Tersangka Alih Fungsi Lahan UGM Ajukan Pakar Hukum Agraria
A
A
A
YOGYAKARTA - Para tersangka dugaan korupsi alih fungsi lahan Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali mengajukan pihak meringankan kepada penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY. Kali ini, yang diajukan adalah pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum UGM Profesor Nur Hasan Ismail.
"Penyidik telah memeriksa ahli dari Fakultas Hukum UGM yang diajukan oleh tersangka. Dia adalah Nur Hasan Ismail, dosen hukum UGM," terang Purwanta Sudarmaji, Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY, Kamis (16/10/2014).
Total, para tersangka telah mengajukan empat pihak untuk meringankan sangkaan penyidik Kejati, yaitu tiga orang saksi dan seorang ahli. Sebelumnya, pada Senin (13/10/2014) para tersangka telah menyodorkan tiga saksi meringankan, yaitu Profesor Sri Widodo yang merupakan mantan Sekretaris Yayasan Pembina Pertanian periode 1969-1972 dan tahun 1974, Profesor Soemartono selaku mantan dosen Fakultas Pertanian UGM, dan Dipayana, mantan Kasubbag Kemahasiswaan dan Alumni Fakulas Pertanian UGM.
Purwanta menyatakan, pemeriksaan saksi dan ahli tersebut sebagai kewajiban penyidik sesuai KUHAP. "Tersangka memiliki hak untuk menghadirkan saksi-saksi atau ahli meringankan, dan penyidik telah memenuhi hak para tersangka," jelasnya.
Diperkirakan, penyidik segera melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan melimpahkannya ke jaksa peneliti paling cepat pekan depan, agar bisa segera diketahui apakah BAP bisa dinyatakan lengkap (P21) atau belum.
Dalam kasus alih fungsi lahan UGM ini, Kejati menetapkan empat dosen Fakultas Pertanian UGM sebagai tersangka. Mereka adalah Profesor Soesamto yang dalam kasus ini adalah Ketua Yayasan Pembina Pertanian (kini bernama Yayasan Fapertagama) kurun waktu 2000-2007. Soesamto saat ini tercatat sebagai Ketua Majelis Guru Besar UGM.
Tersangka lainnya, Triyanto, yang saat ini menjabat Wakil Dekan III Bidang Keuangan, Aset dan SDM Fakultas Pertanian UGM. Dua tersangka lainnya, Toekidjo dan Ken Suratiyah. Triyanto, Toekidjo, dan Ken Suratiyah adalah pengurus yayasan.
Penyidik menuding keempat tersangka sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penyerobotan lahan milik UGM seluas 4.000 meter persegi di Plumbon, Banguntapan, Bantul kurun waktu 2000-2007. Lahan tersebut diklaim oleh yayasan dan dijual kepada pengembang perumahan. Padahal, berdasar temuan penyidik, lahan di Plumbon itu dibeli secara resmi oleh UGM pada tahun 1963.
Uang hasil penjualan lahan di Plumbon diduga kuat dimanfaatkan untuk kepentingan yayasan, yaitu ada yang disimpan dalam rekening bank atas nama pribadi dan ada yang dibelikan lahan lain. Sejauh ini, Kejati DIY telah menyita barang bukti di antaranya uang tunai Rp2 miliar lebih, lahan seluas 9.114 meter persegi di Wukirsari, Cangkringan, Sleman dan lahan hampir tiga hektare di Wonocatur, Banguntapan, Bantul.
Berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DIY, dalam kasus ini negara mengalami kerugian keuangan mencapai Rp11,2 miliar.
Terpisah, pengacara para tersangka, Augustinus Hutajulu menyatakan bahwa pembelian lahan yang dilakukan oleh UGM pada tahun 1963 batal demi hukum. Karena subjeknya yaitu UGM tidak bisa memiliki hak milik. Hal itu diatur dalam Perda Nomor 5/1954 tentang Pemberian Hak Milik dan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5/1960.
