Kejahatan Seksual Anak Tinggi
A
A
A
SEMARANG - Selama kurun waktu 2011- 2014, kasus kejahatan seksual pada anak mencapai 2.124 kasus. Kejahatan tersebut berupa pemerkosaan, kekerasan seksual, pedofilia, dan pelecehan seksual.
“Jumlah kejahatan seksual terus mengalami peningkatan. Menurut data Komnas Perlindungan Anak pada 2013, sebanyak 3.339 kasus kekerasan anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 58% merupakan kejahatan seksual,” ujar Komisioner Bidang Kesehatan dan NAPZA Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Titik Haryati di sela-sela Seminar Nasional “Pelecehan Seksual dan Kekerasan pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)” di Hotel Grasia Semarang kemarin.
Dia menilai ada beberapa hal yang harus disiapkan agar terhindar dari kejahatan seksual. Di antaranya dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini, parenting skill atau peran orang tua untuk menjelaskan kepada anak tentang bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain, serta pembiasaan tidur terpisah dari orang tua setelah anak berusia dua tahun.
“Hal-hal tersebut harus kita persiapkan agar generasi emas Indonesia terlindungi dari kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi di mana saja, mulai di lingkungan sekolah, transportasi umum, media online, hingga lingkungan keluarga bisa terjadi,” kata Titik Haryati. Dosen program studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uhamka ini menambahkan, setiap anak dilindungi oleh undang-undang, yakni Pasal 3 UU No 23 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak memiliki tujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
“KPAI memandang pemerintah wajib memberi pendampingan pada korban kekerasan seksual untuk menghilangkan trauma.
Korban harus diberikan rehabilitasi. Bagi Pelaku kejahatannya, harus dihukum mati atau seberat-beratnya agar ada efek jera. Penyidikan kasus juga harus membutuhkan konsistensi dan pelayanan profesional. Untuk penyembuhan psikis anak yang menjadi korban, perlu peran konselor dalam memberikan rehabilitasi,” ucapnya.
Guru besar Bimbingan dan Konseling Unnes Prof Mungin Eddy Wibowo menyebutkan, korban kejahatan seksual anak membutuhkan perhatian dan penanganan bersama secara serius oleh para pendidik baik di rumah, sekolah, ataupun lingkungan masyarakat. “Di sekolah tentu oleh guru mata pelajaran serta guru bimbingan dan konseling atau konselor, yang mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik mencapai perkembangan optimal dan kemandirian, melalui layanan pembelajaran dan layanan konseling,” ucapnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia ini menjelaskan, dari berbagai studi tentang efek jangka panjang kekerasan seksual mengungkap bahwa korban kekerasan seksual cenderung mengalami masalah kesehatan mental tingkat tinggi, seperti depresi, gangguan kecemasan, penyalahgunaan obat-obatan, disfungsi seksual, hingga kesulitan hubungan interpersonal.
Pada kasus tertentu juga memacu keinginan untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Susilo himawan
“Jumlah kejahatan seksual terus mengalami peningkatan. Menurut data Komnas Perlindungan Anak pada 2013, sebanyak 3.339 kasus kekerasan anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 58% merupakan kejahatan seksual,” ujar Komisioner Bidang Kesehatan dan NAPZA Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Titik Haryati di sela-sela Seminar Nasional “Pelecehan Seksual dan Kekerasan pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)” di Hotel Grasia Semarang kemarin.
Dia menilai ada beberapa hal yang harus disiapkan agar terhindar dari kejahatan seksual. Di antaranya dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini, parenting skill atau peran orang tua untuk menjelaskan kepada anak tentang bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain, serta pembiasaan tidur terpisah dari orang tua setelah anak berusia dua tahun.
“Hal-hal tersebut harus kita persiapkan agar generasi emas Indonesia terlindungi dari kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi di mana saja, mulai di lingkungan sekolah, transportasi umum, media online, hingga lingkungan keluarga bisa terjadi,” kata Titik Haryati. Dosen program studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uhamka ini menambahkan, setiap anak dilindungi oleh undang-undang, yakni Pasal 3 UU No 23 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak memiliki tujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
“KPAI memandang pemerintah wajib memberi pendampingan pada korban kekerasan seksual untuk menghilangkan trauma.
Korban harus diberikan rehabilitasi. Bagi Pelaku kejahatannya, harus dihukum mati atau seberat-beratnya agar ada efek jera. Penyidikan kasus juga harus membutuhkan konsistensi dan pelayanan profesional. Untuk penyembuhan psikis anak yang menjadi korban, perlu peran konselor dalam memberikan rehabilitasi,” ucapnya.
Guru besar Bimbingan dan Konseling Unnes Prof Mungin Eddy Wibowo menyebutkan, korban kejahatan seksual anak membutuhkan perhatian dan penanganan bersama secara serius oleh para pendidik baik di rumah, sekolah, ataupun lingkungan masyarakat. “Di sekolah tentu oleh guru mata pelajaran serta guru bimbingan dan konseling atau konselor, yang mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik mencapai perkembangan optimal dan kemandirian, melalui layanan pembelajaran dan layanan konseling,” ucapnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia ini menjelaskan, dari berbagai studi tentang efek jangka panjang kekerasan seksual mengungkap bahwa korban kekerasan seksual cenderung mengalami masalah kesehatan mental tingkat tinggi, seperti depresi, gangguan kecemasan, penyalahgunaan obat-obatan, disfungsi seksual, hingga kesulitan hubungan interpersonal.
Pada kasus tertentu juga memacu keinginan untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Susilo himawan
(ars)