Berani Jujur, Lawan Korupsi
A
A
A
KORUPSI menjadi persoalan bangsa yang tidak ada habisnya. Tidak hanya elite pejabat saja yang berurusan dengan tindak pidana ini, kalangan bawah pun banyak tercebur di lingkaran korupsi karena ingin mendapatkan keuntungan lebih.
Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada 9 Desember diharapkan menjadi refleksi untuk menjauhi sifatsifat buruk korupsi yang merugikan bangsa dan negara. Sayangnya, peringatan Hari Antikorupsi di Indonesia lebih terkesan kepada ritual tahunan yang seakan-akan wajib untuk diperingati.
Seperti diketahui, penetapan tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dikarenakan pada tersebut negara- negara di dunia telah menyepakati lahirnya sebuah lembaga di bawah PBB bernama United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Antikorupsi. Lahirnya konvensi ini dipandang PBB sebagai sebuah pernyataan dan tekad internasional untuk memerangi dan memberantas korupsi.
PBB akhirnya menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Indonesia sebagai negara terkorup ke-56 di dunia dinilai menjadi bukti mental koruptif di masyarakat sudah berada pada titik yang mengkhawatirkan. Kondisi itu terlihat tidak hanya dari banyaknya kasus korupsi yang ditangani institusi hukum, tetapi juga di sekolah-sekolah seperti di Kota Medan.
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan menilai kondisi korupsi Indonesia tetap berada pada tingkat mengkhawatirkan, terutama di tingkat birokrasi. Perubahan justru terjadi pada pelaku korupsi itu.
“Yang berubah hanya pada orang yang ditangkap. Itu yang paling meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, tidak ada perubahan signifikan dari potensi korupsi di Indonesia terutama di birokrasi pemerintahan,” katanya. Ironisnya, penangkapan-penangkapan yang dilakukan institusi hukum terhadap pelaku korupsi belum memberikan efek jera. Hal itu terbukti pada tingkat birokrasi, baik di daerah maupun pusat, potensi untuk korup masih tetap besar.
“Orang belum jera sekalipun banyak contoh yang sudah dihukum. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya moralitas dan mentalitas pejabat publik serta rusaknya kultur birokrasi akhirnya merusak sendi-sendi perekonomian suatu bangsa,” kata Dadang. Faktor yang melatarbelakangi dan menjadi pendorong korupsi tersebut dipengaruhi beberapa faktor.
Di antaranya faktor hukum, ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas, dan situasi lingkungan dan aktor yang mendorong munculnya korupsi. Kendati daya rusak korupsi biasanya memang tidak akan terasa langsung, menurutnya lebih mengerikan dibanding terorisme.
“Bukan hanya itu, korupsi membawa efek domino kerusakan yang luar biasa. Korupsi tidaksaja mengakibatkanrusaknya perekonomian masyarakat dan negara, juga dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem, dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara,” paparnya.
Mengenai langkah solutif terhadap kejahatan korupsi, selain mempertegas perangkat hukum, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan reformasi mental birokrat, terutama di lembaga-lembaga penegak hukum,” ujarnya.
Kantin Kejujuran
Kehadiran Kantin Kejujuran sejak 2009 diharapkan bisa mengarahkan mental pelajar untuk bertindak jujur menjadi satu peringatan lain. Ternyata tindakan korupsi juga terjadi di kalangan pelajar. Ketua Karang Taruna Kota Medan Zultaufik Nasution mengungkapkan, kantin kejujuran merupakan kerja sama Karang Taruna dan Kejaksaan Agung yang saat itu masih diketuai dijabat Hendarman Supandji yang bertujuan membangun rasa kejujuran antara siswa.
Kantin tersebut menerapkan sistem belanja ambil sendiri, bayar sendiri, dan ambil kembalian sendiri. Sayangnya, program itu kurang berjalan. “Kenyataannya tidak berjalan semua. Banyak yang berhenti. Memang awalnya dirasakan timbulnya niat jujur siswa saat itu. Tapi selanjutnya banyak yang tutup,” ucapnya. Dari 58 kantin kejujuran yang sebelumnya ada di Kota Medan, banyak yang tutup kendati dia tidak menampik tutupnya kantin tersebut juga terjadi karena berbagai faktor lain.
“Karang Taruna dan Kejari Medan selanjutnya menyerahkan pengelolaan kantin tersebut kepada sekolah masing-masing. Di Medan banyak yang enggak berjalan. Ada karena pengelola kantin bertukar, ada yang tutup karena kehabisan modal. Tapi memang yang pasti, untuk membangun kejujuran itu tidak gampang, diperlukan peran sekolah untuk membangun kesadaran siswa,” kata Zultaufik.
