Perjuangan Rahmah El-Yunusiah Mengangkat Harkat Perempuan
A
A
A
RAHMAH El-Yunusiah dikenal peduli terhadap kaum perempuan. Bagaimana perjuangannya mengangkat harkat perempuan Indonesia?
Cerita Pagi kali ini mengangkat kisah Rahmah El-Yunusiah, salah seorang tokoh perempuan Minangkabau yang jasanya tidak bisa dianggap remeh.
Rahmah El-Yunusiah lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 20 Desember 1900, dari pasangan Moh Yunus dan Rafiah dari suku Minang. Ayahnya, seorang ulama besar yang menjabat sebagai kadi di Pandai Sikek, Tanah Datar. Kakeknya, Imanuddin, seorang ahli ilmu falak dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah.
Sejak kecil, Rahmah ditinggal ayahnya. Dia dibesarkan dan diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Lingkungannya yang taat kepada ajaran agama, membentuk kepribadiannya menjadi seorang penyabar dan berpendirian teguh.
Rahmah belajar dari kakak-kakaknya, Zainuddin Labay dan M Rasyad. Ketika Zainuddin mendirikan Diniyah School, Rahmah ikut belajar di sana.
Di usia 16 tahun, Rahmah menikah dengan H Bahauddin Latif, asal Nagari Sumpur. Suaminya juga merupakan tokoh pembaharu pendidikan Islam di Sumatera Barat. Di Sawahlunto, suaminya mendirikan Diniyah Putra.
Pada 1 November 1923, saat usianya beranjak 23 tahun, Rahmah mendirikan sebuah sekolah khusus untuk kaum perempuan yang diberi nama Al-Madrasatul Diniyyah atau Sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang. Ada juga yang menyebut nama sekolah itu Madrasah Diniyah li al-Banat. Sekolah itu didirikan atas dukungan kakaknya Zainuddin Labay dan kawan-kawan perempuannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS).
Sekolah tersebut merupakan sebuah terobosan bagi pendidikan kaum perempuan ketika itu. Awalnya, murid sekolah ini hanya 71 orang yang terdiri dari ibu-ibu muda. Bertempat di serambi masjid Pasar Usang, mereka belajar ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab. Seiring berjalannya waktu, murid Rahmah bertambah. Tak lama setelah itu, nama Rahmah dan Diniyah Putri melambung.
Di Semenanjung Malaysia, Rahmah diminta keluarga kerajaan untuk mengajar di sekolah kerajaan. Negara-negara luar mulai mengenal dan memberikan perhatian kepada Diniyah Putri. Sumbangan pun banyak mengalir dan ia berhasil melakukan modernisasi terhadap perguruannya. Bahkan, Pemerintah Arab Saudi, Kuwait, dan Mesir meminta siswa Diniyah belajar di negara mereka.
Menurut pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif, Rahmah memang tidak sepopuler RA Kartini yang perjuangannya kerap dielu-elukan.
"Ia berusaha mendobrak kejumudan dan tradisi yang mengharamkan perempuan bersekolah. Ia bukan tipe perempuan yang suka gelisah, mengeluh kepada perempuan sesamanya dengan berkirim surat," jelas Fikrul Hanif kepada Sindonews.com.
Ketika Diniyah School yang didirikan kakaknya Zainuddin Labay ambruk karena gempa 1926, Rahmah tidak menyerah pada takdir. Bersama kaum laki-laki, ia memanggul batu untuk membangun kembali sekolahnya. Ini merupakan pertanda, ia bukan perempuan yang menyerah pada nasib.
Rahmah memang peduli dengan kaum perempuan. Rahmah menilai bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagaimana halnya kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan ini, menurutnya, berakar dari persoalan pendidikan dan bisa diselesaikan melalui bidang pendidikan pula.
Tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat yang anggotanya berasal dari Laskar Gyu Gun. Ia tidak hanya mengayomi Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian berubah menjadi TNI), tetapi juga barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
Karena pengaruhnya dalam dunia ketentaraan dan pergerakan di Sumatera Tengah, pada 1949 ia dipenjara dan disekap di rumah seorang polisi Belanda di Padang. Rahmah baru dilepas setelah mendapatkan undangan dari panitia Konferensi Pendidikan di Yogyakarta.
Setelah konferensi selesai, ia mengikuti Kongres Kaum Muslimin Indonesia di Jakarta dan kembali ke Padang Panjang setelah penyerahan kedaulatan. Pada tahun 1955, ia terpilih sebagai anggota DPRS dari Partai Masyumi. Ia duduk di lembaga itu hingga tahun 1957.
Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Syekh Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia. Dia menyempatkan diri datang ke Diniyah Putri. Sebagai penghargaan, ia mengundang Rahmah ke Al-Azhar, Kairo, Mesir, untuk berbagi pengalaman.
Pada tahun 1957, Rahmah menunaikan ibadah haji dan berkunjung ke Universitas Al-Azhar. Di sana ia disambut sebagai Syaikhah, gelar kehormatan agama tertinggi yang diberikan kepada perempuan.
Pemberian gelar ini belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Gelar yang baru disandangnya itu setara dengan gelar Syekh Mahmoud Syalthout, salah seorang mantan rektor Al-Azhar.
Upaya pengembangan pendidikan yang dilakukan Rahmah selanjutnya adalah merintis program pendidikan tingkat perguruan tinggi. Sejak 1964, Rahmah merintis pendirian Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 22 November 1967, kedua fakultas tersebut diresmikan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain.
Rahmah El-Yunusiah meninggal dunia pada 26 Februari 1969. Meski telah tiada, perjuangannya mengangkat harkat kaum perempuan tetap diapresiasi berbagai kalangan. Semoga, perjuangan Rahmah El-Yunusiah bisa menginspirasi kaum perempuan Indonesia yang hidup di era modern ini.
Sumber: Wikipedia, serbasejarah.wordpress.com, dan sumber lainnya.
Cerita Pagi kali ini mengangkat kisah Rahmah El-Yunusiah, salah seorang tokoh perempuan Minangkabau yang jasanya tidak bisa dianggap remeh.
Rahmah El-Yunusiah lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 20 Desember 1900, dari pasangan Moh Yunus dan Rafiah dari suku Minang. Ayahnya, seorang ulama besar yang menjabat sebagai kadi di Pandai Sikek, Tanah Datar. Kakeknya, Imanuddin, seorang ahli ilmu falak dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah.
Sejak kecil, Rahmah ditinggal ayahnya. Dia dibesarkan dan diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Lingkungannya yang taat kepada ajaran agama, membentuk kepribadiannya menjadi seorang penyabar dan berpendirian teguh.
Rahmah belajar dari kakak-kakaknya, Zainuddin Labay dan M Rasyad. Ketika Zainuddin mendirikan Diniyah School, Rahmah ikut belajar di sana.
Di usia 16 tahun, Rahmah menikah dengan H Bahauddin Latif, asal Nagari Sumpur. Suaminya juga merupakan tokoh pembaharu pendidikan Islam di Sumatera Barat. Di Sawahlunto, suaminya mendirikan Diniyah Putra.
Pada 1 November 1923, saat usianya beranjak 23 tahun, Rahmah mendirikan sebuah sekolah khusus untuk kaum perempuan yang diberi nama Al-Madrasatul Diniyyah atau Sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang. Ada juga yang menyebut nama sekolah itu Madrasah Diniyah li al-Banat. Sekolah itu didirikan atas dukungan kakaknya Zainuddin Labay dan kawan-kawan perempuannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS).