"UGM tidak dimungkinkan memiliki hak atas tanah orang perseorangan. Peralihan hak juga melanggar Perda Nomor 11/1954 tentang tata cara peralihan hak milik," tegasnya.
"Penyidik telah memeriksa ahli dari Fakultas Hukum UGM yang diajukan oleh tersangka. Dia adalah Nur Hasan Ismail, dosen hukum UGM," terang Purwanta Sudarmaji, Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY, Kamis (16/10/2014).
Total, para tersangka telah mengajukan empat pihak untuk meringankan sangkaan penyidik Kejati, yaitu tiga orang saksi dan seorang ahli. Sebelumnya, pada Senin (13/10/2014) para tersangka telah menyodorkan tiga saksi meringankan, yaitu Profesor Sri Widodo yang merupakan mantan Sekretaris Yayasan Pembina Pertanian periode 1969-1972 dan tahun 1974, Profesor Soemartono selaku mantan dosen Fakultas Pertanian UGM, dan Dipayana, mantan Kasubbag Kemahasiswaan dan Alumni Fakulas Pertanian UGM.
Purwanta menyatakan, pemeriksaan saksi dan ahli tersebut sebagai kewajiban penyidik sesuai KUHAP. "Tersangka memiliki hak untuk menghadirkan saksi-saksi atau ahli meringankan, dan penyidik telah memenuhi hak para tersangka," jelasnya.
Diperkirakan, penyidik segera melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan melimpahkannya ke jaksa peneliti paling cepat pekan depan, agar bisa segera diketahui apakah BAP bisa dinyatakan lengkap (P21) atau belum.
Dalam kasus alih fungsi lahan UGM ini, Kejati menetapkan empat dosen Fakultas Pertanian UGM sebagai tersangka. Mereka adalah Profesor Soesamto yang dalam kasus ini adalah Ketua Yayasan Pembina Pertanian (kini bernama Yayasan Fapertagama) kurun waktu 2000-2007. Soesamto saat ini tercatat sebagai Ketua Majelis Guru Besar UGM.
Tersangka lainnya, Triyanto, yang saat ini menjabat Wakil Dekan III Bidang Keuangan, Aset dan SDM Fakultas Pertanian UGM. Dua tersangka lainnya, Toekidjo dan Ken Suratiyah. Triyanto, Toekidjo, dan Ken Suratiyah adalah pengurus yayasan.
Penyidik menuding keempat tersangka sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penyerobotan lahan milik UGM seluas 4.000 meter persegi di Plumbon, Banguntapan, Bantul kurun waktu 2000-2007. Lahan tersebut diklaim oleh yayasan dan dijual kepada pengembang perumahan. Padahal, berdasar temuan penyidik, lahan di Plumbon itu dibeli secara resmi oleh UGM pada tahun 1963.
Uang hasil penjualan lahan di Plumbon diduga kuat dimanfaatkan untuk kepentingan yayasan, yaitu ada yang disimpan dalam rekening bank atas nama pribadi dan ada yang dibelikan lahan lain. Sejauh ini, Kejati DIY telah menyita barang bukti di antaranya uang tunai Rp2 miliar lebih, lahan seluas 9.114 meter persegi di Wukirsari, Cangkringan, Sleman dan lahan hampir tiga hektare di Wonocatur, Banguntapan, Bantul.
Berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DIY, dalam kasus ini negara mengalami kerugian keuangan mencapai Rp11,2 miliar.
Terpisah, pengacara para tersangka, Augustinus Hutajulu menyatakan bahwa pembelian lahan yang dilakukan oleh UGM pada tahun 1963 batal demi hukum. Karena subjeknya yaitu UGM tidak bisa memiliki hak milik. Hal itu diatur dalam Perda Nomor 5/1954 tentang Pemberian Hak Milik dan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5/1960.
"UGM tidak dimungkinkan memiliki hak atas tanah orang perseorangan. Peralihan hak juga melanggar Perda Nomor 11/1954 tentang tata cara peralihan hak milik," tegasnya.
(zik)