Rumah Tradisional Obat Rindu Kampung Halaman

Minggu, 07 Desember 2014 - 09:45 WIB
Rumah Tradisional Obat...
Rumah Tradisional Obat Rindu Kampung Halaman
A A A
Rumahku Istanaku. Peribahasa ini tepat menggambarkan fungsi sebuah hunian. Setiap keluarga akan berupaya keras mendirikan “istana” sesuai impiannya. Kini di tengah serbuan rumah minimalis dan modern, sebagian keluarga memilih konsep hunian tradisional Jawa.

Rumah gaya tradisional dianggap kuno oleh banyak orang. Namun, paradigma tersebut tidak berlaku bagi Mardiana Kusumastuti Setyaningrum dan Wahyu Sulistyawan.

Rumah limasan asli dari Kecamatan Eromoko, Wonogiri menjadi pilihan tempat tinggalnya. Rumah di Jalan Pakintelan RT 05/RW 05 Kecamatan Gunungpati terlihat berbeda sekaligus unik dibandingkan rumah-rumah di sekelilingnya. Siapa pun yang bertandang akan menikmati suasana pedesaan, mulai saat melangkahkan kaki di rumah yang disebut Joglo Rinjani ini.

Pekarangan luas tanpa pagar membuat pemandangan lapang sekaligus memudahkan berinteraksi dengan orang lain. Serambi nuansa kuno dengan perabotan kayu siap menjamu tamu yang berkunjung. “Teras ini sangat nyaman untuk menyeruput kopi atau teh saat malam hari bersama suami. Suasana ngobrol semakin asyik sambil menikmati pemandangan sekitar,” ujar sang pemilik rumah yang akrab disapa Diana ini.

Diana memang sengaja memboyong rumah tradisional Jawa asli dari tempat kelahirannya, Wonogiri. Memiliki rumah tradisional Jawa adalah impian sejak lama dan mulai diwujudkan perlahan saat menikah. Rumah seperti ini menyentil ingatannya tentang keceriaan masa kecil sekaligus pengobat rindu. “Suasananya adem, nyaman, dan tenang. Rumah orang tua di Wonogiri hampir mirip dengan rumah ini,” ucapnya.

Membangun rumah impian memang memerlukan proses yang tak singkat. Pencarian rumah sesuai selera dilakukan hingga pelosok-pelosok desa, sampai kemudian dia mendapat tawaran rumah limasan tersebut. Konon, rumah ini sudah melewati tujuh turunan dan terpaksa dijual karena seluruh anggota keluarga pemilik lama sudah merantau ke luar Pulau Jawa. Rumah ini bekas pejabat desa setempat dan memiliki ukuran di luarstandar. Luasrumah9x12meter dengan tinggi sekitar 4 meter.

Rumah limasan ini dibongkar untuk dipindahkan ke Semarang. Namun, proses pemindahan tak semudah yang dibayangkan. Pembongkaran rumah harus dilakukan oleh kerabat yang membangun rumah limasan tersebut. Waktu pembongkaran dan pemindahan rumah berdasarkan hitungan penanggalan Jawa.

“Membongkar dan memasang penuwun (bagian paling atas rumah) harus tepat tanggal dan waktu hasil perhitungan Jawa dari tanggal lahir saya dan suami. Bagian rumah lain bisa menyesuaikan,” ungkap ibunda dari Rinjani Najwarespati Sulistyaningrum itu. Saat pemasangan penuwun, diselenggarakan doa selamatan bersama. Rumah Limasan ini juga dilengkapi hiasan padi dan kelapa di bagian atap yang melambangkan kesejahteraan.

Denah rumah tetap dipertahankan dengan ruang tamu tanpa sekat dan dua kamar. Beberapa bagian memang sedikit dimodifikasi, seperti tembok untuk kamar tidur dan anyaman bambu sebagai pengganti langit-langit rumah. Bagian lantai digunakan ubin baru, tapi masih bernuansa kuno dengan corak dominasi cokelat. Bagian dapur dari rumah asli tidak diikutsertakan karena mengikuti petuah orang tua.

“Penghuni rumah ini keluarga muda, jadi dapur disarankan tidak diambil karena dikhawatirkan terlalu berat menanggung beban. Kami lebih baik menuruti nasihat orang tua,” ujarnya. Perabotan pendukung rumah tradisional Jawa semakin mempercantik rumah. Furnitur ini hasil hunting sejak lama berupa kursi goyang kayu, kursi untuk ruang tamu, lesung, lemari hias, dan lainnya.

“Masih banyak keinginan, namun perlahan-lahan karena berburu rumah dan perabotan kuno tidak mudah,” katanya. Proses pembangunan sedikit berbeda untuk rumah milik pasangan suami-istri Yantati Yufaida dan Arif Setiawan. Terletak di Tembalang Pesona Asri Blok S No 7 Semarang, hunian pasangan ini juga mengusung rumah tradisional Jawa. Kompleks perumahan dengan keterbatasan lahan membuat mereka jeli memanfaatkan ruang.

Keluarga ini mulai tinggal di perumahan tersebut sejak 2006 dengan konsep rumah mengikuti pengembang. Namun, 2008 lalu bangunan diratakan tanah dan dibangun ulang sesuai keinginan. Sebelum mulai membangun, sudah mulai mengumpulkan kebutuhan rumah sesuai konsep tradisional Jawa. Misalnya, gebyok, jendela, batu bata. Tak jarang benda-benda tersebut dititipkan dahulu ke penjual karena lahan sempit di perkotaan.

Desain rumah murni keinginan sendiri yang dikombinasikan dengan referensi dari internet dan buku-buku tentang griya. Rumah didominasi bata ekspos dipadukan dengan kayu. “Rumah tradisional Jawa terkesan klasik, alami, dan berbeda. Kami sudah lama ingin memiliki rumah seperti ini,” ujar ibu tiga anak ini.

Proses pembangunan rumah bata ekspos membutuhkan batu bata pilihan. Ida, sapaan akrabnya, rela jalan-jalan ke Temanggung untuk mencari batu bata merah sesuai selera. Untuk membangun dibutuhkan tukang pilihan karena tidak bisa asal dalam menempelkan bata. Tumpukan bata tampak semakin cantik ketika “dikawinkan” gebyok tua dari Jepara. Dia memang sengaja mencari kayu dari bongkaran rumah tua dibandingkan perabotan kayu baru.

Gebyok dari kayu jati tua berukuran tebal berfungsi sebagai pintu untuk menyambut tamu. Proses mendapatkan bendabenda tersebut membutuhkan kesabaran tinggi. Daerah pelosok dikunjungi dengan harapan mendapatkan barang sesuai keinginan. “Rumah sebagai tempat istirahat, sehingga saat dinikmati benarbenar membuat rileks,” papar Ida.

Hendrati hapsari
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0788 seconds (0.1#10.140)