Jamaah An Nadzir Bangun Kemandirian dari Mawang
A
A
A
SUNGGUMINASA - Tidak sulit mengenali jamaah An-Nadzir dengan penampilannya yang tidak biasa. Untuk laki-lakinya berambut panjang sebahu yang dicat dengan warna keemasan.
Pemandangan itulah yang tergambar saat memasuki Desa Mawang, Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Selain penampilan itu, pada waktu-waktu tertentu jamaah menggunakan baju panjang berwarna hitam lengkap dengan sorban, celak, dan wewangian.
Untuk perempuannya memakai jilbab besar dan terkadang dilengkapi dengan cadar bernuansa hitam.
Untuk menjangkau perkampungan komunitas An-Nadzir tidaklah terlalu sulit. Dari jarak sekitar dua kilometer dari lokasi, warga Kabupaten Gowa sudah langsung bisa menunjukkan detail lokasinya.
Desa Mawang dari Kota Sungguminasa berjarak sekitar lima kilometer arah Timur, Poros Malino tepatnya di belakang Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Gowa, di situlah komunitas An-Nadzir “bermarkas.”
Rumah panggung sederhana nampak berdiri dengan tinggi dari tanah sekitar satu meter berbahan dinding papan dan lantai bambu tepat berada di pinggir Danau Mawang.
Menurut Kasrum (41) seorang jamaah An-Nadzir rumah ini memang diperuntukkan untuk menerima tamu yang datang.
Jamaah An-Nadzir menetapkan 1 Ramadan 1435 H pada Jumat, 27 Juni 2014, sehingga mereka berpuasa lebih awal dari kelompok muslim lainnya.
"Hilal ini dengan melihat tanda-tanda alam, misalnya pasang surut air laut dan juga berakhirnya bulan Syaban pada 27 Juni 2014 tepat matahari di atas ubun-ubun," kata Pimpinan Jamaah An-Nadzir Ustadz Lukman di Kecamatan Bonto Marannu, Kabupaten Gowa, Sulsel, Jumat, 27 Juni 2014, seperti dikutip dari Antara.
Dia mengatakan, meskipun lebih awal melakukan puasa namun tetap menghargai yang berpuasa pada hari yang lain.
Karena itu dinilai suatu hilal yang dapat saja berbeda sesuai dengan pembacaan tanda-tanda alam atau perhitungan (hisab) penanggalan Islam.
Komunitas An-Nadzir mulai berkembang di Indonesia dengan kedatangan Kyai Syamsuri Madjid di Indonesia pada 1998 yang melakukan perjalanan dakwah di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Makassar dan Luwu.
Syamsuri adalah seorang dai dari Malaysia yang merupakan putera Dumai, Pekanbaru, Riau.
Kemunculan aliran ini tentunya tidak bisa lepas dari terbukanya kran kebebasan berekspresi pada awal reformasi.
Lima tahun kemudian, An-Nadzir mulai mengorganisasi diri sebagai organisasi keagamaan pada 8 Februari 2003 di Jakarta.
Khusus di Sulsel, awalnya An-Nadzir berkembang di Luwu. Mulai berkembang di Kota Palopo dan beberapa daerah di Tana Luwu.
Namun, An-Nadzir kemudian mengalami masa stagnasi pada tahun 2006, setelah meninggalnya Syamsuri.
Bahkan, pemerintah daerah kemudian mengeluarkan surat keputusan menghentikan segala bentuk aktivitas An-Nadzir di Tana Luwu.
Dari Luwu, mulailah pengikut An-Nazir keluar. Daerah yang dituju adalah Mawang atau tepatnya di pinggir Danau Mawang. Di tempat itu memang sudah ada beberapa jamaah An-Nadzir yang diorganisir oleh Rangka.
Berbeda dengan di Luwu yang mengalami resistensi, di Gowa, An-Nadzir bisa eksis. Karena Mawang merupakan daerah yang berpenduduk jarang karena dikenal sebagai basis kawanan perampok dan penjagal.
