Warga di 3 Dusun Terdampak Merapi Tolak Direlokasi
A
A
A
SLEMAN - Warga tiga dusun di Srunen, Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, yang berdampak langsung Merapi menolak direlokasi. Sebab, penetapan dusun berdampak itu dilakukan sepihak.
Terbukti, pemerintah belum pernah mengajak warga untuk membahas masalah tersebut, termasuk mensosialisasikannya.
Warga Srunen Algralno mengatakan, sebagai warga setempat, dirinya jelas menolak bila diminta pindah dan mengosongkan dusunnya. Penolakan ini bukan tanpa dasar. Selain berhubungan dengan kehidupan, yaitu mata pencaharian, juga tidak mengetahui, apa yang menjadi parameter menetapkan wilayahanya sebagai daerah yang berada di zona bahaya.
“Ini yang kami pertanyakan. Sebab selama ini, setahu saya belum ada petugas pusat maupun daerah yang datang ke sini. Tahu-tahu kok masuk daerah berdampak,” tanyanya, kepada wartawan, Kamis (11/9/2014).
Agralno juga mempertanyakan adanya Perda Sleman yang memasukan dusunnya menjadi kawasan rawan bencana (KRB) pada tahun 2011. Sebab masyarakat tidak pernah dilibatkan. Selain itu, saat keluarnya perda di daerah Srunen dan sekitarnya, juga sudah berdiri rumah-rumah permanen paska erupsi Merapi 2010.
“Harusnya sebelum membuat aturan harus melihat kondisi dan fakta dulu di lapangan,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala desa (Kades) Glagaharjo Suroto mengatakan, karena belum semua masyarakat mengetahui perpres tersebut, maka pemkab diaharap segera melakukan sosialisasi. Pihaknya sendiri akan melakukan pendampingan. Sehingga dengan adanya kejelasan itu, diharapkan tidak menimbulkan keresahan masyarakat.
“Kami juga mengharapkan para kades yang ada di lereng Merapi maupun di Sleman dikumpulkan untuk membahas masalah ini,” harap Suroto, saat ditemui di ruang kerjanya.
Sebelumnya, Bupati Sleman Sri Purnomo mengaku belum menemukan formula guna memindahkan warga lereng Merapi yang berada di kawasan terdampak langsung Merapi. Ini lantaran menyangkut dengan kehidupan sosial. Sehingga untuk kegiatan tersebut tidak mudah, namun harus dengan kajian, pendekatan, dan kesadaran.
Terbukti, pemerintah belum pernah mengajak warga untuk membahas masalah tersebut, termasuk mensosialisasikannya.
Warga Srunen Algralno mengatakan, sebagai warga setempat, dirinya jelas menolak bila diminta pindah dan mengosongkan dusunnya. Penolakan ini bukan tanpa dasar. Selain berhubungan dengan kehidupan, yaitu mata pencaharian, juga tidak mengetahui, apa yang menjadi parameter menetapkan wilayahanya sebagai daerah yang berada di zona bahaya.
“Ini yang kami pertanyakan. Sebab selama ini, setahu saya belum ada petugas pusat maupun daerah yang datang ke sini. Tahu-tahu kok masuk daerah berdampak,” tanyanya, kepada wartawan, Kamis (11/9/2014).
Agralno juga mempertanyakan adanya Perda Sleman yang memasukan dusunnya menjadi kawasan rawan bencana (KRB) pada tahun 2011. Sebab masyarakat tidak pernah dilibatkan. Selain itu, saat keluarnya perda di daerah Srunen dan sekitarnya, juga sudah berdiri rumah-rumah permanen paska erupsi Merapi 2010.
“Harusnya sebelum membuat aturan harus melihat kondisi dan fakta dulu di lapangan,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala desa (Kades) Glagaharjo Suroto mengatakan, karena belum semua masyarakat mengetahui perpres tersebut, maka pemkab diaharap segera melakukan sosialisasi. Pihaknya sendiri akan melakukan pendampingan. Sehingga dengan adanya kejelasan itu, diharapkan tidak menimbulkan keresahan masyarakat.
“Kami juga mengharapkan para kades yang ada di lereng Merapi maupun di Sleman dikumpulkan untuk membahas masalah ini,” harap Suroto, saat ditemui di ruang kerjanya.
Sebelumnya, Bupati Sleman Sri Purnomo mengaku belum menemukan formula guna memindahkan warga lereng Merapi yang berada di kawasan terdampak langsung Merapi. Ini lantaran menyangkut dengan kehidupan sosial. Sehingga untuk kegiatan tersebut tidak mudah, namun harus dengan kajian, pendekatan, dan kesadaran.
(san)