Warga tolak ketentuan nikah di Kantor KUA
A
A
A
Sindonews.com – Ketentuan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) yang ditetapkan Kementerian Agama (Kemenag) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai protes dari warga 16 desa di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
Mereka menolak ketentuan tersebut karena dinilai memberatkan bagi warga yang rumahnya jauh dari Kantor KUA. Disamping itu, kebijakan tesebut juga bertentangan dengan adat istiadat masyarakat yang mengenal perhitungan waktu pernikahan.
Penolakan warga tersebut disampaikan 16 Kepala Desa (Kades) se Kecamatan Tuntang kepada Kepala KUA Tuntang Idam Supama, kemarin. Rencananya, para kades tersebut juga akan menyampaikan protes warga tersebut ke DPRD Kabupaten Semarang pekan depan.
Kades Sraten Rohmad mengatakan, larangan petugas KUA menikahkan warga di luar Kantor KUA jelas merugikan warga. Sebab pihak keluarga yang hendak menikahkan anaknya atau keluarganya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar guna menyewa mobil untuk pergi ke Kantor KUA.
“Prosesi ijab kobul kan harus ada saksinya dari pihak keluarga kedua mempelai dan warga. Jika jumlah saksinya mencapai 30 orang, maka pihak keluarga harus mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah guna menyewa sejumlah mobil untuk mobilisasi para saksi ke kantor KUA. Ini jelas memberatkan warga,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Rohmad, jika nikah harus dilakakukan di Kantor KUA, masyarakat tidak dapat melangsungkan pernikahan pada hari libur. Padahal ada warga yang memiliki keyaninan untuk melangsungkan pernikahan pada hari baik yang dihitungan berdasarkan perhitungan Jawa.
“Jika perhitungan hari baiknya jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional, berarti mereka tidak dapat melangsungkan pernikahan sesuai perhitungan hari baiknya. Ini tidak bisa diterima warga yang masih memiliki kayakinan itu. Warga menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan adat dan ini harus dicarikan solusi terbaik agar warga tenang dan suasana desa kondusif ,” ujarnya.
Menurut dia, pernikahan di rumah warga atau di tempat lain yang dekat dengan rumah calon pengantin lebih efektif dan efisien. Selain itu, juga tidak terlalu merepotkan warga yang dimintai tolong untuk menjadi saksi saat ijab kobul.
“Jika penghulunya yang diundang ke rumah, paling biaya nikahnya hanya Rp30.000 dan ganti uang transport Rp100.000. Jika dibandingkan dengan nikah di Kantor KUA, jelas lebih efisien dan ekonomis,” tukasnya.
Sementara itu Kepala KUA Tuntang Idam Supama menyatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak terkait tuntutan warga tersebut. Sebab pihaknya hanya sebagai pelaksana dan ketentuan yang ditetapkan Kemenag dan KPK itu harus dilaksanakan per 1 Januari 2014 mendatang.
“Aspirasi warga tetap kami tampung dan kami sangat memahaminya. Itu sudah menjadi tradisi dan mengakar di masyarakat. Untuk itu, perlu ada musyarah antara warga, instansi hukum, Kemenag, DPRD dan Pemkab Semarang untuk untuk mencari solusi terbaik,” tandasnya.
Mereka menolak ketentuan tersebut karena dinilai memberatkan bagi warga yang rumahnya jauh dari Kantor KUA. Disamping itu, kebijakan tesebut juga bertentangan dengan adat istiadat masyarakat yang mengenal perhitungan waktu pernikahan.
Penolakan warga tersebut disampaikan 16 Kepala Desa (Kades) se Kecamatan Tuntang kepada Kepala KUA Tuntang Idam Supama, kemarin. Rencananya, para kades tersebut juga akan menyampaikan protes warga tersebut ke DPRD Kabupaten Semarang pekan depan.
Kades Sraten Rohmad mengatakan, larangan petugas KUA menikahkan warga di luar Kantor KUA jelas merugikan warga. Sebab pihak keluarga yang hendak menikahkan anaknya atau keluarganya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar guna menyewa mobil untuk pergi ke Kantor KUA.
“Prosesi ijab kobul kan harus ada saksinya dari pihak keluarga kedua mempelai dan warga. Jika jumlah saksinya mencapai 30 orang, maka pihak keluarga harus mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah guna menyewa sejumlah mobil untuk mobilisasi para saksi ke kantor KUA. Ini jelas memberatkan warga,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Rohmad, jika nikah harus dilakakukan di Kantor KUA, masyarakat tidak dapat melangsungkan pernikahan pada hari libur. Padahal ada warga yang memiliki keyaninan untuk melangsungkan pernikahan pada hari baik yang dihitungan berdasarkan perhitungan Jawa.
“Jika perhitungan hari baiknya jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional, berarti mereka tidak dapat melangsungkan pernikahan sesuai perhitungan hari baiknya. Ini tidak bisa diterima warga yang masih memiliki kayakinan itu. Warga menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan adat dan ini harus dicarikan solusi terbaik agar warga tenang dan suasana desa kondusif ,” ujarnya.
Menurut dia, pernikahan di rumah warga atau di tempat lain yang dekat dengan rumah calon pengantin lebih efektif dan efisien. Selain itu, juga tidak terlalu merepotkan warga yang dimintai tolong untuk menjadi saksi saat ijab kobul.
“Jika penghulunya yang diundang ke rumah, paling biaya nikahnya hanya Rp30.000 dan ganti uang transport Rp100.000. Jika dibandingkan dengan nikah di Kantor KUA, jelas lebih efisien dan ekonomis,” tukasnya.
Sementara itu Kepala KUA Tuntang Idam Supama menyatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak terkait tuntutan warga tersebut. Sebab pihaknya hanya sebagai pelaksana dan ketentuan yang ditetapkan Kemenag dan KPK itu harus dilaksanakan per 1 Januari 2014 mendatang.
“Aspirasi warga tetap kami tampung dan kami sangat memahaminya. Itu sudah menjadi tradisi dan mengakar di masyarakat. Untuk itu, perlu ada musyarah antara warga, instansi hukum, Kemenag, DPRD dan Pemkab Semarang untuk untuk mencari solusi terbaik,” tandasnya.
(lns)