Kehadiran An-Nadzir di lokasi itu kemudian dianggap berjasa karena merubah Mawang menjadi daerah aman dan bahkan produktif untuk pertanian. Kedua, komunitas An-Nadzir tidak ekspansif, cenderung pasif tapi terbuka.
Faktor ketiga adalah karena memang komunitas ini didukung dengan kemampuan pertanian yang mumpuni sehingga membantu masayarakat setempat.
Selain itu, karena memang sampai saat ini belum ada fatwa yang mengatakan An-Nadzir dilarang.
Respon pemerintah daerah terhadap pengembangan komunitas ini dalam bidang pertanian cukup baik.
Bahkan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo tidak segan ikut meresmikan keberhasilan An-Nadzir dalam mengembangkan sistim budidaya ikan mas dan padi dengan sistim mina.
Tahun 2012 An-Nadzir mendapat penghargaan dari Kemendiknas Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal Direktorat Pendidikan dan Kesetaraan Kelompok Tani An-Nadzir dalam kegiatan Workshop Penggalangan Tekhnologi Komunikasi Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan dengan Dunia Usaha.
Dasar itulah yang kemudian diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bagaimana mereka mengelola lingkungan secara arif dan bijak.
Sehingga dalam sistim pertanian mereka tidak ada penggunaan pupuk anorganik atau bahan pengawet. Semua menggunakan pupuk organik yang mereka produksi sendiri.
Dengan modal kemampuan sumber daya manusia yang dimilikinya, melalui pemerintah, lahan STPP Gowa seluas 8 hektare kemudian diberikan kepada komunitas An-Nadzir untuk dikelola.
Dari hasil pengelolan lahan dan bekerja sama dengan warga mereka bisa mandiri secara ekonomi.
Tak hanya sampai pengelolaan lahan, An-Nadzir pun sudah mengembangkan berbagai produk untuk mereka jual kepada masyarakat umum seperti pupuk cair organik dan ramuan herbal untuk keluarga yang kesulitan mendapat keturunan.
Kemandirian secara ekonomi tak hanya dalam tiga bidang tersebut, tapi juga dikembangkan dalam berbagai usaha. Seperti bengkel, counter penjual pulsa, air isi ulang, pasar, dan lainnya.
Dalam banyak hal, An-Nadzir selalu mengklaim diri sebagai ahlul bait atau kelompok pengikut nabi.
Menurut versi An-Nadzir adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi seharusnya dimulai dari sunnah yang kecil hingga yang besar.
Maka itulah yang menjadi salah satu alasan An-Nadzir memanjangkan rambutnya hingga sebahu dan mewarnainya dalam upaya menghadirikan sosok nabi dalam kehidupan sehari-harinya.
Sama halnya dalam bangunan-bangunannya yang cenderung sederhana sebagaimana rumah Nabi Muhammad dulu.
Kalau jaman nabi beratap daun korma dan beralas pelepah korma. An-Nadzir memakai atap rumbia dan alas dari bambu.
Termasuk dalam penggunaan pakaian hitam yang seperti pakain para wali yang menurut mereka sama seperti pakaian yang dipakai pada jaman nabi.
Konsep kesederhanaan itulah yang coba diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara tauhid, An-Nadzir tetap berpedoman pada Alquran dan sunnah, hanya syariat yang terkadang berbeda.
Konsep itu kemudian dikejawantahkan dalam pola pembangunan genarasi mereka dengan sedini mungkin mengajarkan pemahaman Alquran kepada anak-anak mereka.
Hanya saja, jangan berharap bahwa dengan kesederhanaan mereka kita tidak akan menemui hal-hal modern dalam komunitas itu.