Kendati demikian, dia tetap berharap sekolah-sekolah yang tidak lagi menerapkan kantin kejujuran kembali melakukannya. “Kalau ini baik, apa salahnya ini dilanjutkan. Menerapkan berani jujur itu sehat kan baik di tengah banyaknya kasus- kasus korupsi di negara ini, karena kehadiran kantin ini menanamkan kejujuran di masyarakat,” paparnya.
Pelaksanaan kantin kejujuran ini dilakukan karena perintah saja, tapi ketika tidak ada lagi perintah untuk meneruskannya, akhirnya tidak diberlakukan lagi. Seberapa pun parahnya mental korupsi di masyarakat, hal tersebut masih bisa diperbaiki. Caranya dengan pendidikan mental sejak dini kepada anak-anak, terutama di lingkungan keluarga, masyarakat, dan di lingkungan sekolah.
Menurut pengamat pendidikan Sumatera Utara (Sumut) Prof Abdul Munir, masyarakat perlu menyadari luasnya makna korupsi. “Di sekolah, meninggalkan jam pelajaran atau menguranginya merupakan bagian dari korupsi, bukan masalah duit saja. Di masyarakat, pekerjaan yang ditunda-tunda atau dikurangi itu juga korupsi. Untuk memperbaikinya, semua kembali kepada kesadaran manusianya, bagaimana manusia itu bisa memupuk kesadaran,” tandasnya kepada KORAN SINDO MEDAN belum lama ini.
Kesadaran yang urgensinya pada gaya hidup atau style of life sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan. Orang tua atau keluarga yang secara sadar atau tidak sudah mengajari anak dengan pola korupsi, ke depan akan melakukan hal yang sama. Begitu juga dengan lingkungan, jika sudah memupuk hal tersebut, seperti inkonsitensi dalam melakukan hal tertentu, mengurangi apa yang menjadi tanggung jawabnya.
“Kemampuan dengan kebutuhan harus seimbang. Jangan dipaksakan kebutuhan itu untuk tercapai sementara kemampuan terbatas karena dampaknya akan tidak sehat,” kata Abdul Munir. Di dunia pendidikan, guru memiliki peran yang penting membentuk karakter pelajar. Salah satunya contohnya, masuk kelas tepat waktu dan keluar tepat waktu. Menurut Munir, hal itu merupakan satu pembelajaran bagi anak untuk mencontohkan dan berprilaku positif seperti itu.
“Tindakan negatif guru misalnya, menjual buku yang melebihi dari harga semula juga bisa dimaknai korupsi. Anak sebagai pihak yang akan belajar dari situasi yang dihadapinya tatkala guru berhadapan dengan mereka seharusnya bisa dimanfaatkan oleh guru. Seperti dengan memberikan pembelajaran yang tidak mengurang- ngurangi dari sisi waktu, karena akan memberi kontribusi terhadap sikap anak untuk menghargai sesuatu,” tandas Abdul Munir.
Seorang guru perlu memahami empat hal penting membangun karakter siswanya dalam pembelajaran, yakni mengolah pikir, olah hati, olah rasa, dan olahraga. Empat hal tersebut perlu dijadikan dasar bagi guru dalam mendidik dan mengajar. “Melatih pikiran akan melatih anak bisa rasional. Mengolah hati, membuat anak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Olah rasa, membuat anak menghargai orang lain. Olahraga, bagaimana pelajar bisa menyeimbangkan kondisi psikis dan fisiknya,” ungkapnya.
Menanamkan kejujuran kepada pelajar tidak perlu satu materi khusus dalam kurikulum. Tetapi guru harus implementatif pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. “Sikap itu tidak harus dipelajari, tapi dialami oleh anak berdasarkan pengalaman hidup dia, apa lagi lingkungan itu lingkungan pendidikan. Guru harus menanamkan pola pikir, jujur itu sehat,” ujarnya.
Kajian untuk mencapai kejujuran itu tidak hanya bisa ditangani oleh sekolah semata. Kejujuran itu harus terimplementatif di dalam keluarga. Kendati di sekolah diajarkan soal kejujuran, tapi kalau di keluarga tidak menampilkan kejujuran seperti itu, jelas tidak ada manfaatnya.
“Keseimbangan antara kejujuran yang terjadi di keluarga, masyarakat, dan sekolah itu sangat penting, dan tidak bisa hanya dari sebelah pihak. Paling utama dan penting itu pendidikan keluarga, dan sekolah hanya membantu,” tandas Abdul Munir. Kehadiran kantin kejujuran tapi tidak dibenahi dalam keluarga, sampai kapan pun tidak membuat anak bersikap jujur.
