Terbuat dari Kain Etnik Nusantara, Diproduksi Terbatas
A
A
A
SEMARANG - Mengembangkan hobi menjadi sebuah usaha. Itulah yang dilakukan Paloma Paramita. Dia awalnya suka membeli sepatu kemudian membongkar dan mempelajari polanya.
Dari pekerjaan “merusak” sepatu itu, dia belajar mengembangkan model sepatu sesuai seleranya. Tak sekadar belajar, perempuan yang dipanggil Lulu ini juga mencoba membuat sepatu sesuai dengan pola yang diinginkan. Lalu, sepatu “uji cobanya” itu dikenalkan dengan para kolega. “Alhamdulillah, sekali coba mendapatkan respons positif,” ucapnya.
Mulailah Paloma menjalani hobinya menjadi sebuah usaha. Orderan membuat sepatu satu demi satu mengalir. Untuk mempromosikan produk dengan kompetitor sedemikian ketat merupakan tantangan tersendiri. Apalagi tidak ada jalan pintas untuk mendorong produknya cepat menjadi terkenal. Berbagai upaya mengenalkan produk ditempuh, salah satunya melalui media online .
Usaha merintis jalan memasarkan produk sepatu ini ditekuni hingga delapan tahun. Sampai akhirnya menemukan seorang pelanggan asal Juwana, Kabupaten Pati yang “fanatik” dengan model sepatunya. Konsumen itu kemudian diajak bekerja sama. “Saya ajak dia untuk bersama-sama membesarkan usaha ini,” katanya.
Bagai gayung bersambut, konsumen asal Juwana yang bernama Fitri itu langsung bersedia. Fitri sekarang menjadi ujung tombak pemasaran produk sepatunya yang kemudian diberi merek Prajna. Fitri memasarkan sepatu Prajna tak ada jalan pintas. Semua harus melalui proses yang harus tekun dalam menjalaninya. “Sesuai arahan Mbak Paloma, saya kenalkan Prajna dari satu kantor ke kantor lain. Langsung ketemu dengan calon konsumen,” ujarnya.
Dengan cara pemasaran seperti itu, konsumen mengetahui persis kualitas sepatu Prajna. Bagi Paloma, waktu delapan tahun merintis usaha ibarat sebuah pendadaran usaha. Menguji sampai di mana kekuatan mental keyakinan dirinya bahwa sepatu karyanya bisa diterima konsumen dan bertumbuh menjadi besar. Keyakinannya pun terbukti, pengakuan pasar atas produknya mulai dirasakan satu tahun belakangan ini.
Paloma yang sebelum menekuni usaha sepatu trainer pada perusahaan asuransi pun berani melakukan show of force ke pangsa pasar sepatu dengan label Prajna. Dia berani mengikuti pameran usaha kecil menengah (UKM) setiap ada kesempatan, baik tingkat Kota Semarang maupun tingkat nasional. Dinas Koperasi dan UKM Kota Semarang sering kali memfasilitasinya untuk mengikuti pameran.
Produk sepatu Prajna semakin dikembangkan modelnya, tapi dominan modelmodel etnik dikombinasi warna kulit yang sesuai dengan tema etniknya. Bahan-bahan sepatu Prajna juga terbuat dari berbagai kain etnik Nusantara. Misalnya, sepatu Prajna dengan model wedges dan open toe heel , bahannya kombinasi kulit dan kain tenun troso, lurik, baron, dan tenun raung.
Bahkan, sebagian kombinasi dengan batik model klasik Sekar Jagad dan batik Semarangan. Ada pula yang menggunakan bahan dari kain rajutan dan kain songket. Khusus songket, bila hanya ada permintaan khusus dari konsumen. Semua produk sepatu Prajna dibuat dalam edisi limited atau terbatas.
Karena terbatas, konsumen yang terlambat bisa saja akan kehilangan kesempatan memiliki sepatu etnik Prajna. “Kalau konsumen bersedia menunggu agak sabaran, sekitar tujuh hingga 10 hari, mungkin tetap bisa dibuatkan sepatu motif etnik yang dikehendaki. Karena bahannya kita harus pesan dulu,” paparnya.
Pilihannya mengangkat tema etnik, Paloma menceritakan kebanyakan merek sepatu di pasaran semuanya bermotif polos. “Kita ambil etnik karena memang senang dengan motifnya yang kaya warna dan corak. Dan sepatu itu sangat kuat kalau hand made Indonesia,” kata Paloma.
Langkah mengembangkan usahanya semakin lebar, setelah Paloma bergabung menjadi anggota Ikatan Wanita Pengusaha (Iwapi) Kota Semarang. Jalinan mitra usahanya semakin terbuka luas. Bahkan telah mendapat tawaran untuk membuka gerai pada sebuah pameran di Bali. Kesempatan memasarkan produknya di pasaran nasional bahkan internasional pun terbuka.
Sentuhan etnik yang dipadukan dengan model sepatu konvensional, ternyata menjadikan sepatu Prajna terkesan menjadi lebih bernilai tinggi. Terlebih, sepatu ini memang membidik pasar wanita-wanita dinamis berusia produktif. Harganya pun cukup kompetitif, dipatok mulai harga Rp150.000 hingga Rp400.000. Sepatu produknya semakin eksis bersaing di pasaran, Paloma mengatakan karena bahan sepatunya relatif ringan sehingga tidak membuat capek pemakainya.
