Giliran Apartemen Bikin Resah
A
A
A
YOGYAKARTA - Minimnya lahan membuat apartemen menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan hunian warga DIY. Sayang keberadaannya justru berpotensi memicu konflik dengan warga sekitar pembangunan apartemen.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) DIY Nur Andi Wijayanto kepada KORAN SINDO YOGYAmengungkapkan, tingkat pertumbuhan apartemen khususnya di Yogyakarta dan Sleman dilihat dari real demand atau permintaan sebenarnya belum terlalu signifikan dibandingkan landed house atau rumah berlahan.
“Dari sisi real demand belum sesignifikan landed house. Dan seberapa massive-nya, belum sebesar perumahan. Mulai muncul iya dan perkembangannya jadi salah satu yang sudah mulai dilirik,” ungkap Nur Andi.
Adapun perkembangan properti landed house maupun apartemen lebih banyak berpusat di tiga kawasan. Yaitu Sleman, Yogyakarta, dan Bantul. Seperti yang ada di kawasan utara terutama Jalan Kaliurang, sedikitnya akan ada tiga apartemen dan kondotel yang berdiri. Begitu pula di Jalan Palagan.
Keberadaan perguruan tinggi maupun tempat wisata yang ada di dekatnya menjadi salah satu daya tarik. Dia menambahkan pangsa pasar apartemen banyak ditujukan untuk mahasiswa, maupun orang tua yang mencarikan tempat tinggal bagi putraputrinya yang bersekolah di DIY. “Meski demikian, tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai investasi hari tua dan semacamnya,” ucapnya.
Mulai menjamurnya apartemen juga tidak lepasdari harga tanah yang kian tinggi. Apalagi yang ada di kawasan utara Yogyakarta, mengingat daerah ini tidak begitu luas. Sementara landed house makin tidak feasible untuk dikembangkan, terutama di daerah pendidikan, wisata, maupun pemukiman padat.
Sehingga muncul wacana pengembangan rumah ke atas dan mau tidak mau harus mengembangkan bangunan secara vertikal (ke atas), dan bukan horizontal (ke samping).
“Tourism dan education pasti, sehingga muncul permintaan tinggi. Untuk akomodasi edukasi misalnya, dulu orang tua atau mahasiswa lebih ke kos-kosan, sekarang apartemen. Bergeser pemikiran dari sewa ke beli,” papar Andi serayaa menambahkan berdasarkan survei terakhir di 2011, properti untuk landed house , 60% merupakan pembeli dari luar Yogyakarta dengan motif investasi cukup tinggi dibandingkan tempat tinggal.
Sementara itu, pengamat properti Munichy B Edrees menyatakan keprihatinannya tentang pertumbuhan properti yang begitu pesat di DIY, khususnya Yogyakarta dan Sleman. Dia menilai bisnis properti kini hanya memikirkan dari sisi komersial dan masuk era zaman kapitalisme. Tak heran sisi idealisme mulai tersisihkan.
Akibatnya tidak sedikit bangunan-bangunan yang merusak zona hijau maupun zona permukiman. Seperti yang ada di kawasan Kota Yogyakarta. “Masterplan Kota Yogyakarta harusnya disosialisasikan ke masyarakat. Jangan disimpan sehingga masyarakat ikut kawal. Contoh zona green area yang harusnya jadi tempat simpan air hujan, kenyataannya malah jadi mal atau hotel,” sesal Munichy.
Begitu pula dengan Alun-Alun maupun Stadion Kridosono yang justru rusak karena kerap digunakan sebagai tempat parkir. Menurut dia banyak sekali perizinan pembangunan properti diindikasikan melanggar dan tidak sesuai fungsi lahan seharusnya.
Dia mencontohkan hotel berbintang yang ada di kawasan Jalan AM Sangaji dan Purwokinanti Pakualaman Yogyakarta. Hotel ini dekat dengan aliran sungai dan berada di pinggir jalan. Begitu pula dengan kawasan Sleman yang sesuai peruntukannya untuk kawasan tadah air hujan sehingga tidak boleh dibangun. Apabila tidak ditata baik dan dibangun semena-mena, dia khawatir bisa mengubah fungsi tanah. Akibatnya kawasan selatan bisa banjir.
“Meski sudah dicanangkan tapi masih juga melanggar. Baik masyarakat maupun pengembang harus tahu masterplan dulu. Dan bagi yang mau beli tanah, harus tahu peruntukannya dahulu dan lihat dulu di masterplan ,” imbau dia.
Menurut Dosen Arsitek Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII Yogyakarta ini, kawasan Yogyakarta dan Sleman sudah termasuk gila-gilaan dalam pembangunan properti. Termasuk di antaranya apartemen.
Namun dirinya kurang begitu setuju dengan keberadaan apartemen di lingkup kampus. Karena diindikasikan bisa pula menjadi ajang “kumpul kebo”, selain merusak alam dan lingkungan. Mengingat beberapa di antaranya dibangun di zona permukiman padat.
“(Selama ini) yang banyak bermain (properti) bukan orang Yogyakarta. Kita hanya penonton atau suporter saja. Tidak sedikit yang bergesekan dengan hal itu. Seperti dahulu ada seniman yang demo supaya Yogyakarta jangan dijual untuk menggarap wisata dan sebagai tempat menginap,” urai Munichy.
Akibatnya, sekarang Yogyakarta padat dan penuh sesak. Setidaknya persebaran dilakukan secara merata dan kota maupun kabupaten yang ada di DIY bisa saling mendukung satu sama lain. Jadi tidak terpusat di tiga titik saja seperti Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.
