Beratnya perjuangan pelajar Garut demi ikut UN
A
A
A
Sindonews.com – Sungguh berat perjuangan belasan siswa SMPN 2 Pakenjeng dan MTs Al Kasfi’iyah, Garut, demi mengikuti Ujian Nasional yang dimulai Senin ini. Jembatan Bokor yang menghubungkan rumah dengan sekolah mereka masih mengalami kerusakan dan tidak bisa dilintasi. Akhirnya, mereka terjun dan menyeberangi sungai.
Domisili para siswa ini terletak di Kampung Porehek dan Saradan, Desa Tanjungmulya. Sementara, lokasi sekolah terletak di Kampung Bokor. Sejak bencana banjir bandang terjadi pada 14 April 2014, akses tiga kampung yang sebenarnya berdekatan ini menjadi terputus.
Sebelum menceburkan diri masuk ke sungai, para siswa melepas seragam sekolah mereka. Seragam beserta alat tulis terlebih dahulu dimasukkan ke plastik agar tidak basah. Meski hanya berkedalaman sekira satu meter, arus Sungai Cikandang di Kecamatan Pakenjeng yang mesti mereka lintasi sangat deras. Supaya tidak hanyut dan tenggelam, para siswa menggunakan ban saat menyeberang.
"Saya sempat takut ikut saat akan memulainya (menyeberang). Namun ketika dicoba, saya bisa melintasinya. Rasanya seperti berenang sebelum berangkat sekolah," tutur Syaiful (15), siswa kelas III SMPN 2 Pakenjeng, Kabupaten Garut, Senin (5/5/2014).
Seragam baru mereka pakai setelah tiba di seberang sungai. Selain dia, tambah Syaiful, aktivitas ini juga dilakukan oleh sembilan temannya yang juga bersekolah di SMPN 2 Pakenjeng. "Selain kami, ada juga teman-teman dari MTs Al Kasfi’iyah yang ikut menyeberang. Jumlah mereka ada lima orang," jelasnya.
Agar tidak terlambat datang ke sekolah, para siswa harus berangkat dari rumah pada pukul 06.30 WIB. UN Bahasa Indonesia sendiri baru dapat dilaksanakan pada pukul 07.30 hingga 10.00 WIB. "Kami bisa saja menggunakan jasa ojek. Namun harganya mahal, yaitu sampai Rp100 ribu. Mahalnya biaya ojek disebabkan karena jalurnya memutar dan harus melintasi beberapa desa," ungkapnya.
Sementara, Kepala Desa Tanjungmulya Yusep Kirman menyesalkan pemerintah lambah dalam membangun jembatan sementara di desanya. Tidak hanya digunakan siswa usia sekolah, kehadiran jembatan sangat diperlukan untuk kehidupan masyarakat.
"Kondisinya belum berubah hingga sekarang. Tidak adanya jembatan sampai sekarang, menyulitkan kehidupan masyarakat termasuk siswa sekolah. Saya khawatir keadaan ini mengganggu konsenterasi para siswa SMP dan SD di desa kami," imbuh Yusep.
Domisili para siswa ini terletak di Kampung Porehek dan Saradan, Desa Tanjungmulya. Sementara, lokasi sekolah terletak di Kampung Bokor. Sejak bencana banjir bandang terjadi pada 14 April 2014, akses tiga kampung yang sebenarnya berdekatan ini menjadi terputus.
Sebelum menceburkan diri masuk ke sungai, para siswa melepas seragam sekolah mereka. Seragam beserta alat tulis terlebih dahulu dimasukkan ke plastik agar tidak basah. Meski hanya berkedalaman sekira satu meter, arus Sungai Cikandang di Kecamatan Pakenjeng yang mesti mereka lintasi sangat deras. Supaya tidak hanyut dan tenggelam, para siswa menggunakan ban saat menyeberang.
"Saya sempat takut ikut saat akan memulainya (menyeberang). Namun ketika dicoba, saya bisa melintasinya. Rasanya seperti berenang sebelum berangkat sekolah," tutur Syaiful (15), siswa kelas III SMPN 2 Pakenjeng, Kabupaten Garut, Senin (5/5/2014).
Seragam baru mereka pakai setelah tiba di seberang sungai. Selain dia, tambah Syaiful, aktivitas ini juga dilakukan oleh sembilan temannya yang juga bersekolah di SMPN 2 Pakenjeng. "Selain kami, ada juga teman-teman dari MTs Al Kasfi’iyah yang ikut menyeberang. Jumlah mereka ada lima orang," jelasnya.
Agar tidak terlambat datang ke sekolah, para siswa harus berangkat dari rumah pada pukul 06.30 WIB. UN Bahasa Indonesia sendiri baru dapat dilaksanakan pada pukul 07.30 hingga 10.00 WIB. "Kami bisa saja menggunakan jasa ojek. Namun harganya mahal, yaitu sampai Rp100 ribu. Mahalnya biaya ojek disebabkan karena jalurnya memutar dan harus melintasi beberapa desa," ungkapnya.
Sementara, Kepala Desa Tanjungmulya Yusep Kirman menyesalkan pemerintah lambah dalam membangun jembatan sementara di desanya. Tidak hanya digunakan siswa usia sekolah, kehadiran jembatan sangat diperlukan untuk kehidupan masyarakat.
"Kondisinya belum berubah hingga sekarang. Tidak adanya jembatan sampai sekarang, menyulitkan kehidupan masyarakat termasuk siswa sekolah. Saya khawatir keadaan ini mengganggu konsenterasi para siswa SMP dan SD di desa kami," imbuh Yusep.
(zik)