Melihat pekerja anak di Hari Buruh Sedunia
A
A
A
Sindonews.com - Peringatan Hari Buruh Sedunia dan dijadikannya 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional, merupakan bentuk penghargaan yang diberikan pemerintah terhadap buruh. Namun, tidak bagi pekerja anak di Purwakarta.
Tampak ratusan buruh anak, di pabrik genteng dan batu bata, terus bekerja membanting tulang. Ujang (14), salah seorang buruh terlihat berkeringat sedang memproduksi loster dan bata merah, di Desa Pamoyanan, Plered, Purwakarta.
Dia tidak sendiri. Masih ada ratusan bocah seusia Ujang atau seusia Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tetap bekerja, pada peringatan 1 Mei. Kendati begitu, wajahnya bisa tersenyum dan tertawa.
Saat ditanya mengenai Mayday, Ujang hanya tersenyum. Sorot matanya yang kosong mengisyaratkan ketidaktahuannya mengenai istilah hari buruh tersebut. Baginya, setiap hari adalah kerja, dan bekerja. Setelah itu dapat uang.
“Tidak tahu. Saya taunya kerja terus, biar dapat uang buat makan sehari-hari, dan buat kebutuhan lain kang,” jawab Ujang yang mengaku warga Desa Ciroyom, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (1/5/2014).
Para pekerja di pabrik ini, rata-rata berusia 13-16 tahun. Mereka berasal dari Kabupaten Bandung Baret, dan Purwakarta. Harusnya, waktu mereka dihabiskan untuk belajar dan sekolah. Namun, semua dirampas oleh jam kerja di dalam pabrik.
Namun begitu, Ujang mengaku masih ingin sekolah, tetapi apa daya. Tidak ada biaya dan lahir dari keluarga kurang mampu membuatnya harus bekerja membanting tulang. Dengan terpaksa, dia harus puas hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD).
“Sekolah, ya, pasti saya masih ingin. Tapi boro-boro untuk biaya sekolah, untuk sehari-hari saja susah. Untuk itu saya mending kerja saja, biar tidak jadi beban orangtua terus,” terangnya miris.
Selama satu tahun lebih Ujang telah bekerja menjadi buruh pabrik loster dan bata merah, dengan upah Rp18 ribu per hari. Dia mengaku terpaksa bertahan, karena hanya di pabrik ini sajalah yang menerima para pekerja anak.
Kendati menghabiskan masa kanak-kanaknya di dalam pabrik, Ujang mengaku tetap bersyukur. Bahkan, dengan bangga Ujang mengaku keberadaan pabrik-pabrik itu sebagai penolong dan penyelamat.
Di kawasan ini, jumlah pabrik pengrajin tanah liat cukup banyak. Seperti di daerah Kecamatan Plered dan Tegalwaru. Daerah ini merupakan sentra pengolahan tanah liat.
“Banyak banget yang kerja seperti saya, masih anak-anak dan putus sekolah. Dari pada diam saja di rumah, mending kerja di sini. Biar gaji kecil, tapi bagi saya itu sudah lumayan untuk mencukupi kebutuhan dan membantu keluarga,” timpal Kamal (16), rekan sekerja Ujang, di tengah kesibukannya membuat loster.
Sementara itu, Kusnadi (450, salah satu mandor di Pabrik Loster dan Bata Merah membenarkan banyak pekerja yang masih di bawah umur. Namun pihaknya tak bisa berbuat banyak, apalagi melarang atau memberhentikan mereka untuk bekerja.
Tuntutan ekonomi menjadi alasan sehingga perusahaan tak bisa melarang anak di bawah umur untuk ikut bekerja.
“Ya mau gimana lagi, anak-anak itu sudah tidak sekolah. Mereka ingin bekerja. Tidak diterima kasihan, diterima juga kasihan. Keberadaan mereka ini jelas bukan kami yang disalahkan, pemerintah yang harus disalahkan. Betul kan? Dengan bekerja di sini mereka jadi merasa terbantu katanya," jelas Kusnadi.
