Pencemaran Limbah Kian Parah
A
A
A
SUBANG - Ribuan hektare areal persawahan di Kecamatan Pabuaran, Cipeundeuy, Patokbeusi, dan Blanakan, Kabupaten Subang, rusak akibat pencemaran limbah berbahaya.
Petani Desa Cihambulu Keca matan Pabuaran, Tajudin, 50, mengaku, tidak punya pilihan lain untuk mengairi lahan sawahnya yang kekeringan selain mengambil air dari Sungai Cilamaya yang tercemar. Walaupun pada akhirnya harus merugi karena sawahnya rusak.
“Tadinya saya pengen nyelamatin sawah yang kekeringan. Karena Sungai Cilamaya sumber air satu-satunya yang masih ada, saya bersama petani lainnya kepaksa ngambil air dari sungai itu. Tapi celakanya, karena pencemaran sungainya makin parah, tanaman padi saya malah rusak. Saya bisa gagal panen,” keluhnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Petani lainnya asal Dusun Grinting Desa Cilamaya Girang Kecamatan Blanakan, Kadafi, 55, menyebut, air sungai yang tercemar tidak hanya merusak tanaman padi, tapi juga menimbulkan sejumlah penyakit, seperti gatal-gatal dan gangguan pernafasan. Bahkan, ratusan hektare tambak ikan dan udang di kawasan Blanakan turut rusak.
“Air sungainya hitam pekat seperti oli bekas, baunya bikin pusing. Banyak warga di sini menderita sesak napas gara-gara menghirup bau itu,” tuturnya.
Kepala Desa Cihambulu Kecamatan Pabuaran Hasan Abdul Munir mengatakan, setiap musim kemarau, pencemaran sungai terlihat sangat kentara, dimana air berwarna hitam pekat dan berbau busuk. Dia memastikan, pencemaran bersumber dari limbah sejumlah pabrik di kawasan Purwasuka. “Misalnya pabrik kertas Papertech (Subang), PT Sanfu In donesia (Purwakarta), dan sejumlah pabrik lainnya,”ungkap Hasan.
Saat ini, kata dia, pencemaran sungai kian parah dan sama sekali tidak bisa digunakan oleh warga. Padahal biasanya, mereka masih bisa memanfaatkannya untuk kegiatan mencuci atau buang air.
“Sekarang ini air sungainya makin pekat, lengket dan berbau sangat busuk. Gak ada lagi kehidupan di sungai itu. Hektaran tanaman padi pun rusak karena pengairannya mengambil dari sungai tersebut,” paparnya.
Hasan menyayangkan, meski pencemaran sudah berlangsung 10 tahun, namun belum ada tindakan nyata dari pemerintah, baik dari pemkab, pemprov maupun pemerintah pusat, untuk menuntaskan masalah tersebut. Akibatnya, pencemaran terus berulang dan rutin terjadi setiap tahun sehingga kian merusak kehidupan warga terdampak. Dia pun mendesak Bupati Subang Ojang Sohandi agar segera menutup pabrik-pabrik pencemar sungai.
“Bupati harus berani bertindak tegas menutup pabrik-pabrik nakal yang seenaknya membuang limbah berbahaya secara sembarangan ke sungai itu,”tegasnya.
Terpisah, saat dikonfirmasi lewat ponselnya, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Subang Nano Sumpena mengakui, pencemaran yang menimpa Sungai Cilamaya seolah sudah menjadi ‘penyakit tahunan’ yang rutin mencapai puncaknya setiap memasuki musim kemarau, dimana kondisi air tampak berubah hitam pekat dan berbau busuk. Untuk mengatasi ini, pihaknya sudah berkali-kali berkoordinasi dengan Pemprov Jabar dengan melibatkan dua pemkab tetangga, yakni Pemkab Karawang dan Purwakarta.