Dalam hal kejujuran ini, perlu pemberdayaan wanita. “Pelajaran kejujuran harus diberikan oleh seorang ibu karena ibu memberi watak kepada anak. Intinya, ibu memberi corak kepada anak untuk menjadi apa kelak,” pungkasnya.
Syukri amal
Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada 9 Desember diharapkan menjadi refleksi untuk menjauhi sifatsifat buruk korupsi yang merugikan bangsa dan negara. Sayangnya, peringatan Hari Antikorupsi di Indonesia lebih terkesan kepada ritual tahunan yang seakan-akan wajib untuk diperingati.
Seperti diketahui, penetapan tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dikarenakan pada tersebut negara- negara di dunia telah menyepakati lahirnya sebuah lembaga di bawah PBB bernama United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Antikorupsi. Lahirnya konvensi ini dipandang PBB sebagai sebuah pernyataan dan tekad internasional untuk memerangi dan memberantas korupsi.
PBB akhirnya menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Indonesia sebagai negara terkorup ke-56 di dunia dinilai menjadi bukti mental koruptif di masyarakat sudah berada pada titik yang mengkhawatirkan. Kondisi itu terlihat tidak hanya dari banyaknya kasus korupsi yang ditangani institusi hukum, tetapi juga di sekolah-sekolah seperti di Kota Medan.
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan menilai kondisi korupsi Indonesia tetap berada pada tingkat mengkhawatirkan, terutama di tingkat birokrasi. Perubahan justru terjadi pada pelaku korupsi itu.
“Yang berubah hanya pada orang yang ditangkap. Itu yang paling meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, tidak ada perubahan signifikan dari potensi korupsi di Indonesia terutama di birokrasi pemerintahan,” katanya. Ironisnya, penangkapan-penangkapan yang dilakukan institusi hukum terhadap pelaku korupsi belum memberikan efek jera. Hal itu terbukti pada tingkat birokrasi, baik di daerah maupun pusat, potensi untuk korup masih tetap besar.
“Orang belum jera sekalipun banyak contoh yang sudah dihukum. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya moralitas dan mentalitas pejabat publik serta rusaknya kultur birokrasi akhirnya merusak sendi-sendi perekonomian suatu bangsa,” kata Dadang. Faktor yang melatarbelakangi dan menjadi pendorong korupsi tersebut dipengaruhi beberapa faktor.
Di antaranya faktor hukum, ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas, dan situasi lingkungan dan aktor yang mendorong munculnya korupsi. Kendati daya rusak korupsi biasanya memang tidak akan terasa langsung, menurutnya lebih mengerikan dibanding terorisme.
“Bukan hanya itu, korupsi membawa efek domino kerusakan yang luar biasa. Korupsi tidaksaja mengakibatkanrusaknya perekonomian masyarakat dan negara, juga dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem, dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara,” paparnya.
Mengenai langkah solutif terhadap kejahatan korupsi, selain mempertegas perangkat hukum, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan reformasi mental birokrat, terutama di lembaga-lembaga penegak hukum,” ujarnya.
Kantin Kejujuran
Kehadiran Kantin Kejujuran sejak 2009 diharapkan bisa mengarahkan mental pelajar untuk bertindak jujur menjadi satu peringatan lain. Ternyata tindakan korupsi juga terjadi di kalangan pelajar. Ketua Karang Taruna Kota Medan Zultaufik Nasution mengungkapkan, kantin kejujuran merupakan kerja sama Karang Taruna dan Kejaksaan Agung yang saat itu masih diketuai dijabat Hendarman Supandji yang bertujuan membangun rasa kejujuran antara siswa.
Kantin tersebut menerapkan sistem belanja ambil sendiri, bayar sendiri, dan ambil kembalian sendiri. Sayangnya, program itu kurang berjalan. “Kenyataannya tidak berjalan semua. Banyak yang berhenti. Memang awalnya dirasakan timbulnya niat jujur siswa saat itu. Tapi selanjutnya banyak yang tutup,” ucapnya. Dari 58 kantin kejujuran yang sebelumnya ada di Kota Medan, banyak yang tutup kendati dia tidak menampik tutupnya kantin tersebut juga terjadi karena berbagai faktor lain.
“Karang Taruna dan Kejari Medan selanjutnya menyerahkan pengelolaan kantin tersebut kepada sekolah masing-masing. Di Medan banyak yang enggak berjalan. Ada karena pengelola kantin bertukar, ada yang tutup karena kehabisan modal. Tapi memang yang pasti, untuk membangun kejujuran itu tidak gampang, diperlukan peran sekolah untuk membangun kesadaran siswa,” kata Zultaufik.
Kendati demikian, dia tetap berharap sekolah-sekolah yang tidak lagi menerapkan kantin kejujuran kembali melakukannya. “Kalau ini baik, apa salahnya ini dilanjutkan. Menerapkan berani jujur itu sehat kan baik di tengah banyaknya kasus- kasus korupsi di negara ini, karena kehadiran kantin ini menanamkan kejujuran di masyarakat,” paparnya.
