Kelautan, Potensi yang Terlupakan

Minggu, 26 Oktober 2014 - 18:33 WIB
Kelautan, Potensi yang Terlupakan
Kelautan, Potensi yang Terlupakan
A A A
YOGYAKARTA - Kebijakan presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mengutamakan pengembangan sektor maritim memberi angin segar bagi DIY. Setidaknya, daerah ini menaruh harapan besar akan mendulang hasil lebih baik dari program yang akan dijalankan pasangan presiden baru, Jokowi-JK.

Dibanding daerah lain, panjang laut DIY memang tidak terlalu besar. DIY hanya memiliki panjang pantai 113 kilometer mil laut yang terdapat di tiga kabupaten yakni Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul. Sesuai zonasi kawasan pesisir, panjang pantai itu terdapat di17kecamatan, 33desa pesir.

Berdasarkan perhitungan Dinas Kelautan dan Perikanan DIY dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), setiap tahun dari 113 kilometer laut hingga 200 mil laut yang termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan masuk zonasi DIY, potensi yang ada mencapai 94.000 ton per tahun.

Dari potensi itu belum semuanya tergarap baik. Bahkan, produk yang dihasilkan terbilang masih sangat minim. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Andung Prihadi mengatakan, tahun 2013 saja produk hasil laut baru menyentuh angka 5.200 ton per tahun.

“Dihitung dari potensi yang dimiliki, angka itu relatif masih sangat kecil bahkan belum sampai 10%. Itu dihasilkan dari satu pelabuhan ikan besar 19 pangkalan ikan danTPI,” ucap Andung, kemarin. Menurut dia, pekerjaan rumah instansinya untuk meningkatkan produk hasil laut memang masih cukup berat.

Kondisi ini ditambah beberapa kendala di lapangan. Salah satunya, masih banyaknya kapal berukuran kecil seperti perahu tempel yang digunakan nelayan. Di DIY tercatat ada 647 perahu tempel dan kapal kecil dengan kapasitas di bawah 15 gross ton (GT). Padahal, jumlah ideal perahu kecil hanyalah 250 karena perahu jenis ini memiliki keterbatasan dengan daya jelajah dan daya berlayar.

Selain itu, faktor SDM masih menjadi kendala serius. Dari 2.400-an nelayan yang terdata, hanya 50-60 saja yang bisa dijadikan kader sebagai nelayan handal. Sistem magang nelayan yang semula diberlakukan mulai dihentikan tahun ini karena hasil yang kurang efektif. Sebagai gantinya, DKP membuat program lain dengan memaksa nelayan yang memiliki kemampuan mengoperasikan kapal besar untuk datang ke DIY.

Mereka akan dipaksa mengajari nelayan DIY agar bisa mengoperasikan kapal dengan ukuran besar. Sehingga ke depan jumlah kapal dengan kapasitas di atas 30 GT akan lebih banyak. Dengan model ini, nelayan DIY akan dipaksa untuk bisa berlayar di lautan 6-15 hari. Di samping itu, pihaknya juga menyiapkan regenerasi nelayan yang diambil dari keluarga nelayan, kelompok pencinta lingkungan maupun siswa SMK Kelautan. Mereka akan mengikuti pelatihan dan studi banding agar bisa menjadi nelayan profesional dan handal.

“Dengan jangkauan yang lebih luas, profesi ini akan semakin menggiurkan. Nelayan profesional bisa menghasilkan uang Rp100-150 juta setiap satu trip. Nelayan kita belum sampai ke arah itu. Sekarang sedang kita siapkan,” katanya.

Bagaimana tidak menggiurkan, di selatan Kulonprogo dan Jawa misalnya, di sana memiliki potensi ikan yang melimpah ruah. Salah satunya ikan tuna dan lobster yang banyak diburu pasar internasional. Ekspor tuna dan lobster menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Sayangnya, lagi-lagi keterbatasan kemampuan nelayan menjadi kendala. “Potensi ikan ini sangat banyak, hanya belum maksimal dieksploitasi,” ujar Sekretaris Dinas Kelautan Perikan dan Peternakan Kulonprogo Sudarno.