Sementara sebagian besar sepatu wanita dengan hak yang tinggi menjadikan pemakainya mudah letih. Karena itulah, usahanya saat ini mampu meraih Rp20 juta-Rp40 juta per bulan.
M Abduh
Dari pekerjaan “merusak” sepatu itu, dia belajar mengembangkan model sepatu sesuai seleranya. Tak sekadar belajar, perempuan yang dipanggil Lulu ini juga mencoba membuat sepatu sesuai dengan pola yang diinginkan. Lalu, sepatu “uji cobanya” itu dikenalkan dengan para kolega. “Alhamdulillah, sekali coba mendapatkan respons positif,” ucapnya.
Mulailah Paloma menjalani hobinya menjadi sebuah usaha. Orderan membuat sepatu satu demi satu mengalir. Untuk mempromosikan produk dengan kompetitor sedemikian ketat merupakan tantangan tersendiri. Apalagi tidak ada jalan pintas untuk mendorong produknya cepat menjadi terkenal. Berbagai upaya mengenalkan produk ditempuh, salah satunya melalui media online .
Usaha merintis jalan memasarkan produk sepatu ini ditekuni hingga delapan tahun. Sampai akhirnya menemukan seorang pelanggan asal Juwana, Kabupaten Pati yang “fanatik” dengan model sepatunya. Konsumen itu kemudian diajak bekerja sama. “Saya ajak dia untuk bersama-sama membesarkan usaha ini,” katanya.
Bagai gayung bersambut, konsumen asal Juwana yang bernama Fitri itu langsung bersedia. Fitri sekarang menjadi ujung tombak pemasaran produk sepatunya yang kemudian diberi merek Prajna. Fitri memasarkan sepatu Prajna tak ada jalan pintas. Semua harus melalui proses yang harus tekun dalam menjalaninya. “Sesuai arahan Mbak Paloma, saya kenalkan Prajna dari satu kantor ke kantor lain. Langsung ketemu dengan calon konsumen,” ujarnya.
Dengan cara pemasaran seperti itu, konsumen mengetahui persis kualitas sepatu Prajna. Bagi Paloma, waktu delapan tahun merintis usaha ibarat sebuah pendadaran usaha. Menguji sampai di mana kekuatan mental keyakinan dirinya bahwa sepatu karyanya bisa diterima konsumen dan bertumbuh menjadi besar. Keyakinannya pun terbukti, pengakuan pasar atas produknya mulai dirasakan satu tahun belakangan ini.
Paloma yang sebelum menekuni usaha sepatu trainer pada perusahaan asuransi pun berani melakukan show of force ke pangsa pasar sepatu dengan label Prajna. Dia berani mengikuti pameran usaha kecil menengah (UKM) setiap ada kesempatan, baik tingkat Kota Semarang maupun tingkat nasional. Dinas Koperasi dan UKM Kota Semarang sering kali memfasilitasinya untuk mengikuti pameran.
Produk sepatu Prajna semakin dikembangkan modelnya, tapi dominan modelmodel etnik dikombinasi warna kulit yang sesuai dengan tema etniknya. Bahan-bahan sepatu Prajna juga terbuat dari berbagai kain etnik Nusantara. Misalnya, sepatu Prajna dengan model wedges dan open toe heel , bahannya kombinasi kulit dan kain tenun troso, lurik, baron, dan tenun raung.
Bahkan, sebagian kombinasi dengan batik model klasik Sekar Jagad dan batik Semarangan. Ada pula yang menggunakan bahan dari kain rajutan dan kain songket. Khusus songket, bila hanya ada permintaan khusus dari konsumen. Semua produk sepatu Prajna dibuat dalam edisi limited atau terbatas.
Karena terbatas, konsumen yang terlambat bisa saja akan kehilangan kesempatan memiliki sepatu etnik Prajna. “Kalau konsumen bersedia menunggu agak sabaran, sekitar tujuh hingga 10 hari, mungkin tetap bisa dibuatkan sepatu motif etnik yang dikehendaki. Karena bahannya kita harus pesan dulu,” paparnya.
Pilihannya mengangkat tema etnik, Paloma menceritakan kebanyakan merek sepatu di pasaran semuanya bermotif polos. “Kita ambil etnik karena memang senang dengan motifnya yang kaya warna dan corak. Dan sepatu itu sangat kuat kalau hand made Indonesia,” kata Paloma.
Langkah mengembangkan usahanya semakin lebar, setelah Paloma bergabung menjadi anggota Ikatan Wanita Pengusaha (Iwapi) Kota Semarang. Jalinan mitra usahanya semakin terbuka luas. Bahkan telah mendapat tawaran untuk membuka gerai pada sebuah pameran di Bali. Kesempatan memasarkan produknya di pasaran nasional bahkan internasional pun terbuka.
Sentuhan etnik yang dipadukan dengan model sepatu konvensional, ternyata menjadikan sepatu Prajna terkesan menjadi lebih bernilai tinggi. Terlebih, sepatu ini memang membidik pasar wanita-wanita dinamis berusia produktif. Harganya pun cukup kompetitif, dipatok mulai harga Rp150.000 hingga Rp400.000. Sepatu produknya semakin eksis bersaing di pasaran, Paloma mengatakan karena bahan sepatunya relatif ringan sehingga tidak membuat capek pemakainya.
Sementara sebagian besar sepatu wanita dengan hak yang tinggi menjadikan pemakainya mudah letih. Karena itulah, usahanya saat ini mampu meraih Rp20 juta-Rp40 juta per bulan.
M Abduh
(ftr)