarian Legu Salaidari suku Sahu maupun tarian Soya-Soya dari suku Ternate. Tarian itu kemudian disubstansikan pada gerakan schooling fish yang kebanyakan hidup serta berenang secara bergerombol dan kemudian menjelma menjadi sebuah tarian kontemporer yang diberi nama dengan Cry Jailolo.
Berbeda dengan tarian kebanyakan, dalam tarian Cry Jailolo ini penari benar-benar nampak hidup dan seolah-olah seperti ikan yang nyata dan hidup di lautan. Dengan gerakannya ke sana kemari, penonton seolah diperlihatkan pada gerakan-gerakan schooling fish yang sebenarnya.
Bergerombol, pecah, lalu bergerombol kembali. Meskipun minim pencahayaan, namun dalam keheningan dan suara musik yang digarap oleh Setyawan Jayantoro dan Arco Renz tersebut, kita seolah berada di tengah lautan dan melihat ikan-ikan tersebut menari.
”Tarian ini menjadi ekspresi akan harapan dan optimisme terhadap kehancuran (terumbu) karang di sana supaya bisa dihentikan. Sehingga ikan-ikan akan kembali dan hidup di karangkarang itu. Dulunya hancur dan tidak kelihatan, namun sudah mulai terbenahi oleh bapak bupati sekarang (Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba),” ujar Eko Pece kepada wartawan seusai pementasan belum lama ini.
Di sisi lain, lewat tarian tersebut dirinya yang berkolaborasi bersama pemerintah daerah (pemda) setempat juga ingin memberikan rasa optimis khususnya kepada enam pemuda- pemuda asal Jailolo, yang sebelumnya tidak pernah punya mimpi dan keluar dari Jailolo.
Mereka yang berlatar belakang petani dan nelayan, diberikan kesempatan untuk berlatih menari serta mementaskan Cry Jailolo ke seluruh pelosok Indonesia maupun dunia. Begitu pula dengan satu penari lainnya asal Bandung, Geri Krisdianto yang juga memiliki talenta dalam hal menari.
Setidaknya butuh waktu dua tahun dalam riset dan proses kreatif yang diperlukan untuk melahirkan karya tarian kontemporer tersebut. Yogyakarta menjadi kota keempat setelah Jakarta dan Solo.
Tidak ada penambahan maupun pengurangan gerakan di dalamnya, namun Eko yang saat ini menempuh pendidikan strata tiga (S-3) Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, memastikan bahwa penari kian matang dalam membawakan setiap gerakan Cry Jailolo.
Dalam waktu dekat, tepatnya pada Februari 2015 mendatang, Eko bersama tujuh penari akan membawa tarian dan mengenalkan kebudayaan Indonesia Timur itu ke pelosok dunia. Seperti Jepang, Australia, dan Eropa. Dia berharap, dunia tahu tentang kekayaan seni budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu penari Cry Jailolo, Greatsia Yobel Yunga, mengaku cukup sulit untuk melakukan gerakan tarian tersebut.
Apalagi dirinya tidak memiliki latar belakang sebagai penari. Meski demikian, dia bangga bisa mendapatkan kesempatan itu. “(Paling sulit ketika) saya disuruh olah tubuh, gulingguling, sampai muntahmuntah,” kata dia.
Siti Estuningsih
Bagaimana tidak, hampir satu jam lamanya tujuh penari laki-laki yang terdiri dari Veyndi Dangsa, Greatsia Yobel Yunga, Fernandito Wangelaha, Gerry Gerardo Bella, Noveldi Bontenan, Budiawan Saputra Riring, dan Geri Krisdianto tersebut, tidak henti-hentinya menghentakkan kedua kaki maupun kedua tangannya dan bergerak secara atraktif selama pertunjukan berlangsung.
Sebagai poros utama, gerakan pada kaki tersebut tidak lepas dari aktualisasi repertoar tarian tradisional asal Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Yakni tarian Legu Salaidari suku Sahu maupun tarian Soya-Soya dari suku Ternate. Tarian itu kemudian disubstansikan pada gerakan schooling fish yang kebanyakan hidup serta berenang secara bergerombol dan kemudian menjelma menjadi sebuah tarian kontemporer yang diberi nama dengan Cry Jailolo.
Berbeda dengan tarian kebanyakan, dalam tarian Cry Jailolo ini penari benar-benar nampak hidup dan seolah-olah seperti ikan yang nyata dan hidup di lautan. Dengan gerakannya ke sana kemari, penonton seolah diperlihatkan pada gerakan-gerakan schooling fish yang sebenarnya.
Bergerombol, pecah, lalu bergerombol kembali. Meskipun minim pencahayaan, namun dalam keheningan dan suara musik yang digarap oleh Setyawan Jayantoro dan Arco Renz tersebut, kita seolah berada di tengah lautan dan melihat ikan-ikan tersebut menari.
”Tarian ini menjadi ekspresi akan harapan dan optimisme terhadap kehancuran (terumbu) karang di sana supaya bisa dihentikan. Sehingga ikan-ikan akan kembali dan hidup di karangkarang itu. Dulunya hancur dan tidak kelihatan, namun sudah mulai terbenahi oleh bapak bupati sekarang (Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba),” ujar Eko Pece kepada wartawan seusai pementasan belum lama ini.
Di sisi lain, lewat tarian tersebut dirinya yang berkolaborasi bersama pemerintah daerah (pemda) setempat juga ingin memberikan rasa optimis khususnya kepada enam pemuda- pemuda asal Jailolo, yang sebelumnya tidak pernah punya mimpi dan keluar dari Jailolo.
Mereka yang berlatar belakang petani dan nelayan, diberikan kesempatan untuk berlatih menari serta mementaskan Cry Jailolo ke seluruh pelosok Indonesia maupun dunia. Begitu pula dengan satu penari lainnya asal Bandung, Geri Krisdianto yang juga memiliki talenta dalam hal menari.
Setidaknya butuh waktu dua tahun dalam riset dan proses kreatif yang diperlukan untuk melahirkan karya tarian kontemporer tersebut. Yogyakarta menjadi kota keempat setelah Jakarta dan Solo.
Tidak ada penambahan maupun pengurangan gerakan di dalamnya, namun Eko yang saat ini menempuh pendidikan strata tiga (S-3) Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, memastikan bahwa penari kian matang dalam membawakan setiap gerakan Cry Jailolo.
Dalam waktu dekat, tepatnya pada Februari 2015 mendatang, Eko bersama tujuh penari akan membawa tarian dan mengenalkan kebudayaan Indonesia Timur itu ke pelosok dunia. Seperti Jepang, Australia, dan Eropa. Dia berharap, dunia tahu tentang kekayaan seni budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu penari Cry Jailolo, Greatsia Yobel Yunga, mengaku cukup sulit untuk melakukan gerakan tarian tersebut.
Apalagi dirinya tidak memiliki latar belakang sebagai penari. Meski demikian, dia bangga bisa mendapatkan kesempatan itu. “(Paling sulit ketika) saya disuruh olah tubuh, gulingguling, sampai muntahmuntah,” kata dia.
Siti Estuningsih
(ftr)