Mafia BBM Rugikan Negara Rp300 Juta Perhari
A
A
A
MANADO - Mafia Bahan Bakar Minyak (BBM) di Sulawesi Utara (Sulut) telah merugikan negara Rp300 juta per hari. Hal ini diungkapkan karyawan Depot Pertamina Bitung yang menolak namanya dipublikasikan.
Dia berkilah, tak sedikit mafia BBM industri jenis solar yang melakukan penampungan. Menurut dia, modus mafia tersebut dengan cara membeli BBM bersubsidi di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), kemudian dijual.
"Mereka (mafia) membeli solar subsidi di SPBU Rp6.500 per liter, kemudian dijual ke pengusaha/pelaku industri sebesar Rp7.500 per liter. Padahal harga solar industri Rp12.650," terangnya, kepada wartawan, Senin (16/6/2014).
Dia menjelaskan, pemain besar pengguna solar ilegal tersebut adalah pengusaha di Kawasan Megamas, Manado Town Square (Mantos), perhotelan, pengusaha pengolahan batu, dan pabrik.
"Diperkirakan selisih harga, menyebabkan kerugian negara, karena hal ini mencapai sekira Rp300 juta per hari," tukasnya.
Menanggapi hal itu, Owner Kawasan Bisnis Megamas Amelia Dwitya Tungka mengatakan, yang mengeluarkan isu kurang sedap seperti ini harus punya bukti, jangan asal menuduh tanpa ada kejelasan.
"Pasalnya kami ini adalah salah satu pengguna BBM industri terbesar di Sulut. Kebutuhan kami itu dalam perbulannya dikisaran 16 kiloliter (kl) hingga 32 kl per bulannya," jelasnya, Senin (16/6/2014).
BBM industri sebanyak itu, bukan karena tidak mampu membelinya kemudian ada tuduhan seperti ini. "Maaf kami perusahaan besar, jika hanya 16-32 kl kami tidak angkuh, kami bisa membeli bahkan lebih dari itu. Setahu dan seingat saya juga, kami membeli BBM Industri hanya dari AKR dan Pertamina, tidak pernah di tempat lain," terangnya.
Dari kisaran 16-32 kl per bulannya, kata dia, 80 persen itu diambil dari Pertamina dan sisanya adalah AKR. "Jadi sekali lagi kami tekankan, tolong diluruskan isu-isu yang beredar ini, karena ini tidak benar adanya," ungkapnya.
Dikonfirmasi terpisah, General Manager Mantos Yono Akbar mengatakan, mengenai hal ini dirinya belum bisa memberikan tanggapan panjang lebar. "Maaf kami tidak bisa memberikan tanggapan dalam hal ini, soalnya kami ini pelanggan loyal BBM Industri Pertamina," jelasnya.
Mesti tak menyebut, penggunaan BBM industri per bulan di Mantos, namun dia mengaku, penggunaan disesuaikan dengan permintaan, dan yang jelas selama ini terpenuhi.
"Jadi kami harapkan, isu seperti ini, benar atau tidaknya, Pertamina wajib melakukan surat resmi, agar hal ini bisa dicari akar permasalahaannya. Agar ke dua perusahaan tidak ada yang dirugikan," terangnya.
Mewakili perhotelan, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulut Johnny Lieke menanggapi, jika ada hotel melakukan pembelian BBM subsidi untuk digunakan pada perusahaan, itu adalah kesalahan besar. "Ibarat kata, sama saja bermain dengan api," jelasnya.
Namun sejauh ini, kata dia, perhotelan masih mengikuti prosedur, yakni masih tetap menggunakan BBM industri. "Jika memang ada ditemukan, itu salah mereka. Sebab saya juga tidak bisa berkomentar banyak mengenai hal seperti ini," tutupnya.
Dia berkilah, tak sedikit mafia BBM industri jenis solar yang melakukan penampungan. Menurut dia, modus mafia tersebut dengan cara membeli BBM bersubsidi di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), kemudian dijual.
"Mereka (mafia) membeli solar subsidi di SPBU Rp6.500 per liter, kemudian dijual ke pengusaha/pelaku industri sebesar Rp7.500 per liter. Padahal harga solar industri Rp12.650," terangnya, kepada wartawan, Senin (16/6/2014).
Dia menjelaskan, pemain besar pengguna solar ilegal tersebut adalah pengusaha di Kawasan Megamas, Manado Town Square (Mantos), perhotelan, pengusaha pengolahan batu, dan pabrik.
"Diperkirakan selisih harga, menyebabkan kerugian negara, karena hal ini mencapai sekira Rp300 juta per hari," tukasnya.
Menanggapi hal itu, Owner Kawasan Bisnis Megamas Amelia Dwitya Tungka mengatakan, yang mengeluarkan isu kurang sedap seperti ini harus punya bukti, jangan asal menuduh tanpa ada kejelasan.
"Pasalnya kami ini adalah salah satu pengguna BBM industri terbesar di Sulut. Kebutuhan kami itu dalam perbulannya dikisaran 16 kiloliter (kl) hingga 32 kl per bulannya," jelasnya, Senin (16/6/2014).
BBM industri sebanyak itu, bukan karena tidak mampu membelinya kemudian ada tuduhan seperti ini. "Maaf kami perusahaan besar, jika hanya 16-32 kl kami tidak angkuh, kami bisa membeli bahkan lebih dari itu. Setahu dan seingat saya juga, kami membeli BBM Industri hanya dari AKR dan Pertamina, tidak pernah di tempat lain," terangnya.
Dari kisaran 16-32 kl per bulannya, kata dia, 80 persen itu diambil dari Pertamina dan sisanya adalah AKR. "Jadi sekali lagi kami tekankan, tolong diluruskan isu-isu yang beredar ini, karena ini tidak benar adanya," ungkapnya.
Dikonfirmasi terpisah, General Manager Mantos Yono Akbar mengatakan, mengenai hal ini dirinya belum bisa memberikan tanggapan panjang lebar. "Maaf kami tidak bisa memberikan tanggapan dalam hal ini, soalnya kami ini pelanggan loyal BBM Industri Pertamina," jelasnya.
Mesti tak menyebut, penggunaan BBM industri per bulan di Mantos, namun dia mengaku, penggunaan disesuaikan dengan permintaan, dan yang jelas selama ini terpenuhi.
"Jadi kami harapkan, isu seperti ini, benar atau tidaknya, Pertamina wajib melakukan surat resmi, agar hal ini bisa dicari akar permasalahaannya. Agar ke dua perusahaan tidak ada yang dirugikan," terangnya.
Mewakili perhotelan, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulut Johnny Lieke menanggapi, jika ada hotel melakukan pembelian BBM subsidi untuk digunakan pada perusahaan, itu adalah kesalahan besar. "Ibarat kata, sama saja bermain dengan api," jelasnya.
Namun sejauh ini, kata dia, perhotelan masih mengikuti prosedur, yakni masih tetap menggunakan BBM industri. "Jika memang ada ditemukan, itu salah mereka. Sebab saya juga tidak bisa berkomentar banyak mengenai hal seperti ini," tutupnya.
(san)