Menumpuk Utang, Tak Tahu Kapan Membayar
A
A
A
SLAWI - Nasib nelayan kecil di Kabupaten Tegal semakin terjepit pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Mahalnya harga solar dan anjloknya harga ikan memaksa ratusan nelayan menganggur dan berhutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di dermaga pantai Desa Suradadi, Kecamatan Suradadi, siang kemarin ratusan perahu nelayan tampak terparkir memenuhi dermaga. Hanya satu dua perahu yang terlihat berlayar untuk mencari ikan. Para nelayan lainnya hanya duduk-duduk di sebuah warung di dekat dermaga sembari mengobrol.
Ada juga nelayan yang memperbaiki bagian perahu yang rusak. Salah satu nelayan Cah yono, 50, mengaku sudah menganggur sejak Agustus karena jumlah ikan yang didapatkan semakin sedikit. “Sedang musim paila (paceklik). Ikan yang didapat sedikit, harganya juga rendah,” ucapnya.
Setelah kenaikan harga BBM bersubsidi, jumlah nelayan yang memilih tidak melaut semakin banyak. Dari sekitar 500 nelayan yang ada di Suradadi, hanya 20% yang masih berangkat melaut. “Zaman sekarang solar mahal mikir-mikir lagi kalau mau melaut. Daripada Rp50.000 dimakan mesin, mending dimakan keluarga,” kata Cahyono.
Bagi nelayan dengan perahu kecil (sopek), dibutuhkan solar sebanyak 20 liter untuk melaut dari pukul 06.00-14.00 WIB. Jika dikalikan harga solar sekarang Rp7.500, dibutuhkan Rp150.000 untuk pengeluaran solar saja. “Belum untuk kebutuhan lainnya seperti perbekalan,” ujar Cahyono.
Menurut Cahyono, jumlah pengeluaran itu tak sebanding dengan hasil melaut yang didapatkan. Sebab, sekali melaut dengan perahu kecil, nelayan maksimal hanya dapat Rp200.000. “Setelah dipotong beli solar dan lain-lain, paling dibawa pulang ke rumah Rp20.000- Rp25.000 Itu gak nutup kebutuhan sehari-hari. Akhirnya ya terpaksa mengutang,” ungkapnya.
Penghasilan kecil tersebut selain karena sedikitnya jumlah ikan yang didapat, juga karena harga ikan yang terus turun. Ikan teri kini hanya di har gai Rp5.000 per kilogram. Sebelum harga BBM naik, harganya masih Rp8.000. Begitu juga dengan ikan kembung yang hanya dihargai Rp15.000 per kilogram. “Seharusnya ka lau BBM naik, ya penghasilan nelayan ikut diperbaiki,” ujar nelayan lainnya, Sunardi, 52.
Kondisi yang dihadapi nelayan kecil seperti Sunardi sudah biasa dihadapi sehingga satusatunya jalan adalah pasrah. Kalaupun harus mengadu, nelayan tidak tahu harus mengadu kepada siapa. “Kondisi sekarang sudah biasa bagi rakyat kecil, jadi pasrah saja,” ucapnya.
Sunardi, Cahyono, dan nelayan lainnya belum tahu kapan akan kembali melaut agar tak harus terus berutang. Mereka juga tidak berani berharap muluk-muluk akan adanya perbaikan nasib nelayan kecil. Sebab, selama ini program-program yang digembar-gemborkan pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan nelayan tak pernah berbekas.
“Nelayan tak pernah merasakan karena setiap ada program, tak pernah sampai. Kalau ditanya harapan, ya harapannya yang di atas kenyang yang di bawah juga kenyang,” kata Sunardi.
Farid Firdaus
Mahalnya harga solar dan anjloknya harga ikan memaksa ratusan nelayan menganggur dan berhutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di dermaga pantai Desa Suradadi, Kecamatan Suradadi, siang kemarin ratusan perahu nelayan tampak terparkir memenuhi dermaga. Hanya satu dua perahu yang terlihat berlayar untuk mencari ikan. Para nelayan lainnya hanya duduk-duduk di sebuah warung di dekat dermaga sembari mengobrol.
Ada juga nelayan yang memperbaiki bagian perahu yang rusak. Salah satu nelayan Cah yono, 50, mengaku sudah menganggur sejak Agustus karena jumlah ikan yang didapatkan semakin sedikit. “Sedang musim paila (paceklik). Ikan yang didapat sedikit, harganya juga rendah,” ucapnya.
Setelah kenaikan harga BBM bersubsidi, jumlah nelayan yang memilih tidak melaut semakin banyak. Dari sekitar 500 nelayan yang ada di Suradadi, hanya 20% yang masih berangkat melaut. “Zaman sekarang solar mahal mikir-mikir lagi kalau mau melaut. Daripada Rp50.000 dimakan mesin, mending dimakan keluarga,” kata Cahyono.
Bagi nelayan dengan perahu kecil (sopek), dibutuhkan solar sebanyak 20 liter untuk melaut dari pukul 06.00-14.00 WIB. Jika dikalikan harga solar sekarang Rp7.500, dibutuhkan Rp150.000 untuk pengeluaran solar saja. “Belum untuk kebutuhan lainnya seperti perbekalan,” ujar Cahyono.
Menurut Cahyono, jumlah pengeluaran itu tak sebanding dengan hasil melaut yang didapatkan. Sebab, sekali melaut dengan perahu kecil, nelayan maksimal hanya dapat Rp200.000. “Setelah dipotong beli solar dan lain-lain, paling dibawa pulang ke rumah Rp20.000- Rp25.000 Itu gak nutup kebutuhan sehari-hari. Akhirnya ya terpaksa mengutang,” ungkapnya.
Penghasilan kecil tersebut selain karena sedikitnya jumlah ikan yang didapat, juga karena harga ikan yang terus turun. Ikan teri kini hanya di har gai Rp5.000 per kilogram. Sebelum harga BBM naik, harganya masih Rp8.000. Begitu juga dengan ikan kembung yang hanya dihargai Rp15.000 per kilogram. “Seharusnya ka lau BBM naik, ya penghasilan nelayan ikut diperbaiki,” ujar nelayan lainnya, Sunardi, 52.
Kondisi yang dihadapi nelayan kecil seperti Sunardi sudah biasa dihadapi sehingga satusatunya jalan adalah pasrah. Kalaupun harus mengadu, nelayan tidak tahu harus mengadu kepada siapa. “Kondisi sekarang sudah biasa bagi rakyat kecil, jadi pasrah saja,” ucapnya.
Sunardi, Cahyono, dan nelayan lainnya belum tahu kapan akan kembali melaut agar tak harus terus berutang. Mereka juga tidak berani berharap muluk-muluk akan adanya perbaikan nasib nelayan kecil. Sebab, selama ini program-program yang digembar-gemborkan pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan nelayan tak pernah berbekas.
“Nelayan tak pernah merasakan karena setiap ada program, tak pernah sampai. Kalau ditanya harapan, ya harapannya yang di atas kenyang yang di bawah juga kenyang,” kata Sunardi.
Farid Firdaus
(ftr)