Pelaksanaan kantin kejujuran ini dilakukan karena perintah saja, tapi ketika tidak ada lagi perintah untuk meneruskannya, akhirnya tidak diberlakukan lagi. Seberapa pun parahnya mental korupsi di masyarakat, hal tersebut masih bisa diperbaiki. Caranya dengan pendidikan mental sejak dini kepada anak-anak, terutama di lingkungan keluarga, masyarakat, dan di lingkungan sekolah.
Menurut pengamat pendidikan Sumatera Utara (Sumut) Prof Abdul Munir, masyarakat perlu menyadari luasnya makna korupsi. “Di sekolah, meninggalkan jam pelajaran atau menguranginya merupakan bagian dari korupsi, bukan masalah duit saja. Di masyarakat, pekerjaan yang ditunda-tunda atau dikurangi itu juga korupsi. Untuk memperbaikinya, semua kembali kepada kesadaran manusianya, bagaimana manusia itu bisa memupuk kesadaran,” tandasnya kepada KORAN SINDO MEDAN belum lama ini.
Kesadaran yang urgensinya pada gaya hidup atau style of life sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan. Orang tua atau keluarga yang secara sadar atau tidak sudah mengajari anak dengan pola korupsi, ke depan akan melakukan hal yang sama. Begitu juga dengan lingkungan, jika sudah memupuk hal tersebut, seperti inkonsitensi dalam melakukan hal tertentu, mengurangi apa yang menjadi tanggung jawabnya.
“Kemampuan dengan kebutuhan harus seimbang. Jangan dipaksakan kebutuhan itu untuk tercapai sementara kemampuan terbatas karena dampaknya akan tidak sehat,” kata Abdul Munir. Di dunia pendidikan, guru memiliki peran yang penting membentuk karakter pelajar. Salah satunya contohnya, masuk kelas tepat waktu dan keluar tepat waktu. Menurut Munir, hal itu merupakan satu pembelajaran bagi anak untuk mencontohkan dan berprilaku positif seperti itu.
“Tindakan negatif guru misalnya, menjual buku yang melebihi dari harga semula juga bisa dimaknai korupsi. Anak sebagai pihak yang akan belajar dari situasi yang dihadapinya tatkala guru berhadapan dengan mereka seharusnya bisa dimanfaatkan oleh guru. Seperti dengan memberikan pembelajaran yang tidak mengurang- ngurangi dari sisi waktu, karena akan memberi kontribusi terhadap sikap anak untuk menghargai sesuatu,” tandas Abdul Munir.
Seorang guru perlu memahami empat hal penting membangun karakter siswanya dalam pembelajaran, yakni mengolah pikir, olah hati, olah rasa, dan olahraga. Empat hal tersebut perlu dijadikan dasar bagi guru dalam mendidik dan mengajar. “Melatih pikiran akan melatih anak bisa rasional. Mengolah hati, membuat anak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Olah rasa, membuat anak menghargai orang lain. Olahraga, bagaimana pelajar bisa menyeimbangkan kondisi psikis dan fisiknya,” ungkapnya.
Menanamkan kejujuran kepada pelajar tidak perlu satu materi khusus dalam kurikulum. Tetapi guru harus implementatif pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. “Sikap itu tidak harus dipelajari, tapi dialami oleh anak berdasarkan pengalaman hidup dia, apa lagi lingkungan itu lingkungan pendidikan. Guru harus menanamkan pola pikir, jujur itu sehat,” ujarnya.
Kajian untuk mencapai kejujuran itu tidak hanya bisa ditangani oleh sekolah semata. Kejujuran itu harus terimplementatif di dalam keluarga. Kendati di sekolah diajarkan soal kejujuran, tapi kalau di keluarga tidak menampilkan kejujuran seperti itu, jelas tidak ada manfaatnya.
“Keseimbangan antara kejujuran yang terjadi di keluarga, masyarakat, dan sekolah itu sangat penting, dan tidak bisa hanya dari sebelah pihak. Paling utama dan penting itu pendidikan keluarga, dan sekolah hanya membantu,” tandas Abdul Munir. Kehadiran kantin kejujuran tapi tidak dibenahi dalam keluarga, sampai kapan pun tidak membuat anak bersikap jujur.
Dalam hal kejujuran ini, perlu pemberdayaan wanita. “Pelajaran kejujuran harus diberikan oleh seorang ibu karena ibu memberi watak kepada anak. Intinya, ibu memberi corak kepada anak untuk menjadi apa kelak,” pungkasnya.
Syukri amal
(ars)