Nelayan yang bersandar di pesisir Kulonprogo masih menggunakan perahu tempel. Akibatnya daya jelajah dan kemampuan melaut mereka masih terbatas. Mereka hanya berangkat melaut pada pagi hari dan kembali pada siang hari. Keberadaan nelayan dengan perahu kecil seperti itu, juga hanya mengandalkan musim saja. Ketika ombak besar, mereka berhenti melaut. Padahal kerap laut selatan Jawa itu ombaknya cukup besar dan berisiko tinggi bagi nelayan yang nekat melaut. “Harapan kita pelabuhan Tanjung Adikarto itu bisa selesai, agar eksploitasi kelautan lebih maksimal,” katanya.

Kondisi yang sama juga terjadi di Bantul dan Gunungkidul. Potensi yang besar di sektor perikanan tidak diimbangi dengan kemampuan SDM yang memadai. SDM yang harus terus dilatih dari kehidupan masyarakat petani ke nelayan membutuhkan sebuah proses panjang. Kasi Pengembangan dan Penangkapan, Sarana dan Prasarana Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bantul Istriyani mengungkapkan, nelayan di pesisir selatan Bantul selama ini hanya mengandalkan peralatan sederhana untuk menangkap ikan sehingga hasilnya tidak maksimal. Terlebih, penangkapan ikan di Bantul sangat dipengaruhi oleh alam dan musim yang sedang melanda kawasan tersebut.

“Panen penangkapan pada bulan Oktober-April dengan jumlah trip penangkapan per tahun rata-rata 105 trip, sedang pada bulan Mei - September mengalami musim paceklik,”papar Istriyani. Dengan peralatan sederhana jangkauan penangkapan ikan 4 mil laut dan hanya dapat menangkap jenis ikan bawah permukaan saja, seperti udang dan ikan bawal. Rata-rata per tahun hasil penangkapan ikan laut sebesar 344.668 kg. Menurut survei jarak 4 mil laut, Bantul memiliki potensi lestari perikanan laut mencapai sekitar 6.900 ton per tahun.

Istri mengakui jika potensi ikan laut belum termanfaatkan secara optimal bahkan belakangan tangkapannya cenderung menurun. Jumlah produktivitas tangkapan ikan di Kabupaten Bantul jauh menurun dibanding tahun 2013 lalu. Sepinya aktivitas melaut oleh nelayan karena penurunan jumlah ikan yang ditengarai akibat adanya tambak udang cukup berdampak terhadap produktivitas tangkapan ikan.

Berdasarkan data yang dimiliki DKP, tahun 2013 lalu total produktivitas tangkapan ikan laut di Bantul mencapai 153,4 ton. Namun tahun ini, hingga triwulan terakhir produksi ikan tangkap di Bantul baru mencapai 113,2 ton. “Sebenarnya jumlah perahu nelayan masih sama, tetapi aktivitas melaut yang berkurang. Ini karena sepi ikan sehingga nelayan enggan melaut. Ramai itu tahun 2012, tahun 2013 saja menurun,” ujarnya.

Ia mengakui jika aktivitas melaut yang dilakukan cukup sepi semenjak maraknya tambak udang. Hal ini sangat terlihat di Pantai Pandansimo dan Pantai baru. Hal yang sama juga terlihat dari nelayan di Depok dan Pantai Samas masih ramai. Selain tak lagi melaut karena sepi ikan, beberapa nelayan beralih memelihara udang. Di pesisir Bantul terdapat 5 pusat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang telah dimanfaatkan oleh nelayan masing-masing TPI Mancingan Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek; TPI Depok Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek; TPI Samas Desa Srigading, Kecamatan Sanden; TPI Kuaru Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan; TPI Ngentak Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan; Hampir semua TPI belum mampu mencukupi kebutuhan ikan di Bantul.

Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bantul Isti Warsono mengatakan, meski kekayaan laut di selatan Kabupaten Bantul sangat luar biasa, ternyata hingga kini belum juga memberikan kontribusi maksimal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ratusan nelayan yang selama ini mengambil manfaat di laut selatan Bantul juga belum memberikan kontribusi positif terhadap PAD. Bahkan, nelayan Bantul lebih banyak memberikan kontribusi PAD Gunungkidul.

Alasannya, ketiadaan dermaga besar di pesisir selatan Bantul menyebabkan nelayannelayan besar tak pernah berlabuh di Bantul. Bahkan perahuperahu milik Pemkab dengan kapasitas besar mulai dari 7 hingga 42 gross ton selama ini berlabuh di Pantai Sadeng, Gunungkidul.

“Selama ini kontribusi PAD dari sektor perikanan hanya dari penyewaan beberapa kapal milik Pemkab. Kontribusi lain seperti penggunaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan sisi perikanan lain belum bisa memberikan pemasukan. Memang masih ada yang perlu digerakkan,” kata Isti seusai acara penyerahan bantuan Langsung Masyarakat Pesisir, kemarin. Menurut Isti, sebenarnya sejak tahun 2012 Kabupaten Bantul telah memiliki perda No.1/2012 tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hanya, perda tersebut belum dapat diterapkan karena belum dilengkapi peraturan pelaksana berupa peraturan bupati sehingga retribusi dari penangkapan belum bisa masuk.

Saat ini Pemkab Bantul memiliki empat kapal berbobot 7 hingga 10 gross ton. Semuanya disewakan kepada nelayan Bantul. Kemudian, nelayan-nelayan Bantul juga memiliki lima kapal berbobot 30 hingga 42 gross ton hasil bantuan dari pemerintah pusat. “Sewanya sekitar Rp 47 juta per tahun,” ucapnya. Ketiadaan dermaga besar di Kabupaten Bantul mengakibatkan perahu-perahu tersebut tidak pernah berlabuh di Pantai Bantul. Perahu-perahu tersebut memilih berlabuh di Pantai Sadeng yang memungkinkan menyandarkan perahu mereka. Hal tersebut merupakan bentuk kerugian bagi pemkab karena berbagai produksi hasil tangkapan laut dari kapal-kapal besar tersebut diolah di Gunungkidul. Oleh karena itu, DKP berencana menempatkan kapalkapal milik pemkab di pelabuhan Kulonprogo untuk meraup keuntungan.

“Itu suatu kerugian bagi dinas karena kita nggak punya dermaga. Sebenarnya besar sih hasil tangkapannya,” ujar Isti. Selain potensi kelautan yang sangat besar, potensi kemaritiman yang dimiliki DIY juga berpeluang besar untuk diekplorasi. Pantai di DIY menjanjikan PAD yang berlimpah. Di Kulonprogo, terdapat banyak pantai yang indah, seperti Pantai Glagah; Congot, hingga Pantai Trisik. Di sepanjang pantai inipun kini banyak dikembangkan tambaktambak udang vaname untuk memenuhi pasar ekspor. Hanya saja keberadaan tambak ini masih tarik ulur karena melanggar sempadan pantai.

PT Jogja Magasa Iron (JMI) juga akan melakukan eksploitasi potensi pantai di Kulonprogo dengan mendirikan pabrik pengolahan biji besi. Pasir besi yang ada di pesisir selatan Kulonprogo memiliki kandungan besi (Fe), titanium hingga vanadium yang merupakan bahan baja berkualitas. Sedangkan di kawasan Pesisir Trisik, menjadi tempat mendaratnya penyu-penyu untuk bertelur.

Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo mengatakan pembangunan menghadap selatan memanfaatkan potensi kelautan telah menjadi visi gubernur dari Among tani menjadi Dagang Layar. Hal yang sama juga terdapat di Gunungkidul, potensi pantai sebagai penggerak PAD sangat besar. Di sepanjang pantai Gunungkidul, menyimpan keindahan yang terpendam.