Komunitas An-Nadzir tetap terbuka dengan teknologi. Beberapa kali Lukman menerima telepon dengan handphone pintar model terbaru dalam genggamannya. Tak hanya itu, mobil model sport, motor, dan lainnya juga tetap dipergunakan dalam komunitas itu.
Pemandangan itulah yang tergambar saat memasuki Desa Mawang, Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Selain penampilan itu, pada waktu-waktu tertentu jamaah menggunakan baju panjang berwarna hitam lengkap dengan sorban, celak, dan wewangian.
Untuk perempuannya memakai jilbab besar dan terkadang dilengkapi dengan cadar bernuansa hitam.
Untuk menjangkau perkampungan komunitas An-Nadzir tidaklah terlalu sulit. Dari jarak sekitar dua kilometer dari lokasi, warga Kabupaten Gowa sudah langsung bisa menunjukkan detail lokasinya.
Desa Mawang dari Kota Sungguminasa berjarak sekitar lima kilometer arah Timur, Poros Malino tepatnya di belakang Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Gowa, di situlah komunitas An-Nadzir “bermarkas.”
Rumah panggung sederhana nampak berdiri dengan tinggi dari tanah sekitar satu meter berbahan dinding papan dan lantai bambu tepat berada di pinggir Danau Mawang.
Menurut Kasrum (41) seorang jamaah An-Nadzir rumah ini memang diperuntukkan untuk menerima tamu yang datang.
Jamaah An-Nadzir menetapkan 1 Ramadan 1435 H pada Jumat, 27 Juni 2014, sehingga mereka berpuasa lebih awal dari kelompok muslim lainnya.
"Hilal ini dengan melihat tanda-tanda alam, misalnya pasang surut air laut dan juga berakhirnya bulan Syaban pada 27 Juni 2014 tepat matahari di atas ubun-ubun," kata Pimpinan Jamaah An-Nadzir Ustadz Lukman di Kecamatan Bonto Marannu, Kabupaten Gowa, Sulsel, Jumat, 27 Juni 2014, seperti dikutip dari Antara.
Dia mengatakan, meskipun lebih awal melakukan puasa namun tetap menghargai yang berpuasa pada hari yang lain.
Karena itu dinilai suatu hilal yang dapat saja berbeda sesuai dengan pembacaan tanda-tanda alam atau perhitungan (hisab) penanggalan Islam.
Komunitas An-Nadzir mulai berkembang di Indonesia dengan kedatangan Kyai Syamsuri Madjid di Indonesia pada 1998 yang melakukan perjalanan dakwah di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Makassar dan Luwu.
Syamsuri adalah seorang dai dari Malaysia yang merupakan putera Dumai, Pekanbaru, Riau.
Kemunculan aliran ini tentunya tidak bisa lepas dari terbukanya kran kebebasan berekspresi pada awal reformasi.
Lima tahun kemudian, An-Nadzir mulai mengorganisasi diri sebagai organisasi keagamaan pada 8 Februari 2003 di Jakarta.
Khusus di Sulsel, awalnya An-Nadzir berkembang di Luwu. Mulai berkembang di Kota Palopo dan beberapa daerah di Tana Luwu.
Namun, An-Nadzir kemudian mengalami masa stagnasi pada tahun 2006, setelah meninggalnya Syamsuri.
Bahkan, pemerintah daerah kemudian mengeluarkan surat keputusan menghentikan segala bentuk aktivitas An-Nadzir di Tana Luwu.
Dari Luwu, mulailah pengikut An-Nazir keluar. Daerah yang dituju adalah Mawang atau tepatnya di pinggir Danau Mawang. Di tempat itu memang sudah ada beberapa jamaah An-Nadzir yang diorganisir oleh Rangka.
Berbeda dengan di Luwu yang mengalami resistensi, di Gowa, An-Nadzir bisa eksis. Karena Mawang merupakan daerah yang berpenduduk jarang karena dikenal sebagai basis kawanan perampok dan penjagal.
