Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan
A
A
A
KAPAN ajaran Islam masuk Sulawesi Selatan? Pertanyaan itu hanya akan bisa terjawab dengan penelusuran sejarah. Menilik jejak sejarah Islam di Sulawesi Selatan, akan selalu diidentikkan dengan kedatangan tiga mubalig dari Minangkabau yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang.
Kedatangan mereka pada abad ke-17 dianggap sebagai peletak dasar ajaran Islam di daerah ini. Tiga mubalig ini berhasil mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607.
Menurut pakar sejarah Islam Sulsel Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.
Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.
Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).
Dia memaparkan, berdasarkan teori Islamisasi di Makassar yang digagas penulis Belanda J Noor Duyn, periode perkembangan Islam di daerah ini dibagi atas tiga, masing-masing kedatangan Islam, penerimaan Islam, dan yang ketiga adalah penyebaran Islam.
"Namun teori yang kita gunakan dan diketahui secara umum adalah teori penerimaan Islam di Sulsel pada abad ke-17. Sementara teori tentang masuknya Islam di Sulsel sudah ada pada abad ke-16," jelas Pembantu Rektor I Universitas Negeri Islam (UIN) Alauddin Makassar ini.
Dia menjelaskan, setiba di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa
Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.
Ketiganya mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam, Sultan Muhammad Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka (Sultan Abdullah Awalul Islam) yang hampir bersamaan dengan raja Gowa Sultan Alauddin pada 22 September 1605. "Jadi sebenarnya dari Luwu dulu yang masuk Islam, namun yang lebih dikenal adalah Kerajaan Tallo dan Gowa, karena memang besar dan diumumkan kepada masyarakatnya," ungkap Ahmad Sewang.
Selain itu, kata dia, Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan. Beliau diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam).
Dalam buku Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan oleh HA Massiara Dg Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya.
Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.
Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.
Sementara, menurut salah seorang keturunan Datuk ri Bandang, Ince Muhammad Anas Hasan, kondisi kehidupan sosial, budaya, dan cara perniagaan pedagang Islam lambat laun terdengar oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Mapirisika Kallonna pada abad ke-15.
Raja kemudian membandingkan kultur yang dipakai dan sosial budaya yang dibawa oleh orang- orang yang beragama Islam, yang memang sudah mempunyai ketentuan-ketentuan yang bermaktub dalam satu kitab yang mereka (pedagang Islam) patuhi. "Mulai saat itu, raja tertarik kepada tata tertib kemasyarakatan yang di bawah untuk dapat diterapkan dan dikerjakan," jelas Ince yang juga Ketua Yayasan Dato (Datuk) ri Bandang Sulsel.
Kedatangan mereka pada abad ke-17 dianggap sebagai peletak dasar ajaran Islam di daerah ini. Tiga mubalig ini berhasil mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607.
Menurut pakar sejarah Islam Sulsel Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.
Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.
Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).
Dia memaparkan, berdasarkan teori Islamisasi di Makassar yang digagas penulis Belanda J Noor Duyn, periode perkembangan Islam di daerah ini dibagi atas tiga, masing-masing kedatangan Islam, penerimaan Islam, dan yang ketiga adalah penyebaran Islam.
"Namun teori yang kita gunakan dan diketahui secara umum adalah teori penerimaan Islam di Sulsel pada abad ke-17. Sementara teori tentang masuknya Islam di Sulsel sudah ada pada abad ke-16," jelas Pembantu Rektor I Universitas Negeri Islam (UIN) Alauddin Makassar ini.
Dia menjelaskan, setiba di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa
Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.
Ketiganya mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam, Sultan Muhammad Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka (Sultan Abdullah Awalul Islam) yang hampir bersamaan dengan raja Gowa Sultan Alauddin pada 22 September 1605. "Jadi sebenarnya dari Luwu dulu yang masuk Islam, namun yang lebih dikenal adalah Kerajaan Tallo dan Gowa, karena memang besar dan diumumkan kepada masyarakatnya," ungkap Ahmad Sewang.
Selain itu, kata dia, Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan. Beliau diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam).
Dalam buku Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan oleh HA Massiara Dg Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya.
Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.
Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.
Sementara, menurut salah seorang keturunan Datuk ri Bandang, Ince Muhammad Anas Hasan, kondisi kehidupan sosial, budaya, dan cara perniagaan pedagang Islam lambat laun terdengar oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Mapirisika Kallonna pada abad ke-15.
Raja kemudian membandingkan kultur yang dipakai dan sosial budaya yang dibawa oleh orang- orang yang beragama Islam, yang memang sudah mempunyai ketentuan-ketentuan yang bermaktub dalam satu kitab yang mereka (pedagang Islam) patuhi. "Mulai saat itu, raja tertarik kepada tata tertib kemasyarakatan yang di bawah untuk dapat diterapkan dan dikerjakan," jelas Ince yang juga Ketua Yayasan Dato (Datuk) ri Bandang Sulsel.
(zik)