Kepala Bidang Pengembangan produk Wisata Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan (Disbudpar) Gunungkidul Hari Sukmono menjelaskan, untuk mengembangkan sektor kelautan atau maritim, tidak hanya untuk eksploitasi hasil laut saja. Potensi wisata air juga terus digarap untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pendapatan daerah.”Kita terus tata pantai, sehingga diharapkan Gunungkidul menjadi tempat eksotik kedua setelah Bali,” ucapnya.

Momentum Kebangkitan Kelautan


Kepala Pusat Studi Kelautan UGM Yosi Bayu Murti mengatakan, pemilihan fokus kerja Presiden Jokowi pada kemaritiman untuk pemerintahan baru Indonesia merupakan suatu momentum yang ditunggu selama ini. Sebagai negara kepulauan, dia menilai pemerintah selama ini tidak memikirkan aspek kepulauan tersebut dalam proses pembangunan.

“Selama ini kita lebih tergantung pada daratan, padahal kita memiliki lebih dari 13.000 pulau kecil yang dikelilingi lautan. Akibatnya, pulau-pulau kecil tersebut tidak memiliki kemandirian dan sangat bergantung pada pulau-pulau besar yang jumlahnya sangat sedikit,” ujarnya.

Yosi menambahkan, ketidakmandirian belasan ribu pulau-pulau kecil tersebut membuat masyarakat di pulaupulau kecil mengalami kerentanan, mulai dari kerentanan pangan, kesehatan hingga kerentanan energi. Padahal, dengan dukungan dari pemerintah, pulau mandiri bisa diwujudkan.

“Selama ini kehidupan di pulau-pulau kecil sangat bergantung pada transportasi laut. Padahal, jika ada gelombang tinggi, masyarakatnya menjadi seperti terisolir. Jika potensi tiap pulau bisa dikembangkan, dukungan pemerintah terkait pengadaan fasilitas hidup dasar ada dan makan juga tidak harus nasi, pulau mandiri bisa diwujudkan,” ucapnya.

Menurut Yosi, Indonesia harus memulai upaya menggeser pemahaman daratan menjadi kelautan. Namun, kelautan dalam hal ini kelautan sebagai penghubung atau mengolaborasikan laut dan darat. Terkait potensi kelautan DIY, DIY memiliki cukup banyak potensi kelautan. Hanya saja, hingga saat ini baru potensi wisata laut saja yang sudah cukup baik tergarap, bahkan tanpa bantuan ekstra dari pemerintah. Namun sebenarnya, potensi perikanan laut DIY bisa digarap dengan lebih baik.

“Bahkan jika perikanan DIY bisa digarap maksimal, tidak menutup kemungkinan sektor ini mampu menjadi salah satu sektor pendukung utama perekonomian DIY. Hanya saja memang masih ada kendala utama yakni budaya masyarakat DIY yang masih memiliki pemikiran lebih ke daratan daripada lautan,” paparnya.

Mindset masyarakat DIY lebih pada masyarakat agraris sehingga jam kerja nelayan DIY pun hanya pagi hingga petang. Dengan waktu kerja semacam itu, pantas saja jika hasil tangkapan lautnya tidak banyak. Dengan cara rekayasa budaya, mindset masyarakat DIY menurut Yosi bisa diubah.

“Dengan dukungan teknis dan penyediaan sarana prasarana yang memadai, saya yakin potensi perikanan DIY bisa tergarap baik. Namun tak hanya itu, jika benar-benar ingin menggarap potensi laut, pemerintah pun harus membuat regulasi terkait sea traffic control , di mana hal tersebut menjadi penjamin keselamatanpara pelautkita. Hal ini juga bisa menjadi upaya mendorong agar para pelaut kita lebih berani melaut,” ucapnya.

Sodik/kuntadi/ Erfanto linangkung/ Suharjono/Ratih keswara
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6500 seconds (0.1#10.140)