Idup Jadi Saro, Kriminal Meningkat

Rabu, 19 November 2014 - 13:44 WIB
Idup Jadi Saro, Kriminal...
Idup Jadi Saro, Kriminal Meningkat
A A A
PALEMBANG - Kebijakan pemerintahan Jokowi Widodo menaik kan harga BBM hanya menambah beban masyarakat kelas menengah ke bawah. Bahkan, diprediksi akan terjadi anomali (penyimpangan) sosial seperti meningkatnya angka kejahatan.

Jika hal itu terjadi, kembali menjadi beban bagi negara. Kriminolog dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) Sri Sulastri menyebutkan, prediksi terse but dilandasi meningkatnya biaya kebutuhan hidup, sedangkan harga komoditas andalan yang selama ini menghidupi jutaan keluarga miskin di Sumsel, yakni karet dan sawit anjlok. Karena itu, akan berdampak besar terhadap peningkatan ang ka kejahatan di Sumsel.

“Kebutuhan hidup jadi me ningkat gara-gara BBM naik. Ini yang bakal men jadi penyebab utama kenaikan angka kriminal ter sebut,” ujarnya kepada KORAN SINDO PALEM BANG,tadi malam. Menurutnya, selain mendorong inflasi dan kriminalitas, realitas kehidupan masyarakat juga sema kin terdesak atas kenaikan harga-harga sembako yang bakal segera turut naik.

“Makan itu kebutuhan yang mendesak, sembako otomatis naik, kebutuhan sehari-hari juga naik. Pertanyaannya apakah sudah layak menaikkan BBM saat ini?” tegas dia. Selain karena desakan kebutuhan hidup yang meningkat, kekecewaan masyarakat karena saat kam panye Jokowi berjanji tidak akan menaikkan BBM.“Yang jelas, dampakdari kenaikan ini akan menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Saya tidak percaya pada statement JK bahwa kenaikan BBM tidak berpengaruh pada kebutuhan hidup,” kata dia.

Disebutkannya, ongkos atau tarif angkutan otomatis naik, sementara penghasilan keluarga belum tentu meningkat. Hal inilah yang bakal semakin memperburuk situasi dan keamanan masyarakat. “Mereka yang tidak punya kerja, akan menjadi semakin terpuruk apalagi mereka yang hidup pas-pasan banyak dampaknya, dan itu berdampak pada ting kat kriminalitas,” sebutnya.

Sri menjelaskan, kriminalitas ter jadi lantaran emosi dan amarah dari mereka yang tertekan secara ekonomi. Emosi itu terpancing karena kebutuhan hidup yang mendesak. “Lihat saja saat ini pasar juga jadi lesu, banyak orang yang melamun. Ini harusnya diwaspadai oleh pemerintah,” pungkas dia. Bahkan, Pengamat Sosial dari UIN (sebelumnya IAIN) Raden Fatah Palembang, Abdullah Idi kemarin menyatakan, kenaikan harga BBM bersubsidi akan sangat memberatkan masyarakat dan berpotensi menimbulkan ano mali (penyimpangan) sosial di masyarakat.

Perekonomian yang semakin sulit, berimbas pada pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan sehingga tingkat kriminalitas tinggi. Selain itu, secara psikologis masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah akan lebih terpukul jika tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan atau lapangan kerja.

“Hampir sebagian besar pengguna bahan bakar bersubsidi masyarakat kelas menengah ke bawah. Data dunia, 68 juta masyarakat menengah dan miskin di Indonesia dan mereka inilah yang paling rasakan gejolak BBM,” ungkapnya. Ia mengatakan, anomali sosial diawali semakin tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Masyarakat akan merasakan jepitan ekonomi, karena saat kenaikan ba han bakar juga berimbas pada kenaikan kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan makan, listrik, yang secara tidak langsung juga memengaruhi kebutuhan pendidikan, konveksi, dan kebutuhan dasar lainnya.

“Karena tidak terpenuhinya kebutuhan ini, maka gejolak sosial akan tumbuh, negatifnya jika terjadi penyimpangan (anomali),” katanya. Tingkat penyimpangan ini pun, dikatakan Direktur Pasca sarjana UIN Raden Fatah ini ber macam-macam, mulai dari ke naikan keinginan untuk bertin dak kriminalitas, seperti mencuri, merampok atau menguasai secara paksa milik oranglain. Penyimpangan sosial juga akan dialami pada kehidupan rumah tangga yang memengaruhi ting kat perceraian.

“Bisa jadi, saat pe menuhan kebutuhan menjadi rendah, istri memilih bercerai. Karena saat ini, faktor pemicu per ceraian terbesar masih dise bab kan karena kondisi ekonomi,” ungkapnya. Pada saat himpitan beban hidup menguat, sambung Abdullah, bagaimana kenaikan bahan ba kar mengakibatkan harga kebutuhan masyarakat menjadi mahal, maka secara psikologis ma syarakat akan sangat tertekan.

“Bahkan, bisa jadi stres atau penyakit lain juga muncul, misalnya mudah marah dan tidak optimis,” katanya. Menurutnya, pencabutan subsidi bahan bakar hanya akan menambah masalah, di mana masyarakat miskin bertambah. Misalnya, pengemis dan gepeng di jalanan bertambah, peningkatan pengangguran, hingga klaim jaminan kesehatan kian membengkak.

“Pola untuk mengalihkan subsidi dari bahan bakar ke infrastruktur, tentu bukan solusi saat ini. Infrastruktur hanya akan dirasakan dua-lima tahun kedepan, tapi sekarang masyarakat sulitmakan. Akhirnya, jumlah masyarakat miskin naik, dan beban pemerintah menyalurkan subsidi tentu akan naik,” terangnya.

Sebagai akademisi, ia juga mengkritik langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar pada saat harga minyak dunia sedang turun. Alasan mengurangi subsidi bagi masyarakat miskin, demi menghemat anggaran negara juga tidak logis di akhir tahun. Malaysia, yang memiliki jumlah penduduk lebih sedikit dengan tingkat ekonomi lebih baik malah akan menurunkan harga bahan bakarnya.

“Ini kena pa harga minyak murah, tapi sub sidi malah dikurangi, di kuartal anggaran penutup tahun,” tandasnya. Aksi penolakan kenaikan harga BBM terus mengalir, baik masyarakat maupun mahasiswa. Setidaknya kemarin di Palembang terdapat tiga gelombang unjuk rasa oleh mahasiswa UIN Raden Fatah dan Ormas HTI.

M uzair/Tasmalinda
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1091 seconds (0.1#10.140)