Sekolah tersebut merupakan sebuah terobosan bagi pendidikan kaum perempuan ketika itu. Awalnya, murid sekolah ini hanya 71 orang yang terdiri dari ibu-ibu muda. Bertempat di serambi masjid Pasar Usang, mereka belajar ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab. Seiring berjalannya waktu, murid Rahmah bertambah. Tak lama setelah itu, nama Rahmah dan Diniyah Putri melambung.
Di Semenanjung Malaysia, Rahmah diminta keluarga kerajaan untuk mengajar di sekolah kerajaan. Negara-negara luar mulai mengenal dan memberikan perhatian kepada Diniyah Putri. Sumbangan pun banyak mengalir dan ia berhasil melakukan modernisasi terhadap perguruannya. Bahkan, Pemerintah Arab Saudi, Kuwait, dan Mesir meminta siswa Diniyah belajar di negara mereka.
Menurut pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif, Rahmah memang tidak sepopuler RA Kartini yang perjuangannya kerap dielu-elukan.
"Ia berusaha mendobrak kejumudan dan tradisi yang mengharamkan perempuan bersekolah. Ia bukan tipe perempuan yang suka gelisah, mengeluh kepada perempuan sesamanya dengan berkirim surat," jelas Fikrul Hanif kepada Sindonews.com.
Ketika Diniyah School yang didirikan kakaknya Zainuddin Labay ambruk karena gempa 1926, Rahmah tidak menyerah pada takdir. Bersama kaum laki-laki, ia memanggul batu untuk membangun kembali sekolahnya. Ini merupakan pertanda, ia bukan perempuan yang menyerah pada nasib.
Rahmah memang peduli dengan kaum perempuan. Rahmah menilai bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagaimana halnya kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan ini, menurutnya, berakar dari persoalan pendidikan dan bisa diselesaikan melalui bidang pendidikan pula.
Tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat yang anggotanya berasal dari Laskar Gyu Gun. Ia tidak hanya mengayomi Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian berubah menjadi TNI), tetapi juga barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
Karena pengaruhnya dalam dunia ketentaraan dan pergerakan di Sumatera Tengah, pada 1949 ia dipenjara dan disekap di rumah seorang polisi Belanda di Padang. Rahmah baru dilepas setelah mendapatkan undangan dari panitia Konferensi Pendidikan di Yogyakarta.
Setelah konferensi selesai, ia mengikuti Kongres Kaum Muslimin Indonesia di Jakarta dan kembali ke Padang Panjang setelah penyerahan kedaulatan. Pada tahun 1955, ia terpilih sebagai anggota DPRS dari Partai Masyumi. Ia duduk di lembaga itu hingga tahun 1957.
Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Syekh Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia. Dia menyempatkan diri datang ke Diniyah Putri. Sebagai penghargaan, ia mengundang Rahmah ke Al-Azhar, Kairo, Mesir, untuk berbagi pengalaman.
Pada tahun 1957, Rahmah menunaikan ibadah haji dan berkunjung ke Universitas Al-Azhar. Di sana ia disambut sebagai Syaikhah, gelar kehormatan agama tertinggi yang diberikan kepada perempuan.
Pemberian gelar ini belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Gelar yang baru disandangnya itu setara dengan gelar Syekh Mahmoud Syalthout, salah seorang mantan rektor Al-Azhar.
Upaya pengembangan pendidikan yang dilakukan Rahmah selanjutnya adalah merintis program pendidikan tingkat perguruan tinggi. Sejak 1964, Rahmah merintis pendirian Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 22 November 1967, kedua fakultas tersebut diresmikan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain.
Rahmah El-Yunusiah meninggal dunia pada 26 Februari 1969. Meski telah tiada, perjuangannya mengangkat harkat kaum perempuan tetap diapresiasi berbagai kalangan. Semoga, perjuangan Rahmah El-Yunusiah bisa menginspirasi kaum perempuan Indonesia yang hidup di era modern ini.
Sumber: Wikipedia, serbasejarah.wordpress.com, dan sumber lainnya.
(ysw)