Dia berpendapat memang sudah seharusnya dilakukan moratorium. Supaya tidak terlambat nantinya sehingga kebablasan dan menjadi tidak teratur.
Siti estuningsih
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) DIY Nur Andi Wijayanto kepada KORAN SINDO YOGYAmengungkapkan, tingkat pertumbuhan apartemen khususnya di Yogyakarta dan Sleman dilihat dari real demand atau permintaan sebenarnya belum terlalu signifikan dibandingkan landed house atau rumah berlahan.
“Dari sisi real demand belum sesignifikan landed house. Dan seberapa massive-nya, belum sebesar perumahan. Mulai muncul iya dan perkembangannya jadi salah satu yang sudah mulai dilirik,” ungkap Nur Andi.
Adapun perkembangan properti landed house maupun apartemen lebih banyak berpusat di tiga kawasan. Yaitu Sleman, Yogyakarta, dan Bantul. Seperti yang ada di kawasan utara terutama Jalan Kaliurang, sedikitnya akan ada tiga apartemen dan kondotel yang berdiri. Begitu pula di Jalan Palagan.
Keberadaan perguruan tinggi maupun tempat wisata yang ada di dekatnya menjadi salah satu daya tarik. Dia menambahkan pangsa pasar apartemen banyak ditujukan untuk mahasiswa, maupun orang tua yang mencarikan tempat tinggal bagi putraputrinya yang bersekolah di DIY. “Meski demikian, tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai investasi hari tua dan semacamnya,” ucapnya.
Mulai menjamurnya apartemen juga tidak lepasdari harga tanah yang kian tinggi. Apalagi yang ada di kawasan utara Yogyakarta, mengingat daerah ini tidak begitu luas. Sementara landed house makin tidak feasible untuk dikembangkan, terutama di daerah pendidikan, wisata, maupun pemukiman padat.
Sehingga muncul wacana pengembangan rumah ke atas dan mau tidak mau harus mengembangkan bangunan secara vertikal (ke atas), dan bukan horizontal (ke samping).
“Tourism dan education pasti, sehingga muncul permintaan tinggi. Untuk akomodasi edukasi misalnya, dulu orang tua atau mahasiswa lebih ke kos-kosan, sekarang apartemen. Bergeser pemikiran dari sewa ke beli,” papar Andi serayaa menambahkan berdasarkan survei terakhir di 2011, properti untuk landed house , 60% merupakan pembeli dari luar Yogyakarta dengan motif investasi cukup tinggi dibandingkan tempat tinggal.
Sementara itu, pengamat properti Munichy B Edrees menyatakan keprihatinannya tentang pertumbuhan properti yang begitu pesat di DIY, khususnya Yogyakarta dan Sleman. Dia menilai bisnis properti kini hanya memikirkan dari sisi komersial dan masuk era zaman kapitalisme. Tak heran sisi idealisme mulai tersisihkan.
Akibatnya tidak sedikit bangunan-bangunan yang merusak zona hijau maupun zona permukiman. Seperti yang ada di kawasan Kota Yogyakarta. “Masterplan Kota Yogyakarta harusnya disosialisasikan ke masyarakat. Jangan disimpan sehingga masyarakat ikut kawal. Contoh zona green area yang harusnya jadi tempat simpan air hujan, kenyataannya malah jadi mal atau hotel,” sesal Munichy.
Begitu pula dengan Alun-Alun maupun Stadion Kridosono yang justru rusak karena kerap digunakan sebagai tempat parkir. Menurut dia banyak sekali perizinan pembangunan properti diindikasikan melanggar dan tidak sesuai fungsi lahan seharusnya.
Dia mencontohkan hotel berbintang yang ada di kawasan Jalan AM Sangaji dan Purwokinanti Pakualaman Yogyakarta. Hotel ini dekat dengan aliran sungai dan berada di pinggir jalan. Begitu pula dengan kawasan Sleman yang sesuai peruntukannya untuk kawasan tadah air hujan sehingga tidak boleh dibangun. Apabila tidak ditata baik dan dibangun semena-mena, dia khawatir bisa mengubah fungsi tanah. Akibatnya kawasan selatan bisa banjir.
“Meski sudah dicanangkan tapi masih juga melanggar. Baik masyarakat maupun pengembang harus tahu masterplan dulu. Dan bagi yang mau beli tanah, harus tahu peruntukannya dahulu dan lihat dulu di masterplan ,” imbau dia.
Menurut Dosen Arsitek Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII Yogyakarta ini, kawasan Yogyakarta dan Sleman sudah termasuk gila-gilaan dalam pembangunan properti. Termasuk di antaranya apartemen.
Namun dirinya kurang begitu setuju dengan keberadaan apartemen di lingkup kampus. Karena diindikasikan bisa pula menjadi ajang “kumpul kebo”, selain merusak alam dan lingkungan. Mengingat beberapa di antaranya dibangun di zona permukiman padat.
“(Selama ini) yang banyak bermain (properti) bukan orang Yogyakarta. Kita hanya penonton atau suporter saja. Tidak sedikit yang bergesekan dengan hal itu. Seperti dahulu ada seniman yang demo supaya Yogyakarta jangan dijual untuk menggarap wisata dan sebagai tempat menginap,” urai Munichy.
Akibatnya, sekarang Yogyakarta padat dan penuh sesak. Setidaknya persebaran dilakukan secara merata dan kota maupun kabupaten yang ada di DIY bisa saling mendukung satu sama lain. Jadi tidak terpusat di tiga titik saja seperti Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.
Dia berpendapat memang sudah seharusnya dilakukan moratorium. Supaya tidak terlambat nantinya sehingga kebablasan dan menjadi tidak teratur.
Siti estuningsih
(bbg)