Kehadiran An-Nadzir di lokasi itu kemudian dianggap berjasa karena merubah Mawang menjadi daerah aman dan bahkan produktif untuk pertanian. Kedua, komunitas An-Nadzir tidak ekspansif, cenderung pasif tapi terbuka.
Faktor ketiga adalah karena memang komunitas ini didukung dengan kemampuan pertanian yang mumpuni sehingga membantu masayarakat setempat.
Selain itu, karena memang sampai saat ini belum ada fatwa yang mengatakan An-Nadzir dilarang.
Respon pemerintah daerah terhadap pengembangan komunitas ini dalam bidang pertanian cukup baik.
Bahkan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo tidak segan ikut meresmikan keberhasilan An-Nadzir dalam mengembangkan sistim budidaya ikan mas dan padi dengan sistim mina.
Tahun 2012 An-Nadzir mendapat penghargaan dari Kemendiknas Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal Direktorat Pendidikan dan Kesetaraan Kelompok Tani An-Nadzir dalam kegiatan Workshop Penggalangan Tekhnologi Komunikasi Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan dengan Dunia Usaha.
Dasar itulah yang kemudian diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bagaimana mereka mengelola lingkungan secara arif dan bijak.
Sehingga dalam sistim pertanian mereka tidak ada penggunaan pupuk anorganik atau bahan pengawet. Semua menggunakan pupuk organik yang mereka produksi sendiri.
Dengan modal kemampuan sumber daya manusia yang dimilikinya, melalui pemerintah, lahan STPP Gowa seluas 8 hektare kemudian diberikan kepada komunitas An-Nadzir untuk dikelola.
Dari hasil pengelolan lahan dan bekerja sama dengan warga mereka bisa mandiri secara ekonomi.
Tak hanya sampai pengelolaan lahan, An-Nadzir pun sudah mengembangkan berbagai produk untuk mereka jual kepada masyarakat umum seperti pupuk cair organik dan ramuan herbal untuk keluarga yang kesulitan mendapat keturunan.
Kemandirian secara ekonomi tak hanya dalam tiga bidang tersebut, tapi juga dikembangkan dalam berbagai usaha. Seperti bengkel, counter penjual pulsa, air isi ulang, pasar, dan lainnya.
Dalam banyak hal, An-Nadzir selalu mengklaim diri sebagai ahlul bait atau kelompok pengikut nabi.
Menurut versi An-Nadzir adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi seharusnya dimulai dari sunnah yang kecil hingga yang besar.
Maka itulah yang menjadi salah satu alasan An-Nadzir memanjangkan rambutnya hingga sebahu dan mewarnainya dalam upaya menghadirikan sosok nabi dalam kehidupan sehari-harinya.
Sama halnya dalam bangunan-bangunannya yang cenderung sederhana sebagaimana rumah Nabi Muhammad dulu.
Kalau jaman nabi beratap daun korma dan beralas pelepah korma. An-Nadzir memakai atap rumbia dan alas dari bambu.
Termasuk dalam penggunaan pakaian hitam yang seperti pakain para wali yang menurut mereka sama seperti pakaian yang dipakai pada jaman nabi.
Konsep kesederhanaan itulah yang coba diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara tauhid, An-Nadzir tetap berpedoman pada Alquran dan sunnah, hanya syariat yang terkadang berbeda.
Konsep itu kemudian dikejawantahkan dalam pola pembangunan genarasi mereka dengan sedini mungkin mengajarkan pemahaman Alquran kepada anak-anak mereka.
Hanya saja, jangan berharap bahwa dengan kesederhanaan mereka kita tidak akan menemui hal-hal modern dalam komunitas itu.
Komunitas An-Nadzir tetap terbuka dengan teknologi. Beberapa kali Lukman menerima telepon dengan handphone pintar model terbaru dalam genggamannya. Tak hanya itu, mobil model sport, motor, dan lainnya juga tetap dipergunakan dalam komunitas itu.
(sms)