Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang

Senin, 20 Oktober 2014 - 05:05 WIB
Mohammad Hatta, Mendayung...
Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang
A A A
BEBERAPA hari lalu, pada Selasa 14 Oktober 2014, Kementerian Luar Negeri bersama Yayasan Sekar Manggis, memberikan penghargaan kepada mantan Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta, sebagai pahlawan diplomasi.

Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 ini, dinilai berhasil menjalankan politik bebas aktif, dan mendorong kerjasama luar negeri dengan negara-negara maju dan berkembang pada masanya.

Seperti diketahui, pada tahun 1949, Bung Hatta merangkap jabatan sebagai Wakil Presiden Indonesia sekaligus Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan. Namun begitu, Hatta tetap menjalankan tugas-tugas itu dengan profesional.

Pada Cerita Pagi kali ini, penulis ingin mengulas secara singkat peran Bung Hatta dalam politik bebas aktif itu, hal yang melatarbelakanginya, dan hasil diplomasi yang berhasil dicapainya.

Pertimbangan diambilnya politik bebas aktif adalah, situasi politik di dalam, dan luar negeri. Namun perhatian lebih besar dipusatkan pada politik luar negeri, dengan berkecamuknya perang dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.

Saat terjadi perang dingin itu, golongan kiri di Indonesia sedang mengalami masa kejayaannya. Desakan golongan kiri untuk memihak ke kubu Soviet dan melawan AS pun sangat kuat. Namun desakan itu dinilai sangat berbahaya oleh Bung Hatta.

Baginya, Indonesia harus tetap berada diposisi netral dalam menghadapi perang dingin. Sikap Bung Hatta ini, mendapatkan dukungan dari Soekarno dan Sutan Syahrir yang juga memiliki pandangan yang sama.

Bung Hatta melihat, posisi Indonesia saat itu ibarat kapal yang sedang berlayar di laut lepas, dan harus melewati dua karang raksasa. Untuk mendayung antara dua karang itu, maka dibutuhkan sikap politik yang tegas, bebas dan aktif.

Seperti diungkapkan sendiri oleh Bung Hatta, dengan terlibat perang dingin, Indonesia tidak akan memiliki kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka. Sebaliknya, Indonesia akan tetap berada di bawah kendali negara-negara yang bertikai.

Untuk itu, yang terpenting dilakukan bangsa Indonesia adalah, bukan ikut-ikutan dalam konflik perang dingin, tetapi terus berjuang mencapai kemerdekaan 100 persen, dan mempertahankan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Sikap Indonesia yang memilih netral dalam perang dingin mendapat dukungan dari negara-negara Asia-Afrika yang berkembang, dan Konfrensi Asia-Afrika (KAA), di Bandung, tahun 1955. Konfrensi ini lalu menghasilkan Dasasila Bandung.

Dasasila Bandung merupakan pernyataan sikap politik negara-negara berkembang yang ingin tetap netral selama terjadi perang dingin. Resolusi ini juga menolak penjajahan dan intervensi asing terhadap urusan dalam negeri masing-masing negara.

Konfrensi ini juga mengikat negara masing-masing anggotanya untuk tidak terlibat aliansi militer atau pakta pertahanan dengan negara yang terlibat konflik perang dingin, dan bersikap netral dalam politik internasional.

Gerakan itu meluas dan menghasilnya Gerakan Nonblok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, tahun 1961. Dalam aliansi strategis itu, Indonesia terpilih menjadi salah satu juru bicara negara-negara berkembang peserta GNB.

Inilah capaian terbesar politik luar negeri Indonesia. Jauh sebelum itu, tahun 1946, Indonesia juga telah menjalin hubungan luar negeri dengan India. Hubungan ini dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan makanan.

Rakyat India yang sedang dilanda bencana kelaparan, mendapatkan bantuan 500.000 ton gabah. Kendati jumlah yang dibutuhkan jauh lebih besar, bantuan yang diberikan Indonesia cukup menarik perhatian dunia internasional.

Sikap politik Bung Hatta dan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif itu merupakan perwujudan dari UUD 1945 dan Pancasila yang memiliki arti, bebas menentukan sikap sendiri, dan aktif menciptakan perdamaian dunia.

Hingga kini, politik bebas aktif yang mulai dijalankan sejak awal berdirinya Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945, dan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, pada Desember 1949, masih menjadi pegangan politik luar negeri Indonesia.

Demikian ulasan singkat Cerita Pagi kali ini, mengupas sejarah singkat politik luar negeri dan diplomasi luar negeri yang digagas Bung Hatta, di periode awal berdirinya Republik Indonesia.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1270 seconds (0.1#10.140)