Mau Jadi Guru TK, Eh.. Malah Jadi Rektor
A
A
A
YOGYAKARTA - Rita–panggilan akrab Dwikorita Karnawati tak pernah menyangka dirinya akan menduduki jabatan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu universitas ternama di Indonesia.
Sejak dulu, Rita hanya bercita-cita menjadi seorang guru taman kanakkanak (TK) yang kesehariannya hanya bergaul dengan bocah-bocah polos. “Sejak kecil saya bercita-cita jadi guru TK. Cita-cita ini terinspirasi dari rasa kekaguman saya dengan guru TK saya. Saking inginnya menjadi guru TK, saya suka meniru gaya mengajar guru saya,” ujarnya, kemarin.
Kenyataan dan cita-cita memang tak selalu berbanding lurus. Meski tidak jauh dari pekerjaan mengajar, Rita justru berkarier menjadi dosen di UGM. Hanya sikap berupaya menjadi teladan dan mengayomi layaknya perilaku guru TK selalu dan akan terus dibawanya.
“Semoga saya kemudian tidak menganggap UGM ini seperti TK. Tapi saya akan mempertahankan sikap sebagai pendamai jika ada masalah atau pertengkaran. Tentu nanti akan banyak perbedaan pendapat atau malah muncul pertengkaran, tapi saya mau menjadi penengah agar masalah tidak semakin menjadi besar,” kata Rita.
Dengan jabatan barunya itu, Rita memastikan mendapat komplain dari dua anaknya akibat kesibukan kerja. Namun sejak dulu anak-anaknya, bahkan suaminya sudah terbiasa Rita ditinggal bekerja. Jika pekerjaan menumpuk, tidak jarang dia harus pulang larut malam.
“Sejak dulu anak-anak saya juga sudah sering komplain mamanya ini tidak pernah antarjemput mereka sekolah. Tapi sekarang mereka semua sudah dewasa, jadi sudah lebih mandiri, walaupun nanti pasti ada saja komplainnya. Kalau suami lebih santai, justru kalau saya pulang lebih awal malah ditanyai, kok sudah pulang,” ungkapnya sambil tertawa.
Rita menuturkan perubahan dalam pekerjaannya tentu akan terjadi. Kalau dulu hanya fokus pengelolaan kemitraan dan alumni, sejak dilantik menjadi Rektor UGM, dia harus bisa mengintegrasikan semua sektor dan unit.
“Cara bekerja saya nanti lebih memandang secara ‘helikopter’. Tidak lagi fokus pada satu bidang, kegiatan saya nanti jelas berubah menjadi lintas sektor. Tapi kalau masalah makin banyak yang dikerjakan, mungkin tidak juga, karena saya dibantu oleh wakil-wakil rektor di setiap bidang,” ujarnya.
Sebelum pelantikan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM sempat mengajak Rita menandatangani kontrak kesepakatan dirinya sebagai Rektor UGM dengan para mahasiswa. BEM UGM menyodorkan sembilan poin sebagai bentuk aspirasi yang dititipkan kepada rektor wanita pertama dan rektor pertama asli Yogyakarta sepanjang sejarah UGM itu.
“Kami ingin Bu Dwikorita bisa memperlihatkan transparansi dalam rencana induk pembangunan ke depannya. Kami mahasiswa juga perlu mengetahui rencana induk pengembangan UGM seperti apa agar visi-misi kampus menuju universitas berkelas dunia sebagaimana yang sudah dicanangkan bisa terwujud,” ujar Presiden BEM Adhitya Herwin Dwiputra.
Selain itu, beberapa poin lainnya yang tertera dalam kontrak antara lain, keharusan Rita melanjutkan program yang selama dua setengah tahun ini telah dirancang Pratikno, kelangsungan studi bagi mahasiswa kurang mampu, keterbukaan tiap prodi terkait penetapan besaran biaya kuliah bagi mahasiswa, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pendukung kuliah.
Ratih Keswara
Sejak dulu, Rita hanya bercita-cita menjadi seorang guru taman kanakkanak (TK) yang kesehariannya hanya bergaul dengan bocah-bocah polos. “Sejak kecil saya bercita-cita jadi guru TK. Cita-cita ini terinspirasi dari rasa kekaguman saya dengan guru TK saya. Saking inginnya menjadi guru TK, saya suka meniru gaya mengajar guru saya,” ujarnya, kemarin.
Kenyataan dan cita-cita memang tak selalu berbanding lurus. Meski tidak jauh dari pekerjaan mengajar, Rita justru berkarier menjadi dosen di UGM. Hanya sikap berupaya menjadi teladan dan mengayomi layaknya perilaku guru TK selalu dan akan terus dibawanya.
“Semoga saya kemudian tidak menganggap UGM ini seperti TK. Tapi saya akan mempertahankan sikap sebagai pendamai jika ada masalah atau pertengkaran. Tentu nanti akan banyak perbedaan pendapat atau malah muncul pertengkaran, tapi saya mau menjadi penengah agar masalah tidak semakin menjadi besar,” kata Rita.
Dengan jabatan barunya itu, Rita memastikan mendapat komplain dari dua anaknya akibat kesibukan kerja. Namun sejak dulu anak-anaknya, bahkan suaminya sudah terbiasa Rita ditinggal bekerja. Jika pekerjaan menumpuk, tidak jarang dia harus pulang larut malam.
“Sejak dulu anak-anak saya juga sudah sering komplain mamanya ini tidak pernah antarjemput mereka sekolah. Tapi sekarang mereka semua sudah dewasa, jadi sudah lebih mandiri, walaupun nanti pasti ada saja komplainnya. Kalau suami lebih santai, justru kalau saya pulang lebih awal malah ditanyai, kok sudah pulang,” ungkapnya sambil tertawa.
Rita menuturkan perubahan dalam pekerjaannya tentu akan terjadi. Kalau dulu hanya fokus pengelolaan kemitraan dan alumni, sejak dilantik menjadi Rektor UGM, dia harus bisa mengintegrasikan semua sektor dan unit.
“Cara bekerja saya nanti lebih memandang secara ‘helikopter’. Tidak lagi fokus pada satu bidang, kegiatan saya nanti jelas berubah menjadi lintas sektor. Tapi kalau masalah makin banyak yang dikerjakan, mungkin tidak juga, karena saya dibantu oleh wakil-wakil rektor di setiap bidang,” ujarnya.
Sebelum pelantikan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM sempat mengajak Rita menandatangani kontrak kesepakatan dirinya sebagai Rektor UGM dengan para mahasiswa. BEM UGM menyodorkan sembilan poin sebagai bentuk aspirasi yang dititipkan kepada rektor wanita pertama dan rektor pertama asli Yogyakarta sepanjang sejarah UGM itu.
“Kami ingin Bu Dwikorita bisa memperlihatkan transparansi dalam rencana induk pembangunan ke depannya. Kami mahasiswa juga perlu mengetahui rencana induk pengembangan UGM seperti apa agar visi-misi kampus menuju universitas berkelas dunia sebagaimana yang sudah dicanangkan bisa terwujud,” ujar Presiden BEM Adhitya Herwin Dwiputra.
Selain itu, beberapa poin lainnya yang tertera dalam kontrak antara lain, keharusan Rita melanjutkan program yang selama dua setengah tahun ini telah dirancang Pratikno, kelangsungan studi bagi mahasiswa kurang mampu, keterbukaan tiap prodi terkait penetapan besaran biaya kuliah bagi mahasiswa, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pendukung kuliah.
Ratih Keswara
(ftr)