Setelah Toko Kelontong, Kini Kuliner Korea
A
A
A
BANTUL - Menjadi seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di negara lain bukanlah cita-cita siapa pun. Karena itu, Supini, 40, menegaskan pada dirinya bahwa menjadi TKI hanyalah sementara. Warga Dusun Karanganyar, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul ini telah belasan tahun menjadi TKW di dua negara.
Selama dua tahun bekerja di Malaysia dan sembilan tahun lebih mengadu nasib menjadi buruh di Korea Selatan. Himpitan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat membuatnya harus tega meninggalkan anak semata wayangnya yang baru berumur dua tahun bersama suaminya, Widodo, 52. Dia bertekad, suatu saat nanti ingin kembali ke Tanah Air dan membuka usaha, sehingga bisa memberi lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Oleh karena itu, di negeri rantauan, Supini berusaha menimba ilmu semaksimal mungkin. Karena siapa tahu akan berguna di Tanah Air. “Pengalaman saya di sana (Malaysia, Korea Selatan) sangat banyak,” tuturnya. Pada 2011, dia kembali ke Tanah Air dan merintis usaha warung kelontong.
Perlahan usahanya berkembang dan bisa membangun rumah dua lantai di lokasi yang strategis, yakni berada di Perempatan Jembatan Merah, Jalan Samas KM 20. Lalu dia melirik bisnis kuliner. Meskipun sebenarnya tidak suka masak, tapi karena dorongan anaknya, maka Supini nekat membuka warung kecil-kecilan. Karena persaingan ketat di bisnis ini, dirinya mencoba menerapkan pengalaman yang didapatnya sewaktu merantau ke Korea Selatan.
“Saya mempelajari cara memasak ayam panggang barbeque (BBQ),” ujarnya. Supini menceritakan “ilmu” memasaknya didapat secara tidak sengaja. Saat itu dia tengah berakhir pekan di kota. Karena sudah larut malam, dia mampir ke warung makan ayam panggang. Di tempat tersebut Supini memerhatikan bagaimana cara mengolah ayam hingga bumbu-bumbu apa saja yang digunakan si empunya warung.
Dia merasa beruntung karena sudah lama tinggal di Korea, sehingga bisa bertanya langsung dengan bahasa setempat. Kebetulan si pemilik warung baik hati bersedia mengungkap apa saja bahan yang digunakan, dan bagaimana cara memasaknya. Dari bertanya itulah, akhirnya dia bisa mendapatkan ilmu memasak. “Dua bulan saya coba-coba memasak makanan tersebut dan sistemnya baru menerima pesanan,” katanya.
Setelah dua bulan cobacoba, tekadnya sudah bulat untuk mendirikan sebuah warung makan BBQ ayam kampung panggang. Bermodalkan menjual kardus bekas di warung kelontongnya, dia memberanikan diri mengoperasikan warung makan tersebut. Dengan menempati tanah kas desa yang kosong dia mendirikan warung seadanya.
Selain menyediakan menu BBQ ayam kampung panggang, menu lain ikut disediakan. Seperti gurami panggang atau juga pecel lele. Di warung tersebut ada beberapa makanan hasil olahan eks TKI yang dititipkan di tempatnya. “Kami tergabung dalam koperasi TKI Purna Manunggal Jaya memang berusaha untuk bisa mandiri,” katanya.
Setelah buka warung pertama kali ketika musibah hujan abu Gunung Kelud melanda, Supini telah memiliki karyawan enam orang. Meski omzetnya belum begitu ramai, dia bangga bisa membuka lapangan kerja bagi orangorang sekitarnya.
Camat Sanden Fathoni mengatakan, di wilayah Kecamatan Sanden memang ada warganya yang pergi ke luar negeri. Terkadang dalam waktu yang cukup lama tidak kembali ke Tanah Air karena alasannya selalu saja terhimpit ekonomi. “Saya harap apa yang dilakukan Supini bisa dilakukan TKI-TKI purna lainnya,” tandasnya.
Erfanto Linangkung
Selama dua tahun bekerja di Malaysia dan sembilan tahun lebih mengadu nasib menjadi buruh di Korea Selatan. Himpitan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat membuatnya harus tega meninggalkan anak semata wayangnya yang baru berumur dua tahun bersama suaminya, Widodo, 52. Dia bertekad, suatu saat nanti ingin kembali ke Tanah Air dan membuka usaha, sehingga bisa memberi lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Oleh karena itu, di negeri rantauan, Supini berusaha menimba ilmu semaksimal mungkin. Karena siapa tahu akan berguna di Tanah Air. “Pengalaman saya di sana (Malaysia, Korea Selatan) sangat banyak,” tuturnya. Pada 2011, dia kembali ke Tanah Air dan merintis usaha warung kelontong.
Perlahan usahanya berkembang dan bisa membangun rumah dua lantai di lokasi yang strategis, yakni berada di Perempatan Jembatan Merah, Jalan Samas KM 20. Lalu dia melirik bisnis kuliner. Meskipun sebenarnya tidak suka masak, tapi karena dorongan anaknya, maka Supini nekat membuka warung kecil-kecilan. Karena persaingan ketat di bisnis ini, dirinya mencoba menerapkan pengalaman yang didapatnya sewaktu merantau ke Korea Selatan.
“Saya mempelajari cara memasak ayam panggang barbeque (BBQ),” ujarnya. Supini menceritakan “ilmu” memasaknya didapat secara tidak sengaja. Saat itu dia tengah berakhir pekan di kota. Karena sudah larut malam, dia mampir ke warung makan ayam panggang. Di tempat tersebut Supini memerhatikan bagaimana cara mengolah ayam hingga bumbu-bumbu apa saja yang digunakan si empunya warung.
Dia merasa beruntung karena sudah lama tinggal di Korea, sehingga bisa bertanya langsung dengan bahasa setempat. Kebetulan si pemilik warung baik hati bersedia mengungkap apa saja bahan yang digunakan, dan bagaimana cara memasaknya. Dari bertanya itulah, akhirnya dia bisa mendapatkan ilmu memasak. “Dua bulan saya coba-coba memasak makanan tersebut dan sistemnya baru menerima pesanan,” katanya.
Setelah dua bulan cobacoba, tekadnya sudah bulat untuk mendirikan sebuah warung makan BBQ ayam kampung panggang. Bermodalkan menjual kardus bekas di warung kelontongnya, dia memberanikan diri mengoperasikan warung makan tersebut. Dengan menempati tanah kas desa yang kosong dia mendirikan warung seadanya.
Selain menyediakan menu BBQ ayam kampung panggang, menu lain ikut disediakan. Seperti gurami panggang atau juga pecel lele. Di warung tersebut ada beberapa makanan hasil olahan eks TKI yang dititipkan di tempatnya. “Kami tergabung dalam koperasi TKI Purna Manunggal Jaya memang berusaha untuk bisa mandiri,” katanya.
Setelah buka warung pertama kali ketika musibah hujan abu Gunung Kelud melanda, Supini telah memiliki karyawan enam orang. Meski omzetnya belum begitu ramai, dia bangga bisa membuka lapangan kerja bagi orangorang sekitarnya.
Camat Sanden Fathoni mengatakan, di wilayah Kecamatan Sanden memang ada warganya yang pergi ke luar negeri. Terkadang dalam waktu yang cukup lama tidak kembali ke Tanah Air karena alasannya selalu saja terhimpit ekonomi. “Saya harap apa yang dilakukan Supini bisa dilakukan TKI-TKI purna lainnya,” tandasnya.
Erfanto Linangkung
(ftr)