Pedagang Menggunakan Pakaian Adat Yogyakarta
A
A
A
YOGYAKARTA - Suasana 31 pasar tradisional yang ada di Kota Yogyakarta mulai Kamis Pahing (4/12/2014) sedikit berubah. Para pedagang mennggunakan pakaian adat sesuai imbauan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti.
Meski harus bergelut dengan berbagai barang dagangan seperti sayur mayur maupun dan barang kebutuhan rumah tangga lainnya, keberadaan surjan ataupun kebaya dengan kain jarik tidak mengurangi keluwesan dalam melayani pembeli.
Justru suasana yang terbangun seperti di Pasar Talok, Baciro, menjadi meriah karena ada hiburan orgen tunggal yang disiapkan untuk menghibur hari pertama pengenakan pakaian adat oleh pedagang.
”Semua pedagang nyaman-nyaman saja memakai kebaya atau surjan. Sejak berangkat dari rumah sudah dipakai,” kata Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Talok, Sri Sudiyanti.
Dengan menggunakan pakaian adat, nuansa tradisional semakin terasa di pasar yang pengelolaannya di bawah kendali Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota Yogyakarta tersebut.
Semangat untuk ikut nguri-uri kabudayan seperti yang diatur dalam Keputusan Wali Kota Yogyakarta Nomor 173/2014 menguat setelah agenda pertama penggunaan pakaian adat di pasar tersebut.
Sejumlah paguyuban pedagang berwacana untuk melakukan penyeragaman pakaian yang akan dikenakan setiap 35 hari sekali tersebut.
”Hari ini, di setiap pasar hampir 90% pedagang mempergunakannya. Tidak ada yang mengeluh. Bahkan sudah muncul wacana di masing-masing pasar akan membuat seragam untuk memperlihatkan kekompakan,” tandas Kepala Dinlopas Kota Yogyakarta Maryustion Tonang di sela-sela mengunjungi sejumlah pasar tradisional.
Meski harus mengeluarkan dana tambahan secara swadaya untuk pembelian pakaian seperti surjan dan kebaya dan berencana membuat seragam, para pedagang sangat mendukung kebijakan penggunaan pakaian adat.
Hal tersebut diklaim semakin menunjukan keistimewaan Yogyakarta dalam menjaga kelestarian kebudayaan.
Maryustion mengakui, mendorong pedagang untuk menggunakan pakaian adat memang tidak mudah. Ini karena perubahan perilaku dan gaya hidup.
Namun, setelah dilakukan uji coba pertama, semangat untuk ikut melestarikan budaya berupa pakaian adat justru semakin menguat di kalangan pedagang pasar tradisional.
”Syukur-syukur ini menjadi ikon, sehingga wisata belanja ke pasar tradisional semakin berkembang dengan baik. Yang akan merasakan dampaknya tentu adalah pedagang yang tidak lain adalah warga kita sendiri,” tambah Maryustion.
Jika semangat untuk ikut memiliki pasar yang dijadikan tempat berdagang semakin menguat, Maryustion berharap akan terbangun pemikiran manajemen usaha modern pada setiap pedagang pasar tradisional.
Sehingga ke depan kegiatan seperti gebyar promo pasar bisa semakin dikelola secara mandiri oleh para pedagang.
Jika pengelolaan usaha yang dilakukan pedagang semakin maju dan mandiri, maka intervensi pemerintah bisa dialihkan ke kebutuhan yang lain.
“Kalau pedagang sudah bisa mandiri berpromosi, maka alokasi anggaran bisa dialihkan ke kebutuhan lain seperti pembenahan fasilitas umum yang ada,” pungkas Maryustion.
Meski harus bergelut dengan berbagai barang dagangan seperti sayur mayur maupun dan barang kebutuhan rumah tangga lainnya, keberadaan surjan ataupun kebaya dengan kain jarik tidak mengurangi keluwesan dalam melayani pembeli.
Justru suasana yang terbangun seperti di Pasar Talok, Baciro, menjadi meriah karena ada hiburan orgen tunggal yang disiapkan untuk menghibur hari pertama pengenakan pakaian adat oleh pedagang.
”Semua pedagang nyaman-nyaman saja memakai kebaya atau surjan. Sejak berangkat dari rumah sudah dipakai,” kata Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Talok, Sri Sudiyanti.
Dengan menggunakan pakaian adat, nuansa tradisional semakin terasa di pasar yang pengelolaannya di bawah kendali Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota Yogyakarta tersebut.
Semangat untuk ikut nguri-uri kabudayan seperti yang diatur dalam Keputusan Wali Kota Yogyakarta Nomor 173/2014 menguat setelah agenda pertama penggunaan pakaian adat di pasar tersebut.
Sejumlah paguyuban pedagang berwacana untuk melakukan penyeragaman pakaian yang akan dikenakan setiap 35 hari sekali tersebut.
”Hari ini, di setiap pasar hampir 90% pedagang mempergunakannya. Tidak ada yang mengeluh. Bahkan sudah muncul wacana di masing-masing pasar akan membuat seragam untuk memperlihatkan kekompakan,” tandas Kepala Dinlopas Kota Yogyakarta Maryustion Tonang di sela-sela mengunjungi sejumlah pasar tradisional.
Meski harus mengeluarkan dana tambahan secara swadaya untuk pembelian pakaian seperti surjan dan kebaya dan berencana membuat seragam, para pedagang sangat mendukung kebijakan penggunaan pakaian adat.
Hal tersebut diklaim semakin menunjukan keistimewaan Yogyakarta dalam menjaga kelestarian kebudayaan.
Maryustion mengakui, mendorong pedagang untuk menggunakan pakaian adat memang tidak mudah. Ini karena perubahan perilaku dan gaya hidup.
Namun, setelah dilakukan uji coba pertama, semangat untuk ikut melestarikan budaya berupa pakaian adat justru semakin menguat di kalangan pedagang pasar tradisional.
”Syukur-syukur ini menjadi ikon, sehingga wisata belanja ke pasar tradisional semakin berkembang dengan baik. Yang akan merasakan dampaknya tentu adalah pedagang yang tidak lain adalah warga kita sendiri,” tambah Maryustion.
Jika semangat untuk ikut memiliki pasar yang dijadikan tempat berdagang semakin menguat, Maryustion berharap akan terbangun pemikiran manajemen usaha modern pada setiap pedagang pasar tradisional.
Sehingga ke depan kegiatan seperti gebyar promo pasar bisa semakin dikelola secara mandiri oleh para pedagang.
Jika pengelolaan usaha yang dilakukan pedagang semakin maju dan mandiri, maka intervensi pemerintah bisa dialihkan ke kebutuhan yang lain.
“Kalau pedagang sudah bisa mandiri berpromosi, maka alokasi anggaran bisa dialihkan ke kebutuhan lain seperti pembenahan fasilitas umum yang ada,” pungkas Maryustion.
(lis)