“Untuk mengatasi pencemaran ini, kami gak mungkin bertindak sendiri. Sebab, penanganannya harus libatkan Purwakarta dan Karawang, karena sungai ini melintasi tiga daerah, yakni purwasuka. Terlebih, pabrik-pabrik yang diduga berkontribusi pada pencemaran juga tersebar di tiga kabupaten tersebut,”pungkas Nano.
usep husaeni
Petani Desa Cihambulu Keca matan Pabuaran, Tajudin, 50, mengaku, tidak punya pilihan lain untuk mengairi lahan sawahnya yang kekeringan selain mengambil air dari Sungai Cilamaya yang tercemar. Walaupun pada akhirnya harus merugi karena sawahnya rusak.
“Tadinya saya pengen nyelamatin sawah yang kekeringan. Karena Sungai Cilamaya sumber air satu-satunya yang masih ada, saya bersama petani lainnya kepaksa ngambil air dari sungai itu. Tapi celakanya, karena pencemaran sungainya makin parah, tanaman padi saya malah rusak. Saya bisa gagal panen,” keluhnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Petani lainnya asal Dusun Grinting Desa Cilamaya Girang Kecamatan Blanakan, Kadafi, 55, menyebut, air sungai yang tercemar tidak hanya merusak tanaman padi, tapi juga menimbulkan sejumlah penyakit, seperti gatal-gatal dan gangguan pernafasan. Bahkan, ratusan hektare tambak ikan dan udang di kawasan Blanakan turut rusak.
“Air sungainya hitam pekat seperti oli bekas, baunya bikin pusing. Banyak warga di sini menderita sesak napas gara-gara menghirup bau itu,” tuturnya.
Kepala Desa Cihambulu Kecamatan Pabuaran Hasan Abdul Munir mengatakan, setiap musim kemarau, pencemaran sungai terlihat sangat kentara, dimana air berwarna hitam pekat dan berbau busuk. Dia memastikan, pencemaran bersumber dari limbah sejumlah pabrik di kawasan Purwasuka. “Misalnya pabrik kertas Papertech (Subang), PT Sanfu In donesia (Purwakarta), dan sejumlah pabrik lainnya,”ungkap Hasan.
Saat ini, kata dia, pencemaran sungai kian parah dan sama sekali tidak bisa digunakan oleh warga. Padahal biasanya, mereka masih bisa memanfaatkannya untuk kegiatan mencuci atau buang air.
“Sekarang ini air sungainya makin pekat, lengket dan berbau sangat busuk. Gak ada lagi kehidupan di sungai itu. Hektaran tanaman padi pun rusak karena pengairannya mengambil dari sungai tersebut,” paparnya.
Hasan menyayangkan, meski pencemaran sudah berlangsung 10 tahun, namun belum ada tindakan nyata dari pemerintah, baik dari pemkab, pemprov maupun pemerintah pusat, untuk menuntaskan masalah tersebut. Akibatnya, pencemaran terus berulang dan rutin terjadi setiap tahun sehingga kian merusak kehidupan warga terdampak. Dia pun mendesak Bupati Subang Ojang Sohandi agar segera menutup pabrik-pabrik pencemar sungai.
“Bupati harus berani bertindak tegas menutup pabrik-pabrik nakal yang seenaknya membuang limbah berbahaya secara sembarangan ke sungai itu,”tegasnya.
Terpisah, saat dikonfirmasi lewat ponselnya, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Subang Nano Sumpena mengakui, pencemaran yang menimpa Sungai Cilamaya seolah sudah menjadi ‘penyakit tahunan’ yang rutin mencapai puncaknya setiap memasuki musim kemarau, dimana kondisi air tampak berubah hitam pekat dan berbau busuk. Untuk mengatasi ini, pihaknya sudah berkali-kali berkoordinasi dengan Pemprov Jabar dengan melibatkan dua pemkab tetangga, yakni Pemkab Karawang dan Purwakarta.
“Untuk mengatasi pencemaran ini, kami gak mungkin bertindak sendiri. Sebab, penanganannya harus libatkan Purwakarta dan Karawang, karena sungai ini melintasi tiga daerah, yakni purwasuka. Terlebih, pabrik-pabrik yang diduga berkontribusi pada pencemaran juga tersebar di tiga kabupaten tersebut,”pungkas Nano.
usep husaeni
(ftr)