Disinggung soal Hari Buruh Sedunia, Kusnadi pun mengaku tidak tahu. "Saya juga enggak ngerti, buruh yang mana yang diperjuangkan hak-haknya itu, karena jika berbicara buruh, kami juga buruh dan kebijakan itu tak kami rasakan," tutur dia.
Tampak ratusan buruh anak, di pabrik genteng dan batu bata, terus bekerja membanting tulang. Ujang (14), salah seorang buruh terlihat berkeringat sedang memproduksi loster dan bata merah, di Desa Pamoyanan, Plered, Purwakarta.
Dia tidak sendiri. Masih ada ratusan bocah seusia Ujang atau seusia Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tetap bekerja, pada peringatan 1 Mei. Kendati begitu, wajahnya bisa tersenyum dan tertawa.
Saat ditanya mengenai Mayday, Ujang hanya tersenyum. Sorot matanya yang kosong mengisyaratkan ketidaktahuannya mengenai istilah hari buruh tersebut. Baginya, setiap hari adalah kerja, dan bekerja. Setelah itu dapat uang.
“Tidak tahu. Saya taunya kerja terus, biar dapat uang buat makan sehari-hari, dan buat kebutuhan lain kang,” jawab Ujang yang mengaku warga Desa Ciroyom, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (1/5/2014).
Para pekerja di pabrik ini, rata-rata berusia 13-16 tahun. Mereka berasal dari Kabupaten Bandung Baret, dan Purwakarta. Harusnya, waktu mereka dihabiskan untuk belajar dan sekolah. Namun, semua dirampas oleh jam kerja di dalam pabrik.
Namun begitu, Ujang mengaku masih ingin sekolah, tetapi apa daya. Tidak ada biaya dan lahir dari keluarga kurang mampu membuatnya harus bekerja membanting tulang. Dengan terpaksa, dia harus puas hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD).
“Sekolah, ya, pasti saya masih ingin. Tapi boro-boro untuk biaya sekolah, untuk sehari-hari saja susah. Untuk itu saya mending kerja saja, biar tidak jadi beban orangtua terus,” terangnya miris.
Selama satu tahun lebih Ujang telah bekerja menjadi buruh pabrik loster dan bata merah, dengan upah Rp18 ribu per hari. Dia mengaku terpaksa bertahan, karena hanya di pabrik ini sajalah yang menerima para pekerja anak.
Kendati menghabiskan masa kanak-kanaknya di dalam pabrik, Ujang mengaku tetap bersyukur. Bahkan, dengan bangga Ujang mengaku keberadaan pabrik-pabrik itu sebagai penolong dan penyelamat.
Di kawasan ini, jumlah pabrik pengrajin tanah liat cukup banyak. Seperti di daerah Kecamatan Plered dan Tegalwaru. Daerah ini merupakan sentra pengolahan tanah liat.
“Banyak banget yang kerja seperti saya, masih anak-anak dan putus sekolah. Dari pada diam saja di rumah, mending kerja di sini. Biar gaji kecil, tapi bagi saya itu sudah lumayan untuk mencukupi kebutuhan dan membantu keluarga,” timpal Kamal (16), rekan sekerja Ujang, di tengah kesibukannya membuat loster.
Sementara itu, Kusnadi (450, salah satu mandor di Pabrik Loster dan Bata Merah membenarkan banyak pekerja yang masih di bawah umur. Namun pihaknya tak bisa berbuat banyak, apalagi melarang atau memberhentikan mereka untuk bekerja.
Tuntutan ekonomi menjadi alasan sehingga perusahaan tak bisa melarang anak di bawah umur untuk ikut bekerja.
“Ya mau gimana lagi, anak-anak itu sudah tidak sekolah. Mereka ingin bekerja. Tidak diterima kasihan, diterima juga kasihan. Keberadaan mereka ini jelas bukan kami yang disalahkan, pemerintah yang harus disalahkan. Betul kan? Dengan bekerja di sini mereka jadi merasa terbantu katanya," jelas Kusnadi.
Disinggung soal Hari Buruh Sedunia, Kusnadi pun mengaku tidak tahu. "Saya juga enggak ngerti, buruh yang mana yang diperjuangkan hak-haknya itu, karena jika berbicara buruh, kami juga buruh dan kebijakan itu tak kami rasakan," tutur dia.
(san)